Teori kritis
baru terkenal tahun 1960-an sejak terjadi diskusi yang seru antara Karl Popper dan Theodore W. Adorno di bawah moderator Ralf Dahrendorf (Sindhunata, 1983:XIV), ternyata perdebatan itu
diteruskan oleh Hans Albert dipihak Popper dan Jurgen Habermas di pihak Adorno.
Namun teori kritis benar-benar mencapai puncak di bawah Jurgen Habermas dan Max
Horkheimer. Habermas dapat dipandang sebagai pewaris dari teori kritis. Sampai sekarang teori kritis masih tetap konsisten untuk menyerang kapitalisme yang tidak manusiawi (Marcuse, 1969). Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa teori kritis kebenarannya sangat tergantung bagaimana diterjemahkan dalam praktek (Fay, 1991:108).
Teori kritis
harus dipahami dalam konteks jamannya, tetapi manakala jaman itu memiliki
karakter yang sama, maka tidak mustahil bahwa teori itu pun mempunyai
relevansi dengan realitas jaman. Kontekstual dengan logika situasi, logika jaman atau zeit geschit (Popper,1985).
Sebagai contoh teori kritis dengan inspirasi dari ajaran Marx, memandang
masyarakat kapitalis sebagai masyarakat yang menindas. Demikian pula manakala
kehidupan di Indonesia dewasa ini menunjukkan karakter yang sama, maka teori
kritis memiliki relevansinya.
Teori kritis
dapat dianggap sebagai teori perjuangan, namun teori kritis juga tidak
mengehendaki cara-cara yang destruktif,
brutal dan anarkhis. Teori kritis lebih menonjolkan kekuatan moral. Teori
kritis menghendaki suatu revolusi, namun revolusi secara damai. Sebagaimana
dikatakan oleh Lenin bahwa tidak akan ada tindakan yang revolusioner tanpa ada
teori yang revolusioner. Tetapi sebagai-mana diketahui bahwa banyak murid
sekolah Franfurt kecewa, karena baik teori kritis maupun gurunya tidak
mengehendaki revolusi tanpa damai.
Teori kritis
memang jauh berbeda dengan pemikiran tradisional, tidak bersifat kontemplatif,
teori ini bermaksud mengembalikan kemerdekaan dan kebebasan manusia dan masa
depan mereka. Teori kritis bermaksud membebaskan manusia dari belenggu
penghisapan dan penindasan.
Teori kritis
pada dirinya memang mempunyai daya tarik, namun lebih dari pada itu teori
kritis menjadi lebih menarik manakala telah dikaitkan dengan realitas
masyarakat. Hal ini pada dasarnya juga ingin mempertanyakan masih relevankah
teori kritis sebagai teori perjuangan dewasa ini. Daya tarik itu semakin nyata
apabila dikaitkan bahwa kita sendiri secara empiris mengamati, merasakan,
menghayati, merefleksikan dan sekaligus mengkritisi realitas masyarakat
sekarang ini. Ini juga berarti bahwa teori sosial tidak dapat dilepaskan dari
praktek politik (Fay, 1991)
Mengkaji teori
kritis tanpa mengenali akar sejarahnya menjadikan pemahaman yang kurang
lengkap kalau tidak disebut keliru. Dalam sejarah berlaku pernyataan before you study history you must study
historian and before you study historian you must study environment. Bahkan
Mannheim (1991:2) terdapat cara-cara
berpikir yang tak dapat dipahami secara memadai selama asal-usul sosialnya
tidak jelas.Hal yang sama dapat ditelusuri dalam Berger dan Luckmann
(1990), sebagaimana khas sosiologi ilmu pengetahuan.
Akar Sejarah
Teori kritis
berkembang secara pesat bersama dan berada dalam Frankfurt School. Pelopor
sekolah Frankfurt Felix J. Weil seorang sarjana politik. Mendapat warisan dari
ayahnya Herman Weil, ia menghimpun cendekiawan untuk menyegarkan kembali ajaran
Marx sesuai kebutuhan saat itu. Cendekiawan yang tergabung antara lain
Friederickh Pollock ahli ekonomi, Theodore W.
Adorno, musikus, ahli sastra dan filsuf; Herbert Marcuse, murid
Heidegger; Erich Fromm ahli psikoanalisa Freud; Walter Benyamin kritikus
sastra, Max Horkheimer, Jurgen Habermas dan sebagainya.
Sejak awal
secara eksplisit sekolah Frankfurt menempatkan ajaran Marxisme sebagai titik
tolak pemikirannya (Connerton, 1976; Suseno, 1977; Sindhunata, 1983; Hardiman
1990.) Walaupun sebagai-mana diketahui melalui sekolah ini pula ajaran-ajaran
Marx diperbarui dan bahkan ditinggalkan. Disamping itu sekolah Frankfurt juga
men-dasarkan diri pada perspektif idealisme Jerman yang dirintis Immanuel Kant
(kritisisme), memuncak pada ajaran Hegel melalui dialektikanya serta ketika
Horkheimer sebagai pimpinan Frankfurt School teori kritis mendapatkan
penyegaran melalui ajaran Freud dan Habermas sendiri seperti Althuser yang
memperbaharui teori Marx dengan konsentrasi pada ideologi (Suseno, 1977).
Menurut Horkheimer
dan kawan-kawannya, Kant dapat disebut sebagai filosuf kritis yang pertama.
Kant sendiri menamakan filsafat-nya sebagai kritis, dalam arti bahwa akal budi
harus menilai kemampuan dan keterbatasannya, dan hanya lewat kemampuan dan
keterbatasannya itu akal budi mengetahui sesuatu. Sekolah Frankfurt menghargai
Kant, karena mereka menganggap Kant telah menemukan otonomi subjek dalam
membentuk pengetahuannya. Di sinilah terletak pengertian kritis yang pertama
pengetahuan kita tidak ditentukan oleh objek, tapi subjek yang menghasilkan
pengetahuan itu. Bahkan objek dapat dikonstruksi dan bahkan verifikasi hanya
melalui subjek. Baginya tanpa kerja subjek tidak berarti apa-apa.
Hegel
beranggapan bahwa Kant telah berhasil menemukan otonomi akal budi manusia. Oleh
karena itu akal budi tidak perlu lagi kritis terhadap dirinya, ia harus menjadi
affirmatif. Sebab menurut Hegel akal
budi telah mencapai kesempurnaan dalam roh. Bagai-manakah proses akal budi
sampai pada roh? Proses tersebut tercakup dalam pengertian dialektika sebagai ajaran Hegel yang paling terkenal. Persis di
sinilah terletak pengertian kritis yang kedua dari Sekolah Frankfurt: mereka
beranggapan bahwa berpikir secara kritis adalah berpikir dialektis. Proses
berpikir dialektis bukan sekedar dirumuskan thesis-antithesis dan sinthesis
sebagaimana pada umum-nya dirumuskan. Melainkan dalam dialektika disamping
ketiga tesis itu juga diperlukan adanya saling negasi, kontradiksi dan mediasi.
Berpikir
kritis memerlukan: pertama, berpikir
kritis adalah berpikir secara dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir
secara totalitas. Totalitas bukan berarti semata-mata keseluruhan di mana
unsur-unsurnya yang bertentangan berdiri sejajar. Tetapi totalitas itu berarti
keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan
diperantarai). Pemikiran dialektis menekankan bahwa dalam kehidupan yang nyata
pasti unsur-unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi. Pemikiran
dialektis menolak kesadaran yang abstrak, misalnya individu dan masyarakat.
Menurut pemikiran dialektis, individu
selalu saling berkontradiksi, bermediasi
dan bernegasi terhadap masyarakat (Sindhunata,
1983).
Pengertian proses
dialektis tidak mengarah pada sintesis dalam arti perpaduan, melainkan mengarah
pada tujuan baru sama sekali, yakni rekonsiliasi,
yang didalamnya tercakup pengertian pembaharu-an, penguatan dan perdamaian.
Dalam seluruh proses berpikir dialektis sebenarnya merupakan realitas yang
sedang bekerja atau working reality.
Berpikir kritis adalah berpikir yang dialektis, berpikir dialektis adalah
berpikir dalam perspektif empiris
historis. Berpikir adalah berpikir dialektis, berpikir dialektis adalah
berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praksis (Habermas dalam Connerton,
1976:330). pengertian teori dan praksis sering menjadi persoalan). Hal ini jelas
berbeda dengan orang yang salah paham bahwa persoalan teori dan praksis mesti
dipikirkan sebagai persoalan bagaimana agar suatu teori itu dapat diaplikasikan
pada kehidupan praktis, sebab pengertian itu seakan-akan menganggap bahwa teori
dan praksis sebagai dua bidang yang berbeda, pada hal pengetian teori dan
praksis hanyalah dua dimensi dari manusia yang satu dan sama, sehingga satu
sama lain memang saling bisa dipisahkan dan saling mengecualikan. Pemikiran
dialektis tidak mengandaikan adanya kesenjangan antara teori dan praksis yang
harus dijembatani melainkan bagaimana suatu teori dapat membuahkan praksis (Sindhunata,1983).
Konsepsi teori
kritis di samping bersumber pada Kant, Hegel juga pada Marx yang utamanya
berangkat dari kritik ekonomi politik Marx. Menurut penganut Frankfurt school kritik ekonomi politik Marx harus diubah
menjadi kritik sosiologi politik.
Sebagaimana pendirian Marx bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaan
mereka melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.
Kritik
Ideologi melalui Freud. Erich Fromm lah yang memasukkan psikoanalis Freud ke
dalam ajaran teori kritis. Menurut Fromm kritik ideologi Marx membutuhkan
psikoanalisa, sebab psikoanalisa dapat mempertajam kritik ideologi Marx.
Menurut Marx ideologi itu adalah kesadaran palsu, maksudnya ideologi tidak
menggambarkan situasi nyata manusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan
keadaan secara terpuntir atau terbalik.
Teori kritis
memang diilhami filsafat kritis, sedangkan filsafat kritis mendapatkan
aspirasinya dari kritik ideologi
(Hardiman, 1990:10) yang dikembangkan Marx sewaktu masih muda, dalam tahap
pemikirannya yang sering disebut hegelian muda. Selanjutnya perlu juga
diketahui bahwa kritis di samping sebagai teori juga sebagai pendekatan. kritis
sebagai pendekatan dalam arti bahwa sebuah teori hanyalah benar sebagai kritik
terhadap belenggu-belenggu ideologis teori-teori terdahulu, jadi sebagai usaha
teoretis yang sekaligus praksis emansipatif.
Teori Tradisional versus Teori Kritis
Harus dipahami
bahwa berdasarkan dialektika, tidak akan lahir teori kritis, manakala tidak ada
teori tradisional (Horkheimer dalam Connerton, 1976). Tetapi sebagai kelebihan
pula bahwa berkat dialek-tika, maka teori-teori atau pikiran-pikiran baru dapat
diformulasikan dengan jalan mengatasi teori yang telah ada. Teori
tradisional sebagaimana yang diserang
oleh teori kritis pada dasarnya juga teori positivistik.
Secara tradisional bahwa teori adalah jumlah keseluruhan dari
proposisi-proposisi tentang suatu subjek.
Teori
tradisional bertujuan untuk membangun konsep-konsep umum mengenai semua hal,
sebagaimana nampak dalam tujuannya yang diformulasikan a universal systematic science.Teori tradisional bersifat netral,
teori tradisional tidak bermaksud mempengaruhi fakta yang hadir dihadapannya,
sebab ia memang memandang fakta secara objektif, artinya fakta sebagai fakta
lahiriah apa adanya (Sindhunata, 1983:73).
Berdasarkan
argumen-argumen teori tradisional tersebut Hork-heimer melalui teori kritis
menuduh bahwa teori tradisional bersifat ideologis.
Teori kritis
memandang bahwa ke-netral-an teori
tradisional sebagai kedok pelestarian keadaan yang ada. Pada hal menurut teori
kritis memandang bahwa realitas yang ada itu menindas, dan semu, oleh karena
itu realitas yang menindas dan semu itu harus disibak, dibongkar dengan jalan
mempertanyakan mengapa sampai terjadi realitas yang demikian. Dalam hal ini
Ignas Kleden menyatakan: ... bukan saja teori yang menentukan praktek, tetapi
pun praktek dapat menentukan teori. Bukan hanya terhadap nilai dan ideologi
ilmu pengetahuan tidak bisa bersikap netral, tetapi pun terhadap praktek dan
kepentingan praktis pun ilmu pengetahuan tak dapat bersikap netral (1987:
XXXIX).
Menurut teori
kritis, teori tradisional itu ahistoris. Sebab
teori tradisional memutlakkan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya unsur yang
bisa menyelamatkan masyarakat (cf. pandangan aliran fungsional). Dengan jalan
memutlakkan ilmu pengetahuan teori tradisional lupa akan hakikatnya masyarakat
yang dalam prosesnya adalah historis.
Teori
tradisional memisahkan teori dan praksis, maksudnya teori tradisional
membiarkan fakta secara lahiriah. Hal ini berarti bahwa teori tradisional tidak
memikirkan peran dan aplikasi praktis dari sistem konseptual atau teoretisnya.
Menurut teori kritis, memisahkan teori dengan praksis, teori tradisional hanya
berpikir teori demi teori (cf. ilmu untuk ilmu; seni untuk seni dsb). Dengan
demikian teori tradisional menjadi ideologis. Sebab ia tidak memikir-kan
bagaimana teorinya dapat menghasilkan kesadaran yang mem-buahkan tindakan untuk
mempengaruhi bahkan mengubah fakta atau realitas.
Menurut
Horkheimer teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris, bahkan teori tradisional dengan sifatnya yang
ideologis justru melestarikan keadaan yang ada. Jadi kenetralan nya justru dengan diam-diam membenarkan keadaan yang
ada, pada hal keadaan yang ada adalah membelenggu dan menindas manusia (dehumanisasi).
Horkheimer
menegaskan bahwa teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris
apabila tidak melakukan pembaharuan-pembaharuan. Selanjutnya Horkheimer juga
beragumen bahwa teori kritis tidak lagi berpusing-pusing dengan prinsip umum,
membangun pengetahuan yang kokoh dan tertutup bagi dirinya sendiri. Hal ini
berbeda dengan teori kritis yang sejak semula mengidealkan memberikan kesadaran
untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian juga
memberikan kesadaran untuk pembangunan masyarakat.
Agar teori
kritis dapat bertindak emansipatoris,
maka menurut Horkheimer: (1) teori kritis harus selalu curiga dan kritis
terhadap masyarakat;(2) teori kritis berpikir secara historis; (3) teori kritis
tidak memisahkan teori dengan praxis.
Mengapa teori
kritis harus selalu curiga dan kritis terhadap masyarakat? Menurut Horkheimer
agar teori dapat menjadi emansi-patoris, maka ia harus kritis. Sebagaimana Marx
dapat menggunakan konsep kritis ini, maka Horkheimer juga memandang bahwa
kritik harus dilontarkan kepada masyarakat, ini semata-mata agar teori kritis
benar-benar bersifat emansipatoris. Sebagai contoh terhadap kategori-sasi ini
produktif atau tidak, berguna atau tidak, layak atau tidak, bernilai atau tidak
dan sebagainya.
Ciri khas
teori kritis yang dikritik bukan kekurangan di sana-sini, melainkan
keseluruhannya. Teori membuka irasionalitas
dalam pengandaian-pengandaian sistem yang ada. Membuka bahwa sebenar-nya
produksi tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia
diciptakan dimanipulasi demi produksi. Teori kritis berharap apabila
rasionalitas semu sistem sudah dirobek, maka kontradiksi-kontradiksi akan
nampak jelas, dapat merangsang pema-tahan belenggu dan membebaskan manusia ke
arah kemanusiaan yang sebenarnya.
Di samping
mencolok dan kontradiksi antara teori kritis dengan teori tradisional, ternyata
perlu juga ditelusuri pertautan antara penge-tahuan dan kepentingan (knowledge and interest). Persoalan
pertautan ini oleh kalangan intelektual belum begitu mengakar dan semarak
sebagai bagian dari diskusi keseharian apalagi di kalangan awam.
Ilmu Pengetahuan dan
Kepentingan
Teori kritis
mempunyai pandangan yang khas sebagai upaya untuk menyerang pandangan yang
telah ada. Pandangan lama mengatakan bahwa Ilmu pengetahuan harus dibangun
dengan dasar objektivitas, bebas nilai
(value free), netral sebagaimana doktrin positivisme.
Di balik
selubung objektivitas itu ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan-kepentingan
kekuasaan. Pengetahuan kita tidak ditentu-kan oleh objek, tapi subjek yang
menghasilkan pengetahuan itu (Sindhunata, 1983:31). Di samping itu perlu
disadari pula bahwa di samping pengetahuan yang telah diformulasikan, masih ada
juga Segi Ilmu Pengetahuan yang tak terungkap (Polanyi,1996).
Mengenai bebas
nilai , teori kritis memandang bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang atau
tumbuh subur bersama dengan kepentingan fundamental yang ada di dalamnya
(Suseno, 1992:183). Seperti halnya pendapat Helnest dalam (Kleden, 1987:21)
bahwa ... sejauh menyangkut dasar dan dampak sebuah teori ilmu sosial, maka tak
ada satu disiplin ilmu-ilmu sosial pun yang dapat bebas nilai (value free), bebas kepentingan (interest-free), dan bebas kekuasaan (power-free). Habermas telah melakukan
apa yang dapat disebut kritik ideologi
dan kritik ilmu pengetahuan melalui kritik pengetahuan. Bagi Habermas antara
pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi merupakan tiga hal yang saling
bertautan dan ketiganya berkaitan pada praksis kehidupan sosial manusia.
Menurut
Habermas, segala sesuatu tindakan manusia didasarkan pada tiga kepentingan
dasar. Pertama, kepentingan teknis,
yaitu untuk menguasai alam. Kedua,
kepentingan praktis, untuk berkomuni-kasi.
Ketiga, kepentingan emansipatoris untuk menentang segala paksaan (Suseno,
1977:123). Di dalam kehidupan masyarakat modern bidang kehidupan manusia
seolah-olah demi kepentingan teknis saja. Oleh karena itu untuk mendobraknya
dapat dilaksanakan dengan refleksi. Melalui refleksi ini sejarah pengalaman
penderitaan manusia dapat disadari, utamanya kesadaran emansipatoris.
Agar teori
kritis dapat bersifat emansipatoris, maka ia harus mengarahkan masyarakat
komunikatif (Hardiman, 1993), masyarakat yang demikian harus memenuhi
persyaratan-persyaratan komunikasi yang bebas dan terbuka. Kiranya menjadi
tepat, kalau semua merasa berkepentingan pada pembelaan masyarakat yang
terbuka, bebas dan menghormati martabat semua anggota, mereka harus
mengusahakan kemampuan berkomunikasi bebas dari tekanan yang semakin luas
Relevansi dan Emansipasi
Teori Kritis
Teori kritis
melalui refleksinya menunjukkan kepada kita bagaimana teori-teori tradisional
telah dibangun dengan membelenggu kebebasan manusia, sekaligus mencoba
menegasi subjektivitas manusia atas realitas sosial maupun konstruksi pengetahuan
yang ada. Dengan demikian dengan mempelajari teori kritis, maka seseorang akan
dibuka matanya akan realitas yang sesungguhnya. Terbuka pula selubung-selubung
ideologis yang secara inheren terbawa oleh industrialisasi, maupun
ciptaan-ciptaan yang mengikutinya
Seseorang dan
atau masyarakat yang terbuka pikiran dan kesadarannya akibat mengkaji teori
kritis akan melakukan tuntutan-tuntutan perbaikan atas iri dan masyarakatnya.
Hal ini nampak ditunjukkan oleh gerakan-gerakan mahasiswa melalui pernyataan
keprihatinan, demo dan protes kepada lembaga-lembaga legislatif. Disamping itu
juga kelompok-kelompok masyarakat yang menama-kan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) bermaksud untuk menya-darkan dan sekaligus memberdayakan dirinya,
sehingga ia dan mereka dapat menegakkan hakikat kemanusiaannya. Sebab selama
ini industrialisasi menegasi kemanusiaan.
Tidaklah
mengherankan bila Marcuse mengatakan bahwa masyarakat industri modern adalah
masyarakat yang tidak sehat, yang dianggap sebagai masyarakat yang berdimensi satu,
masyarakat yang represif dan totaliter (Marcuse, 1969; Sastrapratedja,1983).
Manusia-manusia yang hidup di dalamnya dibuatnya pasif, reseptif, dan tidak
lagi menghendaki perubahan.Yang lebih menarik lagi kata Marcuse adalah bahwa
masyarakat industri modern tetap merupakan masyarakat yang teralienasi, karena mengasingkan
manusia-manusia yang menjadi warganya dari kemanusiaannya. Bahkan lebih gawat
lagi karena manusia-manusia tersebut semakin tidak menyadari bahwa dirinya itu
dalam keadaan yang teralienasi.
Gerakan protes
atau demo mahasiswa yang sudah berlangsung berbulan-bulan dan menghangat
setelah terjadi dialog dan kenaikan BBM, pernyataan Pangab yang akan melibas
demonstrasi mahasiswa, jika sampai keluar kampus, semakin membenarkan teori
Althuser tentang kekuasaan negara (state
power) dan perangkat negara (state
apparatus). Di mana secara khusus lagi bahwa state apparatus dibedakan
lagi dengan perangkat negara yang repressive
dan perangkat negara yang ideologis.
Dialog antara mahasiswa dan pemerintah merupakan operasionalisasi dari
perangkat negara yang ideologis.
Kesimpulan
Berdasarkan
pada deskripsi tentang teori kritis dan sekilas perubahan sosial, maupun
analisis teoretik dari kaitan antara kedua-nya, serta penelusuran peran
emansipatoris dapatkan dijelaskan sebagai berikut:
Teori kritis
sebagai salah satu teori sosial lahir berkembang dan diperuntukkan masyarakat
Barat yang pada jamannya telah merebak dengan apa yang disebut modernisasi atau
kapitalisasi. Masyarakat yang bersifat kapitalistik mempunyai karakter yang
kurang lebih sama dengan masyarakat Indonesia. Terdapat anggota masyarakat yang
berpunya (the have) dengan yang
miskin (the have not), kelas yang
berkuasa dengan yang dikuasai, kelas yang dominan dengan yang tidak dominan,
kelompok elitis dengan yang populis. Kelas yang memiliki dan kelas
yang dimiliki. Bahkan yang terpenting di era industrialisasi (yang kini
terjebak dalam krisis) sudah nampak bahwa produksi bukan untuk memenuhi
kebutuhan manusia, melainkan produksi untuk kepentingan pasar dan penumpukkan
modal.
Namun
nampaknya teori kritis mempunyai relevansi yang cukup kuat terhadap realitas
sosial di Indonesia. artinya bahwa teori kritis masih mempunyai kredibilitas
sebagai pisau analisis dan daya emansipasi terhadap masyarakat Indonesia yang
juga bersifat kapitalistik.
Salah satu
teori sosial itu adalah teori kritis, teori ini diilhami oleh
pandangan-pandangan pokok Marx, oleh karena itu tidak terlalu salah kalau teori
kritis disebut teori Marxian. Walaupun justru dalam teori kritis,
pikiran-pikiran Marxian sudah ditinggalkan, dan kemu-dian melahirkan
pengertian-pengertian baru yang lebih relevan dengan realitas sosial yang ada.
Agar teori
kritis dapat menjadi emansipatoris harus memenuhi syarat: pertama, ia harus curiga dan kritis terhadap masyarakat; kedua, ia harus berpikir secara
historis; ketiga, ia harus tidak
memisahkan teori dan praksis. Tampaknya tiga hal tersebut belum mencukupi, oleh
karena itu perlu ditambah teori tindakan
komuni-katif. Sebab komunikasi inilah yang akan mengatasi kemacetan teori
kritis sebagai teori emansipatoris. Bagaimanapun juga pengetahuan kita tentang
masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontem-plasi, melainkan mendorong
praksis perubahan sosial. Hal ini sebagai-mana dipahami oleh pendukung dan
pembaharu teori kritis dalam memahami praksis bukan hanya sebagai kerja melainkan juga sebagai komunikasi.
Persoalan
terakhir terletak di mana kaitan dan atau relevansinya dengan Sejarah
Intelektual, maka diasumsikan bahwa melalui teori kritis ini Sejarah
Intelektual menjadi esensi didalamnya, selayaknya pula bahwa Sejarah
Intelektual bersinergi dengan teori kritis sebagai salah satunya, tentunya
dengan tidak meninggalkan teori tradisional dan atau yang biasa dikenal
positivis.
Daftar Rujukan
Beoang, Konrad Kebung. 1997.
Michel Foucoult: Parrhesia dan
Persoalan Mengenai Etika. Jakarta: Obor
Berger, Peter L. dan
Luckmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial
atas Kenyataan. Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. (terjemahan Hasan
Basari). Jakarta: LP3ES
Connerton, Paul. 1976. Critical Sosiology. Adorno, Habermas,
Benjamin, Horkheimer, Marcuse, Neumann. England: Penguin Books
Fay, Brian. 1991. Teori Sosial & Praktek Politik.
(terjemahan Budi Murdono). Jakarta: Grafiti
Freire, Paulo. 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan.
(terjemahan: Alois A. Nugroho).Jakarta: Gramedia
Freire, Paulo. 1995. Pendidikan Kaum Tertindas. Cetakan
kedua (terjemahan: tim). Jakarta: LP3ES
Fromm, Erich.1987. Memiliki dan Menjadi. terjemahan F.
Soesilo-hardo.Jakarta: LP3ES.
Habermas, Jurgen. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi.
(terjemahan Hassan Basari). Jakarta: LP3ES
Hardiman, Francisco Budi.
1990. Kritik Ideologi. Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Ilmu,
Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta:
Kanisius
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan.
Jakarta: LP3ES
Laurer, Robert H. 1989. Perspektif Tentang Perubahan Sosial.
(terjemahan. Alimandan). Jakarta: Bina Aksara
Mannheim, Karel. 1991. Ideologi dan Utopia. Menyingkap kaitan
Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius
Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius
Polanyi, Michael. 1996. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan.
(terjemahan Mikhael Dua) Jakarta: Gramedia
Popper, Karl. R. 1985. Gagalnya Historisisme. Jakarta: LP3ES
Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda. (penyadur: Alimandan). Jakarta: Rajawali Pers
Sastrapratedja, M. (ed).
1983. Manusia Multi Dimensional.
Sebuah Renungan Filsafat. Gramedia: Jakarta
Sindhunata, 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional. Kritik
Masya-rakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Franfurt. Jakarta:
Gramedia
Suseno, Frans Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.
Yogya-karta: Kanisius
Suseno, Frans Magnis. 1977. Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme.
(diktat). Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyar-kara
*) Tulisan ini disarikan dari karya Gm. Sukamto Dn yang berjudul "Teori Kritis dan Sejarah Intelektual", dalam Jurnal Sejarah Tahun Kesembilan No 2, Agustus 2003
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOLOM kOMENTAR
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.