oleh Enang Cuhendi
“Lebih baik melakukan sedikit yang dilakukan dengan baik, daripada banyak tapi tidak sempurna.” – Plato
Dalam sejarah Yunani banyak dikenal lahirnya para ahli filsafat dan pemikir besar. Tiga di antara yang terbesar dan paling berpengaruh adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Tulisan ini dan dua tulisan berikutnya fokus membahas hasil pemikiran ketiga tokoh tersebut. Sebagian besar bahan tulisan disarikan dari buku yang diitulis oleh Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, yang diterbitkan UI Press, Jakarta pertama kali pada 1980, kemudian dicetak ulang pada 2011, tentunya ditambah beberapa informasi dari sumber lain.
ARISTOTELES
Aristotles adalah seorang filsuf, ilmuwan, sekaligus pendidik asal Yunani. Ia lahir di Stageria di Semenanjung Kalkidike, Trasia (Maecedonia) pada tahun 384 SM., dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM., di usianya ke-63. Aristoteles merupakan anak seorang dokter yang secara pribadi melayani raja Macedonia, Amyntas II. Sampai usia 18 tahun ia mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya tersebut. Setelah sang ayah meninggal, Aristoteles pergi ke Athena dan berguru kepada Plato di Akademia. Selama 20 tahun lamanya ia menjadi murid Plato. Ia rajin membaca dan mengumpulkan buku sehingga Plato memberinya penghargaan dan menamai rumahnya dengan ‘rumah pembaca’.
Ketika Plato meninggal pada tahun 348 Sebelum Masehi, Aristotles meniggalkan Athena dan kembali ke Macedonia. Selama tujuh tahun, Aristotles melayani raja Philip dari Macedonia sebagai guru les privat putera sang raja yang nanti menjadi raja besar, yaitu Alexander Agung (Alexander The Great). Aristotle kembali ke Athena dan membentuk sekolahnya sendiri, Lyceum, lalu dia melanjutkan karya kehidupannya.
Setelah Alexander Agung yang menjadi murid dan pelindungnya meninggal di usia 33 tahun karena demam di Babel. Aristotles menghadapi ancaman di Athena karena permusuhan yang lama antara Athena dengan negeri asalnya, Makedonia. Akhirnya, Aristotles meninggalkan Athena dan tinggal di pulau di Laut Aegean sampai meninggal setahun kemudian.
Selama hidupnya Aristotles mengadakan pengamatan-pengamatan yang teliti, mengumpulkan spesimen-spesimen, merangkum, dan mengklasifikasikan segala pengetahuan yang ada tentang dunia fisik. Pendekatannya yang sistematis menjadi demikian berpengaruh sehingga berevolusi menjadi metode ilmiah dasar yang digunakan di dunia barat.
Ide-ide Aristotles bukan saja berlaku bagi dunia fisik. Selama hidupnya ia menghasilkan tulisan-tulisan tentang logika yang diaggap sebagai karyanya yang terpenting serta tulisan-tulisan tentang metafisika, fisika, etika, dan ilmu pengetahuan alam. Aristotles menjadi salah satu dari ilmuwan pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasi spesimen-spesimen biologis. Dalam politik, dia menyarankan bahwa bentuk pemerintah yang ideal adalah kombinasi antara demokrasi dengan monarki.
Dari segi filsafat Aristoteles sependapat dengan gurunya (Plato), bahwa tujuan yang terakhir dari filsafat adalah pengatahuan tentang ‘adanya’ (realitas) dan ‘yang umum’. Ia memiliki keyakinan bahwa kebenaran yang sebenarnya hanya dapat dicapai dengan jalan pengertian. Bagaimana memikirkan ‘adanya’ itu? Menurut Aristoteles ‘adanya’ itu tidak dapat diketahui dari materi atau benda belaka; dan tidak pula dari pikiran semata-mata tentang yang umum, seperti pendapat Plato. ‘Adanya’ itu terletak dalam barang-barang satu-satunya, selama barang itu ditentukan oleh yang umum.
Walau demikian Aristoteles memiliki pandangan yang lebih realis daripada Plato. Pandangannya ini merupakan akibat dari pendidikan orang tuanya yang menghadapkannya kepada bukti dan kenyataan. Aristoteles terlebih dahulu memandang kepada yang kongkrit, yang nyata. Ia mengawalinya dengan fakta-fakta, dan fakta-fakta tersebut disusunnya menurut ragam dan jenis atau sifatnya dalam suatu sistem, kemudian dikaitkannya satu sama lain.
Menurut Aistoteles, ‘adanya’ yang sebenarnya adalah ‘yang umum’ dan pengetahuan tentang hal tersebut adalah ‘pengertian’. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan Plato. Adapun yang ditentang dari pendapat Plato adalah adanya perpisahan yang absolut antara yang umum dan yang khusus, antara idea dan gambarannya, antara pengertian dan pemandangan, dan antara ada dan menjadi. Idea, ‘yang umum’, adalah sebagai ‘adanya’ yang sebenar-benarnya, sebab dari segala kejadian. Ilmu harus menerangkan, bagaimana datangnya hal-hal yang khusus dan kelihatan itu dari yang umum yang diketahui dengan pengertian. Tugas ilmu adalah ‘menyatakan’, bahwa menurut logika pendapat yang khsusus (dari pengalaman) tidak boleh tidak datang dari pengetahuan pengertian yang umum.
Dalam aspek logika Aristoteles terkenal sebagai ‘bapak’ logika. Logika tidak lain dari berpikir secara teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab dan akibat. Ia sendiri memberi nama model berpikirnya tersebut dengan nama ‘analytica’, tetapi kemudian lebih populer dengan dengan sebutan ‘logika’. Intisari dari ajaran logikanya adalah silogistik, atau dapat juga digunakan kata ‘natijah’ dalam bahasa Arab. Silogistik maksudnya adalah ‘uraian berkunci’, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan yang umum atas hal yang khusus, yang tersendiri. Misalnya: Semua manusia akan mati (umum); Aristoteles adalah seorang manusia (khusus); Aristoteles akan mati (kesimpulan).
Aristoteles membagi logika dalam tiga bagian, yaitu mempertimbangkan, menarik kesimpulan, dan membuktikan atau menerangkan. Suatu pertimbangan itu ‘benar’, apabila isi pertimbangan itu sepadan dengan keadaan yang nyata. Pandangan ini sepadan dengan pendapat Sokrates yang menyatakan bahwa ‘buah pikiran yang dikeluarkan itu adalah gambaran dari keadaan yang objektif’. Menarik kesimpulan atas yang satu dari yang lain dapat dilakukan dengan dua jalan. Pertama, dengan jalan silogistik, atau disebut juga apodiktik, atau deduksi. Kedua, menggunakan cara epagogi atau induksi. Induksi bekerja dengan cara menarik kesimpulan tentang yang umum dari pengetahuan yang diperoleh dalam pengalaman tentang hal-hal yang individial atau partikular.
Pengetahuan yang sebenarnya, menurut Aristoteles, berdasar pada pembentukan pendapat yang umum dan pemakaian pengetahuan yang diperoleh itu atas hal yang khusus. Misalnya, ‘korupsi itu buruk’; untuk membuktikan pernyataan yang sifatnya umum tersebut dapat diperoleh dari kasus yang menunjukkan bahwa ‘korupsi itu ternyata telah merugikan negara dan kesejahteraan warga negara’. Pengetahuan yang umum bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi merupakan jalan untuk mengetahui keadaan yang konkrit, yang merupakan tujuan ilmu yang sebenarnya.
Menurut Aristoteles pengalaman hanya menyatakan kepada kita ‘apa yang terjadi’; sedangkan pengertian umum menerangkan ‘apa sebab itu terjadi’. Pengertian ilmiah mencari yang umumnya, karena itu diselidikinya sebab-sebab dan dasar-dasar dari segala yang ada. Memperoleh pengertian, yaitu menarik kesimpulan atas suatu hal yang individual, yang spesifik, yang tersendiri, yang particular, dari yang umum, dapat dipelajari dan diajarkan caranya kepada orang lain.
Aristoteles berpendapat bahwa segala yang terjadi di dunia ini adalah suatu perbuatan yang terwujud karena Tuhan Pencipta alam. Selain itu, bahwa tiap-tiap yang hidup di alam ini merupakan suatu organisme yang berkembang masing-masing menurut suatu gerak-tujuan. Alam tidak berbuat dengan tidak bertujuan. Oleh karena itu, Aristoteles dipandang sebagai pencetus ajaran tujuan, teleologi. Aristoteles dengan pandangannya ini telah meletakkan dasar bagi ‘prinsip perkembangan’.
Terkait etika, etika Aristoteles pada dasarnya serupa dengan etika Sokrates dan Plato. Tujuannya adalah untuk mencapai eudaemonie, kebahagiaan sebagai ‘barang yang tertinggi’ dalam kehidupan. Hanya saja, ia memahaminya secara realis dan sederhana. Ia menekankan kepada kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai dengan jenisnya laki-laki atau perempuan, derajatnya, kedudukannya, atau pekerjaannya. Tujuan hidup adalah untuk merasakan kebahagiaan. Oleh karena itu ukurannya lebih praktis.
Tujuan hidup bukanlah untuk mengetahui apa itu budi, tetapi bagaimana menjadi orang yang berbudi. Oleh karena itu, tugas dari etika adalah mendidik kemauan manusia untuk memiliki sikap yang pantas dalam segala perbuatan. Orang harus mempunyai pertimbangan yang sehat, tahu menguasai diri, pandai mengadakan keseimbangan antara keinginan dan cita-cita. Manusia yang tahu menguasai diri, hidup sebagaimana mestinya, tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu, tidak tertarik oleh kemewahan.
Menurut Aristoteles ada tiga hal yang perlu dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup. Pertama, manusia harus memiliki harta secukupnya, supaya hidupnya terpelihara. Kedua, alat yang terbaik untuk mencapai kebahagiaan adalah persahabatan. Ketiga, keadilan. Keadilan dalam arti pembagian barang yang seimbang sesuai dengan tanggung jawab dan keadilan dalam arti memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Kebahagiaan akan menimbulkan kesenangan jiwa. Kesenangan jiwa ini akan mendorong seseorang untuk bekerja lebih giat.
Dalam pandangan Aristoteles pelaksanaan etika baru akan sempurna apabila dilaksanakan di dalam negara. Manusia adalah zoon politikon, makhluk sosial. Ia tidak dapat berdiri sendiri. Hubungan manusia dengan negara adalah sebagai bagian terhadap seluruhnya. Tujuan negara adalah mencapai keselamatan untuk semua penduduknya, memperoleh ‘barang yang tertinggi’, yaitu kebahagiaan.
Keadilan adalah unsur negara yang esensil, untuk mencapai kebahagiaan. Kewajiban negara adalah mendidik rakyat berpendirian tetap, berbudi baik, dan pandai mencapai yang sebaik-baiknya.
Terkait ekonomi Aristoteles menentang adanya penumpukkan capital pada seseorang. Oleh karena itu ia mencela profesi pedagang. Ia sangat menentang tukar-menukar dengan cara riba. Ia bahkan menganjurkan supaya negara mengambil tindakan yang tepat untuk mepengaruhi penghidupan sosial, dan ukurannya adalah kepentingan yang sama tengah. Bagi Aristoteles, tiang masyarakat adalah kaum menengah yang berbudi baik. Menurut pendapatnya, ‘perbudakan adalah cetakan alam’; sebagian manusia ada yang lahir untuk menjadi tuan dan sebagian menjadi budak yang mengerjakan pekerjaan kasar. Perbudakan akan hilang apabila sudah terdapat alat otomtis yang melakukan pekerjaan dengan sendirinya.
Dalam hal konsep negara Aristoteles mengemukakan tiga bentuk negara. (1) monarki atau basilea. (2), aristokrasi, yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang sedikit jumlahnya. (3) Politea atau timokrasi, yaitu pemerintahan berdasarkan kekuasaan keseluruhan rakyat. Dalam istilah sekarang disebut demokrasi. Dari tiga bentuk negara tersebut, yang terbaik menurut Aristoteles adalah kombinasi antara aristokrasi dan demokrasi. Kombinasi antara aristokrasi dan demokrasi adalah yang sebaik-baiknya. Dalam pandangan ini ternyata Aristoteles pun mengambil jalan tengah.
Setelah
kematianyan, banyak buku catatan Aristotle disimpan di goa-goa dekat
rumahnya. Belakangan buku-buku catatannya itu dibawah ke perpustakaan
besar di Alexandria di Mesir. Walaupun buku-buku catatannya itu
digunakan dan dihargai oleh sarjana-sarjana Islam, karya-karyanya itu
hilang dan terlupakan di Eropa. Belakangan karya-karyanya itu
diperkenalkan kembali, dan memberikan pengaruh besar terhadap semua
pemikiran barat selama berabad-abad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOLOM kOMENTAR
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.