Sepak bola adalah mungkin salah satu bagian yang tak terpisahkan
dalam hidup penulis. Walaupun untuk saat ini hanya sebatas aktif sebagai
penonton dan pembina saja. Mungkin atas dasar itu Allah SWT mentakdirkan
penulis dan rekan Muhammad Sadikin dari Bogor menjadi peserta yang beruntung
mendapat kesempatan menonton secara langsung A-League atau Liga Australia. Selain mendapat tontonan liga secara
gratis, di sini pula kami mendapat berbagai pengetahuan dan pengalaman langsung
perihal karakter orang Australia ketika menikmati menonton sepak bola.
Pada
mulanya, saat dinner kami diberi
pilihan oleh HF, mau dinner
di restoran Italia atau menonton A-League. Sebagai penggemar bola, spontan penulis langsung memilih option kedua. Untungnya sahabat penulis, Muhammad Sadikin, juga sependapat, coba kalau tidak wah buahaya tuh impian bisa gagal jadi kenyataan. Jujur saja menonton A-League menjadi salah satu obsesi penulis selama berkesempatan mengunjungi Australia ini.
Minggu, 13 Oktober 2013 sekitar pukul
15.30 kami diantar HF ke Hindmarsh Stadium (Coopers Stadium) home base dari tim Adelaide United FC. Saat itu Adelaide United berkesempatan menjamu Perth
Glory dalam pertandingan pertama session 2013-2014. HF memang hanya mengantar
karena beliau sedang flu berat dan tidak terlalu menyukai sepak bola.
Ketika
sampai di stadion yang pertama membuat kami sedikit
bingung adalah sistim ticketing yang
sedikit berbeda dengan di kita. HF membeli tiket melalui layanan internet (easy ticket) sehingga kami hanya membawa
hasil print out dari layanan
tersebut. Begitu masuk gate kami
harus melakukan scanning atas code yang ada di tiket, karena di sini
tiket menggunakan sistim barcode ,
kalau cocok maka pintu akan terbuka. Kebingungan berikutnya kami rasakan ketika
di dalam stadion, kami mencoba mencari tempat duduk sesuai nomor di tiket, tapi
ketika kami bertanya hampir ke empat orang petugas jawabannya sama, kami boleh
duduk dimana saja, kecuali di tribun utama yang katanya diperuntukan khusus members. Ini berbeda dengan di Stadion Siliwangi, Si Jalak Harupat
atau stadion lainnya
di negara kita , dimana penonton harus duduk di tribun
sesuai tiket yang dibeli.
Waktu
pertandingan sekitar 30 menit lagi. Satu persatu penonton mulai
berdatangan. Mereka duduk dengan tenang di tempat masing-masing. Jarak antara
tempat duduk dengan lapangan hanya dibatasi oleh papan iklan setinggi satu
meter. penulis terus mengamati satu persatu
penonton yang datang. Tanda tanya besar masih tersimpan di benak penulis, apa benar yang dikatakan salah seorang pemateri waktu kegiatan pre departure bahwa menonton sepak bola di sini sangat tertib dan seolah menjadi
arena rekreasi keluarga dimana semua orang dari berbagai lapisan usia datang
dan bisa menonton dengan tenang.
Setelah pertandingan hampir dimulai,
satu persatu pertanyaan tersebut mulai terjawab. Penonton yang datang
benar-benar berasal dari berbagai lapisan usia, mulai dari kakek-nenek sampai
bayi dan ibu hamil benar-benar datang dan nonton pertandingan. Prilaku mereka
relatif santun, hanya duduk menonton terkadang ditambah bernyanyi dan berteriak saja, tidak
ada ekspresi yang berlebihan apalagi
prilaku menjurus anarkis, intimidatif
dan rasis seperti yang sering kita lihat selama ini. Bahkan suporter
dari tim lawan mendapat tempat khusus tanpa gangguan dari pihak tuan rumah.
Pertandingan
yang mulanya monoton kemudian menjadi sedikit keras. Sang pengadil sampai harus
mengeluarkan sekitar 7 kartu kuning dan satu kartu merah. Sebagian besar kartu
kuning, termasuk kartu merah diperuntukan bagi pemain tuan rumah. Setiap kali
kartu diberikan pada pemain tuan rumah, penonton terlihat tidak puas, tetapi
setelah mereka melihat tayangan ulang di layar lebar yang ada di stadion mereka
paham dan menerima, tidak ada cercaan atau hujatan pada sang pengadil. Asas fair play benar-benar mereka junjung
tinggi.
Begitu istirahat half time panitia mengumumkan bahwa penonton yang hadir sekitar 10.600
orang. Saya amati sekeliling stadion, tidak terlihat polisi seorang pun, di
dalam stadion hanya dijaga oleh beberapa orang steward dari pihak panitia. Polisi baru terlihat ketika bubaran di
luar stadion, jumlahnya juga hanya sekitar 10 orang terdiri dari dua orang
berkuda, dua orang mengendarai mobil dan sisanya berjaga di jalanan sekitar
stadion. Situasi ini sungguh berbeda dengan di kita yang harus dijaga ribuan petugas
keamanan bahkan ditambah pasukan berkuda dan panser.
Pada saat pertandingan berakhir dengan
kemenangan tuan rumah 3-1, penonton keluar dengan tertib dan langsung pulang
tanpa bergerombol dulu. Mereka langsung menuju kendaraan masing-masing tanpa
ekspresi gembira yang berlebihan. Penonton tim lawan juga terlihat keluar dari
pintu yang bersamaan dengan penonton tuan rumah dengan aman, tenang bahkan
saling sapa dan bergurau satu dengan yang lain.
Berdasarkan
pengalaman yang diungkap di atas ada beberapa hal positif yang
bisa kita contoh. Fanatisme atau antusiasme dalam mendukung klub kesayangan ternyata tidak
mesti diwujudkan dengan aksi yang berlebihan, anarkis, rasis, intimidatif atau
sikap fanatisme buta yang lainnya. Kehadiran suporter tim di lapangan dengan prilaku yang santun ditambah
teriakan dan nyanyian yang wajar pun
ternyata tetap mampu membakar semangat tim kesayangan untuk bermain maksimal
dan memenangkan pertandingan. Sikap respek yang ditunjukkan terhadap siapapun, termasuk
pemain, wasit dan suporter tim lawan, tetap bisa ditunjukkan tanpa mengurangi
sikap antusiasme dalam menonton dan mendukung tim kesayangan. Hal tersebut di atas sungguh merupakan cerminan dari karakter yang
positif.
Ada
secercah harapan, seiring dengan dikembangkannya pendidikan karakter dan
perubahan kurikulum mudah-mudahan situasi dan kondisi yang lebih baik bisa kita nikmati di negeri
kita suatu saat nanti. Dengan pendidikan karakter diharapkan
bisa terbentuk generasi yang lebih baik dari sebelumnya. Terbentuk generasi
yang tahu etika kesopanan, berjiwa ksatria, senantiasa respek terhadap sesama
dan taat pada aturan yang berlaku. Dalam upaya membangun karakter ini, guru
berperan sangat penting. Guru diharapkan mampu membimbing, mengarahkan dan
memberi teladan kepada peserta didiknya hingga terbangun karakter yang baik.
Dengan karakter yang baik ini, suatu saat kita bisa mewujudkan mimpi, salah
satunya datang ke stadion tanpa rasa takut, khawatir dan bisa menonton dengan
nyaman. Insya Allah! (Coopers Stadium, Adelaide, South Australia 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOLOM kOMENTAR
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.