Alhamdulillah,
itulah kata pertama yang meluncur ketika pesawat Qantas Airways nomor
penerbangan QF 41 Sydney-Jakarta yang membawa kami dari Australia mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jumat 18 Oktober 2013. Tidak terasa tiga minggu sudah kami
rombongan grup 3 guru-guru Jawa Barat berguru di negeri kanguru. Saya bersama
Kusnadi, S.Pd. M.Si (SMPN 4 Tarogong Kidul) dan Hj. Tiktik Nurparida, M.Pd (SMPN
2 Cisompet) tergabung dalam Grup 3 peserta Training
Management for Teacher yang mendapat kesempatan belajar di Adelaide City, ibukota
South Australia dari tanggal 27 September – 18 Oktober 2013. Khusus untuk
Garut, kami merupakan kloter pertama dari dua belas orang guru Garut yang
berhasil lolos seleksi untuk mengikuti kegiatan ini.
Proses
keberangkatan ke Australia diawali dengan dipercayanya kami oleh pihak Dinas
Pendidikan Kabupaten Garut untuk mengikuti seleksi yang diadakan oleh Disdik
Provinsi Jawa Barat. Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi untuk bisa turut serta dalam seleksi ini, diantaranya guru
tersebut harus berstatus PNS dengan masa kerja minimal 5 tahun dan berusia
kurang dari 50 tahun, pernah menjadi guru berprestasi untuk tingkat kabupaten/kota
atau pengurus aktif MGMP/KKG kabupaten/kota, dan wajib membuat essai dalam dua bahasa tentang
motivasi mengikuti kegiatan. Proses seleksi sendiri ditangani oleh UPI Bandung
bertempat di Gd. JICA UPI pada tanggal 3 dan 4 Juni 2013. Materi tes meliputi
test English yang meliputi 50 soal listening, 50 soal grammar dan 50 soal reading
comprehention. Setelah itu dilanjutkan dengan psikotest sebanyak tiga kali tes,
dalam hal ini kami harus mengerjakan kurang lebih 350 soal psikotest. Kegiatan
seleksi diakhiri dengan tes
interview dengan menggunakan bahasa
Inggris.
Dari
sekitar 400-an peserta seleksi yang hadir mewakili 26 kab/kota yang dinyatakan
lulus seleksi sebanyak 270 orang. Peserta yang lulus seleksi kemusian di bagi
dalam 6 grup keberangkatan. Dari Garut yang dinyatakan lulus sebanyak 12 orang
terdiri dari 10 guru SMP dan 2 orang guru SD yang tergabung di grup 3, 4, 5 dan
6.
Sebelum
berangkat ke Australia semua peserta yang telah dinyatakan lulus seleksi wajib
mengikuti kegiatan pre departure pada
3-5 Juli 2013. Dalam kegiatan ini peserta mendapat pembekalan tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan Australia, mulai dari kultur, pendidikan, proses bea
cukai bandara dan gambaran kehidupan dengan Host Family. Pemahaman tentang HF
sangat penting mengingat dalam kegiatan ini kami memang tidak tinggal bersama
tetapi tersebar di rumah-rumah penduduk, masing-masing rumah ditempati 2 orang.
Tanggal
27 September 2013 kami mulai terbang ke Australia. Sebelum ke Adelaide kami
transit di Sydney dan alhamdulillah bisa menikmati indah dan bersihnya kota ini
walau hanya beberapa jam saja. Sekitar pukul 15.30 perjalanan kami lanjutkan
menuju Adelaide, sebuah kota yang dikenal sebagai kota pendidikan. Tiba di
Adelaide sekitar pukul 18.30 dan kami langsung dijemput oleh HF masing-masing.
Tempat tinggal kami tidak ada yang berdekatan, mulai dari wilayah valley sampai beach, tapi saya bersama rekan Muhamad. Sadikin dari Bogor sedikit beruntung karena menjadi-jadi
satunya pasangan peserta yang tinggal di kota, yaitu di Albert St, Clerence
Garden, hanya berjarak sekitar 40 menit ke tempat pelatihan, sementara Pak
Kusnadi dan Bu Tiktik harus menempuh jarak lebih dari 2 jam.
Selama
di Australia kami mendapat ilmu, pengetahuan dan pengalaman baru. Setiap Senin
sampai Kamis dari pukul 09.00 sampai 15.00 kami berkutat dengan teori yang
diberikan para instruktur yang seluruhnya orang bule. Tempat pelatihan di
Gedung Education Development Centre, South Australia (semacam LPMP di kita) dan
di International Education Service milik Department Education and Children Development
Australia. Materi yang kami terima mulai dari Cultural exchange, Australian Education system, learning style, trans
disciplinary learning, school bullying, tecnology in the classroom,
colaborative learning dan teacher
professional development. Di samping teori kami juga diperkenalkan dengan
lingkungan, budaya dan lembaga pendidikan di Australia dalam konsep kegiatan cross cultural experience dan educational visit.
Berbagai
agenda kegiatan yang kami ikuti memang cukup menguras konsentrasi, energi dan
stamina. Apalagi kami dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai kendala bahasa
sampai kondisi suhu dan cuaca yang tidak menentu. Umumnya suhu berkisar antara
6 – 15 ◦C dengan angin yang cukup kencang terkadang diiringi hujan deras.
Walaupun begitu semua kegiatan berhasil diikuti dengan baik.
Banyak
pelajaran dan hikmah yang kami ambil selama tinggal di Australia. Kesan yang
paling mendalam adalah mengenai kebersihan , ketertiban dan kepatuhan warga terhadap
aturan yang ada. Semua tempat terkesan indah, bersih dan teratur. Budaya antri
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat.
Ketaatan masyarakat terhadap aturan dan hukum begitu tinggi padahal selama di
sini saya hampir tidak pernah bertemu polisi, hal yang sama juga terlihat di
stadion sepak bola ketika saya mendapat kesempatan dari HF untuk menonton
A-League atau Liga Australia. Budaya “thank you” begitu kuat tertanam dalam
kehidupan masyarakat. Sekecil apapun jasa yang orang berikan selalu dibalas
dengan ucapan terima kasih. Sebagai contoh, setia kali penumpang naik dan turun
dari kendaraan umum, ucapan salam dan thank you selalu terucap.
Hal
lain yang menarik perhatian, adalah bagaimana perhatian dan sikap pemerintah
dan masyarakat terhadap kaum disabilitas. Mereka dilindungi dengan kebijakan
pemerintah yang jelas. Fasilitas dan
pelayanan khusus untuk kaum disabilitas bisa didapat hampir di semua tempat dan
kendaraan umum. Dukungan dari warga yang normal juga begitu kuat. Hanya di sini
saya bisa melihat seorang sopir bis dan masinis turun dari tempatnya hanya
untuk membantu penumpang yang cacat naik ke bis dan kereta atau tram.
Dalam
bidang pendidikan, khususnya pembelajaran di kelas, satu hal yang patut kita
contoh adalah upaya memperlakukan peserta didik sebagai Very Important Person. Dalam kondisi apapun, guru harus melayani peserta
didik sebaik mungkin. Pelayanan guru terhadap peserta didik seperti pelayanan
perusahaan terhadap customer-nya.
Guru tidak boleh marah di kelas, ketika ada peserta didik yang bermasalah guru
cukup memanggilnya ke luar dan menegurnya secara terpisah dari teman-temannya.
Bahkan ketika di salah satu kelas saya menemukan siswa yang mabuk mariyuana,
gurunya tetap membimbing dia untuk terus belajar sampai tuntas. Kata guru
tersebut, kita tidak boleh mengusir anak tersebut, hargai kemauan dia untuk
datang ke sekolah walaupun dalam kondisi mabuk selama mabuknya tidak mengganggu
keselamatan diri dan orang lain. Saya tidak tahu apakah komen pembaca terhadap
pernyataan ini. Hanya intinya, di sana saya mendapat pengalaman berharga untuk
melayani peserta didik semaksimal mungkin dan menghargai sekecil apapun potensi
mereka.
Mengakhiri
tulisan ini, saya mencoba merajut mimpi, bahwa suatu saat nanti kita akan punya
masyarakat yang lebih baik, lebih baik dari masyarakat di sana. Dasar teorinya
sudah ada dalam diri kita, baik dari tuntunan agama, budaya maupun falsapah
kita. Selain itu, potensi untuk itu pun sudah kita, dimana kita punya kondisi pembelajaran
di kelas yang relatif lebih kondusif dan anak-anak yang relatif lebih sopan,
tertib dan hormat pada guru, sangat jauh dibanding dengan anak-anak di sana. Tantangan
terbesar, tinggal bagaimana saya dan rekan-rekan guru mampu memanfaatkan
potensi yang ada secara maksimal dan mampu menjadi inspirasi yang positif bagi
mereka lewat pembelajaran yang menginspirasi. Semoga!
So Far So Good Kang hebatt heheh..manawi tahun payun aya keneh programna hoyong nyobi ah kabita (Y)
BalasHapusSo Far So Good Kang hebatt heheh..manawi tahun payun aya keneh programna hoyong nyobi ah kabita (Y)
BalasHapus