Senin, 22 April 2013

Tinjauan Singkat Tentang Teori Kritis

Teori kritis baru terkenal tahun 1960-an sejak terjadi diskusi yang seru antara Karl Popper dan Theodore W. Adorno di bawah moderator Ralf Dahrendorf (Sindhunata, 1983:XIV), ternyata perdebatan itu diteruskan oleh Hans Albert dipihak Popper dan Jurgen Habermas di pihak Adorno. Namun teori kritis benar-benar mencapai puncak di bawah Jurgen Habermas dan Max Horkheimer. Habermas dapat dipandang sebagai pewaris dari teori kritis. Sampai sekarang teori kritis masih tetap konsisten untuk menyerang kapitalisme yang tidak manusiawi (Marcuse, 1969). Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa teori kritis kebenarannya sangat tergantung bagaimana diterjemahkan dalam praktek (Fay, 1991:108).
Teori kritis harus dipahami dalam konteks jamannya, tetapi manakala jaman itu memiliki karakter yang sama, maka tidak mustahil bahwa teori itu pun mempunyai relevansi dengan realitas jaman. Kontekstual dengan logika situasi, logika jaman atau zeit geschit (Popper,1985). Sebagai contoh teori kritis dengan inspirasi dari ajaran Marx, memandang masyarakat kapitalis sebagai masyarakat yang menindas. Demikian pula manakala kehidupan di Indonesia dewasa ini menunjukkan karakter yang sama, maka teori kritis memiliki relevansinya. 
Teori kritis dapat dianggap sebagai teori perjuangan, namun teori kritis juga tidak mengehendaki cara-cara yang destruktif, brutal dan anarkhis. Teori kritis lebih menonjolkan kekuatan moral. Teori kritis menghendaki suatu revolusi, namun revolusi secara damai. Sebagaimana dikatakan oleh Lenin bahwa tidak akan ada tindakan yang revolusioner tanpa ada teori yang revolusioner. Tetapi sebagai-mana diketahui bahwa banyak murid sekolah Franfurt kecewa, karena baik teori kritis maupun gurunya tidak mengehendaki revolusi tanpa damai.
Teori kritis memang jauh berbeda dengan pemikiran tradisional, tidak bersifat kontemplatif, teori ini bermaksud mengembalikan kemerdekaan dan kebebasan manusia dan masa depan mereka. Teori kritis bermaksud membebaskan manusia dari belenggu penghisapan dan penindasan.
Teori kritis pada dirinya memang mempunyai daya tarik, namun lebih dari pada itu teori kritis menjadi lebih menarik manakala telah dikaitkan dengan realitas masyarakat. Hal ini pada dasarnya juga ingin mempertanyakan masih relevankah teori kritis sebagai teori perjuangan dewasa ini. Daya tarik itu semakin nyata apabila dikaitkan bahwa kita sendiri secara empiris mengamati, merasakan, menghayati, merefleksikan dan sekaligus mengkritisi realitas masyarakat sekarang ini. Ini juga berarti bahwa teori sosial tidak dapat dilepaskan dari praktek politik (Fay, 1991)
Mengkaji teori kritis tanpa mengenali akar sejarahnya menjadikan pemahaman yang kurang lengkap kalau tidak disebut keliru. Dalam sejarah berlaku pernyataan before you study history you must study historian and before you study historian you must study environment. Bahkan Mannheim (1991:2) terdapat cara-cara berpikir yang tak dapat dipahami secara memadai selama asal-usul sosialnya tidak jelas.Hal yang sama dapat ditelusuri dalam Berger dan Luckmann (1990), sebagaimana khas sosiologi ilmu pengetahuan.

Akar Sejarah
Teori kritis berkembang secara pesat bersama dan berada dalam Frankfurt School. Pelopor sekolah Frankfurt Felix J. Weil seorang sarjana politik. Mendapat warisan dari ayahnya Herman Weil, ia menghimpun cendekiawan untuk menyegarkan kembali ajaran Marx sesuai kebutuhan saat itu. Cendekiawan yang tergabung antara lain Friederickh Pollock ahli ekonomi, Theodore W.  Adorno, musikus, ahli sastra dan filsuf; Herbert Marcuse, murid Heidegger; Erich Fromm ahli psikoanalisa Freud; Walter Benyamin kritikus sastra, Max Horkheimer, Jurgen Habermas dan sebagainya.
Sejak awal secara eksplisit sekolah Frankfurt menempatkan ajaran Marxisme sebagai titik tolak pemikirannya (Connerton, 1976; Suseno, 1977; Sindhunata, 1983; Hardiman 1990.) Walaupun sebagai-mana diketahui melalui sekolah ini pula ajaran-ajaran Marx diperbarui dan bahkan ditinggalkan. Disamping itu sekolah Frankfurt juga men-dasarkan diri pada perspektif idealisme Jerman yang dirintis Immanuel Kant (kritisisme), memuncak pada ajaran Hegel melalui dialektikanya serta ketika Horkheimer sebagai pimpinan Frankfurt School teori kritis mendapatkan penyegaran melalui ajaran Freud dan Habermas sendiri seperti Althuser yang memperbaharui teori Marx dengan konsentrasi pada ideologi (Suseno, 1977).
Menurut Horkheimer dan kawan-kawannya, Kant dapat disebut sebagai filosuf kritis yang pertama. Kant sendiri menamakan filsafat-nya sebagai kritis, dalam arti bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya, dan hanya lewat kemampuan dan keterbatasannya itu akal budi mengetahui sesuatu. Sekolah Frankfurt menghargai Kant, karena mereka menganggap Kant telah menemukan otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Di sinilah terletak pengertian kritis yang pertama pengetahuan kita tidak ditentukan oleh objek, tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu. Bahkan objek dapat dikonstruksi dan bahkan verifikasi hanya melalui subjek. Baginya tanpa kerja subjek tidak berarti apa-apa.
Hegel beranggapan bahwa Kant telah berhasil menemukan otonomi akal budi manusia. Oleh karena itu akal budi tidak perlu lagi kritis terhadap dirinya, ia harus menjadi affirmatif. Sebab menurut Hegel akal budi telah mencapai kesempurnaan dalam roh. Bagai-manakah proses akal budi sampai pada roh? Proses tersebut tercakup dalam pengertian dialektika sebagai ajaran Hegel yang paling terkenal. Persis di sinilah terletak pengertian kritis yang kedua dari Sekolah Frankfurt: mereka beranggapan bahwa berpikir secara kritis adalah berpikir dialektis. Proses berpikir dialektis bukan sekedar dirumuskan thesis-antithesis dan sinthesis sebagaimana pada umum-nya dirumuskan. Melainkan dalam dialektika disamping ketiga tesis itu juga diperlukan adanya saling negasi, kontradiksi dan mediasi.
Berpikir kritis memerlukan: pertama, berpikir kritis adalah berpikir secara dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir secara totalitas. Totalitas bukan berarti semata-mata keseluruhan di mana unsur-unsurnya yang bertentangan berdiri sejajar. Tetapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai). Pemikiran dialektis menekankan bahwa dalam kehidupan yang nyata pasti unsur-unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi. Pemikiran dialektis menolak kesadaran yang abstrak, misalnya individu dan masyarakat. Menurut pemikiran dialektis, individu selalu saling berkontradiksi, bermediasi dan bernegasi terhadap masyarakat (Sindhunata, 1983).
Pengertian proses dialektis tidak mengarah pada sintesis dalam arti perpaduan, melainkan mengarah pada tujuan baru sama sekali, yakni rekonsiliasi, yang didalamnya tercakup pengertian pembaharu-an, penguatan dan perdamaian. Dalam seluruh proses berpikir dialektis sebenarnya merupakan realitas yang sedang bekerja atau working reality. Berpikir kritis adalah berpikir yang dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir dalam perspektif empiris historis. Berpikir adalah berpikir dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praksis (Habermas dalam Connerton, 1976:330). pengertian teori dan praksis sering menjadi persoalan). Hal ini jelas berbeda dengan orang yang salah paham bahwa persoalan teori dan praksis mesti dipikirkan sebagai persoalan bagaimana agar suatu teori itu dapat diaplikasikan pada kehidupan praktis, sebab pengertian itu seakan-akan menganggap bahwa teori dan praksis sebagai dua bidang yang berbeda, pada hal pengetian teori dan praksis hanyalah dua dimensi dari manusia yang satu dan sama, sehingga satu sama lain memang saling bisa dipisahkan dan saling mengecualikan. Pemikiran dialektis tidak mengandaikan adanya kesenjangan antara teori dan praksis yang harus dijembatani melainkan bagaimana suatu teori dapat membuahkan praksis (Sindhunata,1983).
Konsepsi teori kritis di samping bersumber pada Kant, Hegel juga pada Marx yang utamanya berangkat dari kritik ekonomi politik Marx. Menurut penganut Frankfurt school kritik ekonomi politik Marx harus diubah menjadi kritik sosiologi politik. Sebagaimana pendirian Marx bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.
Kritik Ideologi melalui Freud. Erich Fromm lah yang memasukkan psikoanalis Freud ke dalam ajaran teori kritis. Menurut Fromm kritik ideologi Marx membutuhkan psikoanalisa, sebab psikoanalisa dapat mempertajam kritik ideologi Marx. Menurut Marx ideologi itu adalah kesadaran palsu, maksudnya ideologi tidak menggambarkan situasi nyata manusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan keadaan secara terpuntir atau terbalik.
Teori kritis memang diilhami filsafat kritis, sedangkan filsafat kritis mendapatkan aspirasinya dari kritik ideologi (Hardiman, 1990:10) yang dikembangkan Marx sewaktu masih muda, dalam tahap pemikirannya yang sering disebut hegelian muda. Selanjutnya perlu juga diketahui bahwa kritis di samping sebagai teori juga sebagai pendekatan. kritis sebagai pendekatan dalam arti bahwa sebuah teori hanyalah benar sebagai kritik terhadap belenggu-belenggu ideologis teori-teori terdahulu, jadi sebagai usaha teoretis yang sekaligus praksis emansipatif.

Teori Tradisional versus Teori Kritis

Harus dipahami bahwa berdasarkan dialektika, tidak akan lahir teori kritis, manakala tidak ada teori tradisional (Horkheimer dalam Connerton, 1976). Tetapi sebagai kelebihan pula bahwa berkat dialek-tika, maka teori-teori atau pikiran-pikiran baru dapat diformulasikan dengan jalan mengatasi teori yang telah ada. Teori tradisional  sebagaimana yang diserang oleh teori kritis pada dasarnya juga teori positivistik. Secara tradisional bahwa teori adalah jumlah keseluruhan dari proposisi-proposisi tentang suatu subjek.
Teori tradisional bertujuan untuk membangun konsep-konsep umum mengenai semua hal, sebagaimana nampak dalam tujuannya yang diformulasikan a universal systematic science.Teori tradisional bersifat netral, teori tradisional tidak bermaksud mempengaruhi fakta yang hadir dihadapannya, sebab ia memang memandang fakta secara objektif, artinya fakta sebagai fakta lahiriah apa adanya (Sindhunata, 1983:73).
Berdasarkan argumen-argumen teori tradisional tersebut Hork-heimer melalui teori kritis menuduh bahwa teori tradisional bersifat ideologis.
Teori kritis memandang bahwa ke-netral-an teori tradisional sebagai kedok pelestarian keadaan yang ada. Pada hal menurut teori kritis memandang bahwa realitas yang ada itu menindas, dan semu, oleh karena itu realitas yang menindas dan semu itu harus disibak, dibongkar dengan jalan mempertanyakan mengapa sampai terjadi realitas yang demikian. Dalam hal ini Ignas Kleden menyatakan: ... bukan saja teori yang menentukan praktek, tetapi pun praktek dapat menentukan teori. Bukan hanya terhadap nilai dan ideologi ilmu pengetahuan tidak bisa bersikap netral, tetapi pun terhadap praktek dan kepentingan praktis pun ilmu pengetahuan tak dapat bersikap netral (1987: XXXIX).
Menurut teori kritis, teori tradisional itu ahistoris. Sebab teori tradisional memutlakkan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya unsur yang bisa menyelamatkan masyarakat (cf. pandangan aliran fungsional). Dengan jalan memutlakkan ilmu pengetahuan teori tradisional lupa akan hakikatnya masyarakat yang dalam prosesnya adalah historis.
Teori tradisional memisahkan teori dan praksis, maksudnya teori tradisional membiarkan fakta secara lahiriah. Hal ini berarti bahwa teori tradisional tidak memikirkan peran dan aplikasi praktis dari sistem konseptual atau teoretisnya. Menurut teori kritis, memisahkan teori dengan praksis, teori tradisional hanya berpikir teori demi teori (cf. ilmu untuk ilmu; seni untuk seni dsb). Dengan demikian teori tradisional menjadi ideologis. Sebab ia tidak memikir-kan bagaimana teorinya dapat menghasilkan kesadaran yang mem-buahkan tindakan untuk mempengaruhi bahkan mengubah fakta atau realitas.
Menurut Horkheimer teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris, bahkan teori tradisional dengan sifatnya yang ideologis justru melestarikan keadaan yang ada. Jadi kenetralan nya justru dengan diam-diam membenarkan keadaan yang ada, pada hal keadaan yang ada adalah membelenggu dan menindas manusia (dehumanisasi).
Horkheimer menegaskan bahwa teori tradisional tidak mungkin menjadi teori emansipatoris apabila tidak melakukan pembaharuan-pembaharuan. Selanjutnya Horkheimer juga beragumen bahwa teori kritis tidak lagi berpusing-pusing dengan prinsip umum, membangun pengetahuan yang kokoh dan tertutup bagi dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan teori kritis yang sejak semula mengidealkan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian juga memberikan kesadaran untuk pembangunan masyarakat.
Agar teori kritis dapat bertindak emansipatoris, maka menurut Horkheimer: (1) teori kritis harus selalu curiga dan kritis terhadap masyarakat;(2) teori kritis berpikir secara historis; (3) teori kritis tidak memisahkan teori dengan praxis.
Mengapa teori kritis harus selalu curiga dan kritis terhadap masyarakat? Menurut Horkheimer agar teori dapat menjadi emansi-patoris, maka ia harus kritis. Sebagaimana Marx dapat menggunakan konsep kritis ini, maka Horkheimer juga memandang bahwa kritik harus dilontarkan kepada masyarakat, ini semata-mata agar teori kritis benar-benar bersifat emansipatoris. Sebagai contoh terhadap kategori-sasi ini produktif atau tidak, berguna atau tidak, layak atau tidak, bernilai atau tidak dan sebagainya.
Ciri khas teori kritis yang dikritik bukan kekurangan di sana-sini, melainkan keseluruhannya. Teori membuka irasionalitas dalam pengandaian-pengandaian sistem yang ada. Membuka bahwa sebenar-nya produksi tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan kebutuhan manusia diciptakan dimanipulasi demi produksi. Teori kritis berharap apabila rasionalitas semu sistem sudah dirobek, maka kontradiksi-kontradiksi akan nampak jelas, dapat merangsang pema-tahan belenggu dan membebaskan manusia ke arah kemanusiaan yang sebenarnya.
Di samping mencolok dan kontradiksi antara teori kritis dengan teori tradisional, ternyata perlu juga ditelusuri pertautan antara penge-tahuan dan kepentingan (knowledge and interest). Persoalan pertautan ini oleh kalangan intelektual belum begitu mengakar dan semarak sebagai bagian dari diskusi keseharian apalagi di kalangan awam.

Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan

Teori kritis mempunyai pandangan yang khas sebagai upaya untuk menyerang pandangan yang telah ada. Pandangan lama mengatakan bahwa Ilmu pengetahuan harus dibangun dengan dasar objektivitas, bebas nilai (value free), netral sebagaimana doktrin positivisme.
Di balik selubung objektivitas itu ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan. Pengetahuan kita tidak ditentu-kan oleh objek, tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu (Sindhunata, 1983:31). Di samping itu perlu disadari pula bahwa di samping pengetahuan yang telah diformulasikan, masih ada juga Segi Ilmu Pengetahuan yang tak terungkap (Polanyi,1996).
Mengenai bebas nilai , teori kritis memandang bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang atau tumbuh subur bersama dengan kepentingan fundamental yang ada di dalamnya (Suseno, 1992:183). Seperti halnya pendapat Helnest dalam (Kleden, 1987:21) bahwa ... sejauh menyangkut dasar dan dampak sebuah teori ilmu sosial, maka tak ada satu disiplin ilmu-ilmu sosial pun yang dapat bebas nilai (value free), bebas kepentingan (interest-free), dan bebas kekuasaan (power-free). Habermas telah melakukan apa yang dapat disebut kritik ideologi dan kritik ilmu pengetahuan melalui kritik pengetahuan. Bagi Habermas antara pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi merupakan tiga hal yang saling bertautan dan ketiganya berkaitan pada praksis kehidupan sosial manusia.
Menurut Habermas, segala sesuatu tindakan manusia didasarkan pada tiga kepentingan dasar. Pertama, kepentingan teknis, yaitu untuk menguasai alam. Kedua, kepentingan praktis, untuk berkomuni-kasi. Ketiga, kepentingan emansipatoris untuk menentang segala paksaan (Suseno, 1977:123). Di dalam kehidupan masyarakat modern bidang kehidupan manusia seolah-olah demi kepentingan teknis saja. Oleh karena itu untuk mendobraknya dapat dilaksanakan dengan refleksi. Melalui refleksi ini sejarah pengalaman penderitaan manusia dapat disadari, utamanya kesadaran emansipatoris.
Agar teori kritis dapat bersifat emansipatoris, maka ia harus mengarahkan masyarakat komunikatif (Hardiman, 1993), masyarakat yang demikian harus memenuhi persyaratan-persyaratan komunikasi yang bebas dan terbuka. Kiranya menjadi tepat, kalau semua merasa berkepentingan pada pembelaan masyarakat yang terbuka, bebas dan menghormati martabat semua anggota, mereka harus mengusahakan kemampuan berkomunikasi bebas dari tekanan yang semakin luas 

Relevansi dan Emansipasi Teori Kritis

Teori kritis melalui refleksinya menunjukkan kepada kita bagaimana teori-teori tradisional telah dibangun dengan membelenggu kebebasan manusia, sekaligus mencoba menegasi subjektivitas manusia atas realitas sosial maupun konstruksi pengetahuan yang ada. Dengan demikian dengan mempelajari teori kritis, maka seseorang akan dibuka matanya akan realitas yang sesungguhnya. Terbuka pula selubung-selubung ideologis yang secara inheren terbawa oleh industrialisasi, maupun ciptaan-ciptaan yang mengikutinya
Seseorang dan atau masyarakat yang terbuka pikiran dan kesadarannya akibat mengkaji teori kritis akan melakukan tuntutan-tuntutan perbaikan atas iri dan masyarakatnya. Hal ini nampak ditunjukkan oleh gerakan-gerakan mahasiswa melalui pernyataan keprihatinan, demo dan protes kepada lembaga-lembaga legislatif. Disamping itu juga kelompok-kelompok masyarakat yang menama-kan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) bermaksud untuk menya-darkan dan sekaligus memberdayakan dirinya, sehingga ia dan mereka dapat menegakkan hakikat kemanusiaannya. Sebab selama ini industrialisasi menegasi kemanusiaan.
Tidaklah mengherankan bila Marcuse mengatakan bahwa masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat, yang dianggap sebagai masyarakat yang berdimensi satu, masyarakat yang represif dan totaliter (Marcuse, 1969; Sastrapratedja,1983). Manusia-manusia yang hidup di dalamnya dibuatnya pasif, reseptif, dan tidak lagi menghendaki perubahan.Yang lebih menarik lagi kata Marcuse adalah bahwa masyarakat industri modern tetap merupakan masyarakat yang teralienasi, karena mengasingkan manusia-manusia yang menjadi warganya dari kemanusiaannya. Bahkan lebih gawat lagi karena manusia-manusia tersebut semakin tidak menyadari bahwa dirinya itu dalam keadaan yang teralienasi.
Gerakan protes atau demo mahasiswa yang sudah berlangsung berbulan-bulan dan menghangat setelah terjadi dialog dan kenaikan BBM, pernyataan Pangab yang akan melibas demonstrasi mahasiswa, jika sampai keluar kampus, semakin membenarkan teori Althuser tentang kekuasaan negara (state power) dan perangkat negara (state apparatus). Di mana secara khusus lagi bahwa state apparatus dibedakan lagi dengan perangkat negara yang repressive dan perangkat negara yang ideologis. Dialog antara mahasiswa dan pemerintah merupakan operasionalisasi dari perangkat negara yang ideologis.

Kesimpulan

Berdasarkan pada deskripsi tentang teori kritis dan sekilas perubahan sosial, maupun analisis teoretik dari kaitan antara kedua-nya, serta penelusuran peran emansipatoris dapatkan dijelaskan sebagai berikut:
Teori kritis sebagai salah satu teori sosial lahir berkembang dan diperuntukkan masyarakat Barat yang pada jamannya telah merebak dengan apa yang disebut modernisasi atau kapitalisasi. Masyarakat yang bersifat kapitalistik mempunyai karakter yang kurang lebih sama dengan masyarakat Indonesia. Terdapat anggota masyarakat yang berpunya (the have) dengan yang miskin (the have not), kelas yang berkuasa dengan yang dikuasai, kelas yang dominan dengan yang tidak dominan, kelompok elitis dengan yang populis. Kelas yang memiliki dan kelas yang dimiliki. Bahkan yang terpenting di era industrialisasi (yang kini terjebak dalam krisis) sudah nampak bahwa produksi bukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan produksi untuk kepentingan pasar dan penumpukkan modal.
Namun nampaknya teori kritis mempunyai relevansi yang cukup kuat terhadap realitas sosial di Indonesia. artinya bahwa teori kritis masih mempunyai kredibilitas sebagai pisau analisis dan daya emansipasi terhadap masyarakat Indonesia yang juga bersifat kapitalistik.
Salah satu teori sosial itu adalah teori kritis, teori ini diilhami oleh pandangan-pandangan pokok Marx, oleh karena itu tidak terlalu salah kalau teori kritis disebut teori Marxian. Walaupun justru dalam teori kritis, pikiran-pikiran Marxian sudah ditinggalkan, dan kemu-dian melahirkan pengertian-pengertian baru yang lebih relevan dengan realitas sosial yang ada.
Agar teori kritis dapat menjadi emansipatoris harus memenuhi syarat: pertama, ia harus curiga dan kritis terhadap masyarakat; kedua, ia harus berpikir secara historis; ketiga, ia harus tidak memisahkan teori dan praksis. Tampaknya tiga hal tersebut belum mencukupi, oleh karena itu perlu ditambah teori tindakan komuni-katif. Sebab komunikasi inilah yang akan mengatasi kemacetan teori kritis sebagai teori emansipatoris. Bagaimanapun juga pengetahuan kita tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontem-plasi, melainkan mendorong praksis perubahan sosial. Hal ini sebagai-mana dipahami oleh pendukung dan pembaharu teori kritis dalam memahami praksis bukan hanya sebagai kerja melainkan juga sebagai komunikasi.
Persoalan terakhir terletak di mana kaitan dan atau relevansinya dengan Sejarah Intelektual, maka diasumsikan bahwa melalui teori kritis ini Sejarah Intelektual menjadi esensi didalamnya, selayaknya pula bahwa Sejarah Intelektual bersinergi dengan teori kritis sebagai salah satunya, tentunya dengan tidak meninggalkan teori tradisional dan atau yang biasa dikenal positivis.

Daftar Rujukan
Beoang, Konrad Kebung. 1997. Michel Foucoult: Parrhesia dan Persoalan Mengenai Etika. Jakarta: Obor
Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. (terjemahan Hasan Basari). Jakarta: LP3ES
Connerton, Paul. 1976. Critical Sosiology. Adorno, Habermas, Benjamin, Horkheimer, Marcuse, Neumann. England: Penguin Books
Fay, Brian. 1991. Teori Sosial & Praktek Politik. (terjemahan Budi Murdono). Jakarta: Grafiti
Freire, Paulo. 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. (terjemahan: Alois A. Nugroho).Jakarta: Gramedia
Freire, Paulo. 1995. Pendidikan Kaum Tertindas. Cetakan kedua (terjemahan: tim). Jakarta: LP3ES
Fromm, Erich.1987. Memiliki dan Menjadi. terjemahan F. Soesilo-hardo.Jakarta: LP3ES.
Habermas, Jurgen. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. (terjemahan Hassan Basari). Jakarta: LP3ES
Hardiman, Francisco Budi. 1990. Kritik Ideologi. Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES
Laurer, Robert H. 1989. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. (terjemahan. Alimandan). Jakarta: Bina Aksara
Mannheim, Karel. 1991. Ideologi dan Utopia. Menyingkap kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius
Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Polanyi, Michael. 1996. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan. (terjemahan Mikhael Dua) Jakarta: Gramedia
Popper, Karl. R. 1985. Gagalnya Historisisme. Jakarta: LP3ES
Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (penyadur: Alimandan). Jakarta: Rajawali Pers
Sastrapratedja, M. (ed). 1983. Manusia Multi Dimensional. Sebuah Renungan Filsafat. Gramedia: Jakarta
Sindhunata, 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional. Kritik Masya-rakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Franfurt. Jakarta: Gramedia
Suseno, Frans Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogya-karta: Kanisius
Suseno, Frans Magnis. 1977. Ringkasan Sejarah Marxisme dan Komunisme. (diktat). Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyar-kara

*) Tulisan ini disarikan dari karya Gm. Sukamto Dn yang berjudul "Teori Kritis dan Sejarah Intelektual", dalam Jurnal Sejarah Tahun Kesembilan No 2,  Agustus 2003

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOLOM kOMENTAR

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.