MENATAP MASA LALU TANAH BANDUNG DARI STONE GARDEN
Oleh:
Enang
Cuhendi
Sekeluar
dari pintu tol Padalarang mobil melaju kearah Cianjur. Sekira lima Kilometer
dari Situ Ciburuy setelah melewati perbukitan kapur mobil berbelok ke kanan keluar
dari jalan raya melewati jalan desa yang sedikit berdebu. Beberapa kali mobil
dipaksa menepi karena berpapasan dengan truk-truk tua pengangkut kapur.
Akhirnya kami pun sampai di lokasi. “Stone Garden” atau taman batu namanya.
Stone Garden, adalah sebutan untuk hamparan tanah seluas dua hektar yang diisi
oleh formasi batuan tak beraturan yang indah dan membentuk taman alam.
Berada
di Kawasan Karst Citatah, Kampung Giri Mulya, Desa Gunung Masigit, Kecamatan
Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Stone Garden memang didominasi oleh
batuan. Seluas mata memandang hamparan yang terlihat hanyalah formasi
batuan-batuan yang indah dan unik. Akan tetapi batuan di sini bukanlah jenis batuan
biasa seperti umumnya di wilayah pegunungan. Jenis batuan di kawasan ini merupakan jenis
karst atau batu gamping, yaitu batuan endapan yang terbentuk di dasar lautan
dari tumpukan cangkang binatang laut dalam kurun waktu jutaan tahun.
Lho
kok ada batuan karts di daerah ini padahal wilayah ini berupa pegunungan dengan
ketinggian puncak berada di 908 meter di atas permukaan laut? Ya, batu yang ada
di lokasi Goepark Stone Garden dan betu-betul kumpulan karst atau batu karang. Dahulu
daerah karst itu merupakan dasar laut dangkal. Batuan kapur yang ada dibentuk
oleh terumbu karang di dasar laut. Melalui proses geologi tumpukan batuan
endapan ini terangkat ke permukaan laut dan membentuk dataran atau pegunungan
batu gamping seiring mengeringnya laut dangkal itu. Pembentukan Stone Garden diperkirakan terjadi
pada zaman Miosen, 20-30 juta tahun silam (KRCB, 2006).
Batuan
Karst di Stone Garden
Kawasan
Karst Citatah termasuk warisan tertua di Pulau Jawa. Terbentang sepanjang enam
Kilometer dari mulai Tagog Apu hingga Selatan Rajamandala. Ciri utama wilayah
ini sebagian besar tanahnya berupa batuan kapur. Masyarakat sekitar umumnya
memanfaatkan sumber daya alam ini untuk berbagai kebutuhan dari mulai bahan
bangunan sampai hiasan rumah.
Karst
memang memiliki beberapa nilai penting. Dilihat dari sisi ilmiah keberadaan
karst bermanfaat untuk pengembangan dan apliksi berbagai jenis ilmu pengetahuan,
baik yang berbasis kebumian, biologi, kehutanan, pertanian, arkeologi, sosial
budaya maupun hukum. Secara ekonomi karst berfungsi sebagai sebagai sumberdaya
hayati maupun nirhayati yang bermanfaat di bidang pertambangan, kehutanan,
pertanian, pengelolaan air, pariwisata dan bio ekonomi. Karst juga merupakan
potensi alam dengan beragam aspek keindahan, rekreasi, pendidikan,
sosio-ekonomi dan sosio-budaya setempat.
Berada
di Stone Garden mata ini dimanjakan dengan pemandangan indah. Sekeliling
terlihat formasi batuan yang terentuk secara alami tanpa campur tangan manusia.
Batuan tertinggi oleh pengelola dinamakan Puncak Panyawangan.
Puncak
Panyawangan
Dari
Puncak Panyawangan ketika pandangan di arahkan ke Timur nampak jelas sebuah
cekungan besar seperti mangkuk terhampar dari Cipatat sampai ke arah Bandung.
Keberadaan Stone Garden seolah membuktikan bahwa dulunya dataran tinggi Bandung
merupakan sebuah laut dangkal atau danau besar. Imajinasi inipun bergerak liar
ke masa jutaan tahun yang lalu. Membayangkan kawasan yang dikenal dengan
sebutan Bandung merupakan daratan luas yang berupa dasar danau.
Danau
Bandung Purba atau dalam istilah geologi disebut sebagai Bandung Basin,
diperkirakan terbentuk ratusan ribu, bahkan ada yang menyebut jutaan tahun
lalu. Danau yang memanjang sekira 60 Kilometer terbentang mulai dari kawasan Padalarang
di Barat sampai Nagreg di Timur dan dan 4o Kilometer dari Lembang di Utara
sampai Kawasan Bandung Selatan. Garis tinggi 725 meter yang melewati
Padalarang, Bandung Utara, Cicalengka, Nagreg, dan Banjaran sampai ke sebelah
barat Cililin merupakan garis tepi danau. Di banyak tempat di sekitar danau,
wilayah di atas ketingian 725 meter, banyak ditemukan hasil-hasil kebudayaan
yang berupa flakes dari bahan obsidian. Flakes tersebut umumnya berupa
microlith atau batuan kecil. Daerah penghasil batuan obsidian terdapat di
Nagreg dan Garut Utara. Menurut Soekmono (1973: 46-47) flakes dari sekitar
Danau Bandung ini menjadi inti dari flakes
culture dan diperkirakan berasal
dari masa mesolithikum. Sedangkan mengenai pecahan tembikar dan perunggu yang
juga banyak ditemukan menunjukkan bahwa sesudah jaman mesolithikum berakhir,
kebudayaan di sana berlangsung terus dan mengikuti perkembangan berikutnya
menjadi neolithikum dan jaman perunggu.
Di
atasnya ditutupi oleh air danau dengan berbagai jenis ikan berenang menikmati
alaminya kondisi air saat itu. Sebagian sisa fosil ikan yang pernah hidup di
danau ini ditemukan di daratan Kota Bandung dan disimpan di Museum Geologi
Bandung.
Banyak
teori tentang bagaimana proses terbentuknya Danau Bandung. Seorang geolog
Belanda yang cukup konsen mempelajari karakter dan stratigrafi bumi Indonesia, Reinout
Willem van Bemmelen, dalam bukunya The Geology of Indonesia, memberikan
pemaparan bahwa sejarah geologi Bandung dapat ditelusuri hingga sekitar 20 juta
tahun yang lalu. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap bentuk bantuan dan
morfologi gunung-gunung berapi di sekitar Bandung ia berpendapat bahwa Danau
Bandung Purba terbentuk karena Sungai Citarum purba yang tersumbat.
Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu dari letusan Gunung Tangkuban
Parahu yang sebelumnya didahului oleh letusan dahsyat dari Gunung Sunda Purba.
Kurang
lebih sekitar 14 juta-4 juta tahun yang lalu, Van Bemmelen memperkirakan dasar
laut mulai terangkat secara tektonik menjadi daratan dan daerah pegunungan.
Selanjutnya serangkaian aktivitas vulkanik lalu menyebabkan lahirnya
bukit-bukit yang mengarah ke bagian utara selatan; antara Bandung dan Cimahi.
Dua
juta tahun yang lalu aktivitas vulkanologi ini sepenuhnya bergeser ke utara dan
membentuk Gunung Sunda, gunung api purba yang kemudian meletus membentuk
kaldera, pada gilirannya memunculkan Gunung Tangkuban Parahu.
Seakan
memperkuat pendapat Van Bemmelen, Sutikno Bronto bersama Udi Hartono, pada
tahun 2006 mengkaji Potensi Sumber Daya Geologi di Daerah Cekungan Bandung,
juga memperkirakan bahwa Cekungan Bandung merupakan sebuah kaldera.
Beberapa
peneliti juga menemukan di antara tanah purba atau batuan sedimen terbawah
Cekungan Bandung terdapat lapisan abu gunung api. Temuan yang kerap dihubungkan
dengan kegiatan gunung api dan mungkin mengawali pembentukan Danau Bandung.
Tahun
1992, Tim peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Indonesia) yang
dipimpin oleh Dam, M. A. C. dan Suparan mengungkapkan hal yang berbeda dari
penelitian-penelitian sebelumnya berkenaan dengan sejarah geologi Bandung.
Menggunakan metode penanggalan radiometri dengan isotop carbon C-14 dan metode
pengamatan bentuk serta singkapan morfologi, para peneliti ini bahkan telah
menjumpai umur yang jauh lebih tua untuk beberapa kejadian dari yang
diperkirakan sebelumnya.
Mereka
mencari lapisan endapan sedimen Danau Bandung dengan melakukan pengeboran di
dua tempat; 60 meter di Bojongsoang dan mencapai kedalaman 104 meter di
Sukamanah. Dalam laporannya menyimpulkan
bahwa Danau Bandung Purba tidak terbentuk atau disebabkan oleh peristiwa
letusan Gunung Sunda dan atau Gunung Tangkuban Parahu. Danau Bandung menurut
mereka terjadi karena peristiwa tektonik dan peristiwa denudasi (proses
pengikisan permukaan yang mengakibatkan berkurangnya ketinggian) yang terjadi
pada 125 ribu tahun yang lalu.
Seiring
waktu air danau pun surut dan mengering. Di atas kawasan Bandung tidak ada lagi
wilayah yang digenangi air danau. Berdasarkan hasil penelitian
terakhir air Danau Bandung surut ke arah Barat tepatnya di sekitar Cukang
Rahong perbatasan Kabupaten Bandung Barat (KBB) dengan Rajamandala. Bagian
Timur Curug Jompong yang sekarang dibuat saluran oleh Pemda KBB. Sebelumnya ada
anggapan bahwa danau purba ini jebol di Sanghyang Tikoro, akan tetapi pendapat
ini diragukan mengingat ada perbedaan ketinggian yang nyata. Bagaimana
Danau Bandung Purba ini kemudian terkuras habis? Konon-masih banyak perdebatan
untuk alasan pastinya-hilangnya air dari danau itu disebabkan terbukanya
wilayah-wilayah pembendung. Ada juga yang berpendapat surutnya air Danau
Bandung Purba karena proses pendangkalan akibat material-material yang masuk ke
dalam danau yang kemudian mengendap.
Kawasan
berair yang paling akhir bisa ditemukan di Kota Bandung adalah Situ Aksan.
Sayang karena derasnya laju pembangunan sekira tahun 1980-an di sekitar Situ
Aksan dialih fungsikan menjadi lapang golf dan sejumlah hunian. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Bandung
dulunya adalah danau atau laut dangkal
beberapa tempat di kawasan Bandung di awali dengan kata Ci yang berarti cai atau air, seperti: Cileunyi, Cicaheum, Cibiru, Cimahi, dan
sebagainya.
Setelah
air surut, daratan bekas danau Bandung berubah menjadi kawasan yang subur.
Hutan yang lebat tumbuh menyelimuti kawasan ini. Beraneka binatang buas, mulai
dari monyet, rusa, badak sampai harimau atau maung hidup di sini.
Ketika
manusia mulai muncul menghuni Bumi, wilayah Bandung pun mulai dihuni manusia.
Penemuan fosil manusia purba di Guha (Goa) Pawon yang berada di Krast Citatah ketinggian
di atas 700 mpdpl menjadi bukti
keberadaan kehidupan manusia purba penghuni wilayah Bandung Purba. Fosil
diperkirakan berusia antara 7.000 sampai dengan 10,000 tahun yang lalu. Bahkan
ada yang beranggapan bahwa manusia Guha Pawon menjadi saksi keberadaan Danau
Bandung.
Semakin
lama Bandung kuno semakin berkembang. Kawasan hutan berubah menjadi
perkampungan dan kemudian menjadi kota dengan beberapa kota lain
mengelilinginya. Bandung berkembang menjadi Kabupaten Bandung, Kota Bandung,
Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.
Lamunanpun
terjaga ketika seorang teman mengajak pulang karena hari semakin siang. Sebelum
pamit ada sedikit saran, agar tidak kepanasan dan bisa menikmati udara segar sangat
disarankan untuk datang ke lokasi ini di pagi hari, dijamin pasti puas.
Sumber Bacaan:
Soekmono, 1973, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia 1, Kanisius, Yogjakarta.
“Danau Bandung; Cekungan Purba dari Kala Pleistosen” http://www.wacana.co/2016/04/danau-bandung-cekungan-purba/.
Diakses pada 22 Desember 2018 pukul 00.36
https://sains.kompas.com
› Kompas.com › Sains diakses pada 22
Desember 2018 pukul 00.36