Oleh: Enang Cuhendi
Setiap 20 Mei bangsa Indonesia
memperingati hari kebangkitan nasional. Pilihan tanggal tersebut tentunya bukan
tanpa alasan, tanggal tersebut dikaitkan dengan lahirnya sebuah organisasi yang
diberi nama Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Lepas dari segala kontroversi, Budi
Utomo dipandang sebagai organisasi pertama yang mampu menyatukan beragam anak
bangsa yang tinggal di kawasan Nusantara ini dan menjadi perintis lahirnya
kesadaran nasional bagi bangsa Indonesia. Budi Utomo dipandang sebagai
organisasi pertama yang mampu menggugah bangkitnya nasionalisme Indonesia.
Bangkitnya nasionalisme merupakan suatu peristiwa
yang sangat penting dalam perjalanan suatu bangsa. Bangkitnya semangat kebangsaan ini menjadi
titik awal lahirnya kehidupan berbangsa dan bernegara dari suatu kelompok
manusia dan akan menjadi tiang utama tegaknya suatu negara. Sejalan dengan ini,
Prof. Slamet Muljana dalam bukunya Kesadaran
Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008) mengatakan bahwa
ibarat nyawa bagi manusia, nasionalisme adalah jantung kehidupan suatu negara.Tanpa
jantung yang terus berdetak maka manusia tersebut akan dinyatakan mati. Tanpa
nasionalisme yang senantiasa tertanam dalam diri setiap anak bangsa maka cepat atau lambat akan hancurlah
kehidupan bangsa tersebut.
Pada hakikatnya nasionalisme adalah
wujud dari kesadaran nasional dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara.
Pengabdian tersebut tidak mengenal batas ruang dan waktu. Apabila rasa bangga
sebagai bangsa dan negara sudah luntur dalam diri setiap anak bangsa maka itu
adalah sinyal bahwa semangat nasional telah merosot, dan keruntuhan negara
tersebut sudah di depan mata.
Tantangan Globalisasi
Seiring dengan berkembangnya globalisasi, tantangan atas nasionalisme
terasa semakin kuat. Globalisasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya teknologi informasi sebagai produk utamanya telah mampu melepaskan
setiap bangsa dari batas-batas teritorial yang dimilikinya. Di era ini dunia
seakan menjadi satu tanpa sekat geografis.
Kemajuan teknologi informasi juga telah
mendorong terjalinnya interaksi sosial yang intens antara satu bangsa dengan
bangsa lainnya di seluruh dunia. Dengan kemajuan iptek di era global kehidupan
manusia menjadi semakin dibuat mudah. Perkembangan peristiwa dan perubahan
sosial budaya yang terjadi di suatu tempat bisa diketahui dan dirasakan di
belahan bumi yang lain dalam waktu yang
relatif bersamaan.
Perkembangan kehidupan di era global
memang telah menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap kehidupan masyarakat.
Selama dampak tersebut masih positif memang tidak menjadi masalah, akan tetapi
lain halnya kalau dampak negatif yang muncul. Globalisasi di antaranya mampu
meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan
kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi
Pancasila ke ideologi liberal. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa
nasionalisme akan mulai hilang.
Masuk dan berkembangnya budaya asing
melalui berbagai saluran ke dalam kehidupan bangsa Indonesia telah menyebabkan terkikisnya
nilai-nilai kehidupan dan jati diri bangsa. Proses imitasi yang terjadi sebagai
hasil dari akulturasi di era global telah menimbulkan dampak negatif di
kalangan generasi muda. Mereka seakan lupa dengan jati dirinya. Rasa bangga
akan segala produk budaya asing, khususnya yang datang dari barat, telah
mengesampingkan hasil-hasil budaya sendiri dengan segala sisi positifnya karena
gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap
sebagai kiblat.
Globalisasi juga terjadi di bidang
ekonomi. Ditandai dengan banyaknya produk luar negeri yang membanjiri negeri
kita. Hal ini telah mendorong hilangnya
rasa cinta terhadap produk dalam negeri. Hilangnya rasa cinta terhadap produk
dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme. Hal lain,
terjadinya persaingan bebas yang menjadi ciri globalisasi ekonomi telah
mendorong timbulnya pertentangan antara si kaya dan si miskin. Kondisi
ketimpangan sosial ini pada akhirnya dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa
kita.
Dari aspek sosial, globalisasi telah
mendorong munculnya sikap individualisme. Sikap individualis menimbulkan
ketidakpedulian antar sesama warga. Dengan demikian orang tidak lagi peduli
dengan kehidupan masyarakat dan bangsanya.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak
secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi, secara
keseluruhan dapat menimbulkan berkurangnya rasa nasionalisme yang pada akhirnya
bukan mustahil menjadi hilang. Globalisasi memang mampu membuka cakrawala
masyarakat menjadi lebih luas. Apa yang terjadi di luar negeri akan memberi inspirasi
kepada masyarakat kita untuk menerapkannya di negara kita. Jika terjadi maka
akan menimbulkan dilema. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila
tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis
sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
Pendidikan Karakter
Sebagai Solusi
Berbagai masalah yang muncul di era
global ini telah menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa kita. Pendidikan
diharapkan bisa menjadi salah satu institusi yang paling berperan aktif dalam
menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut. Terobosan-terobosan di bidang
pendidikan perlu dikembangkan untuk menjawab semua tantangan globalisasi.
Salah satu terobosan di bidang
pendidikan adalah dikembangkannya gerakan Penumbuhan Pendidikan Karakter (PPK).
PPK diharapkan bisa menjadi alternatif solusi menghadapi masalah di era global.
Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional, yaitu untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam acara Sarasehan Pendidikan yang
dilaksanakan tanggal
14 Januari 2010 diputuskan
adanya kesepakatan nasional tentang pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa. Pendidikan budaya dan karakter bangsa
merupakan bagian integral yg tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara
utuh. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara
komprehensif sbg proses pembudayaan.
Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu
diwadahi secara utuh. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung
jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena
itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur
tersebut. Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budya karakter bangsa
diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam
pelaksanaan di lapangan.
Pendidikan karakter pada hakekatnya adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang
baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak
berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain,
pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik, perasaan
yang baik,
dan perilaku yang baik sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan
sikap hidup peserta didik.
Proses pengembangan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta
didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses
tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling
tidak sampai kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa
di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun. Proses pengembangan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa dilakukan melalui semua
mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa
proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui
setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.
Penutup
Harapan besar disandarkan pada program
penumbuhan pendidikan karakter. Program ini diharapkan bisa mengatasi
masalah-masalah yang muncul di era global. Khususnya pada upaya menumbuhkan
kembali bangkitnya kesadaran nasional di kalangan generasi muda. Kunci
suksesnya, terletak pada tanggung jawab dan partisipasi aktif semua pihak dalam
menjalankan gerakan tersebut.
(Artikel ini diterbitkan pada majalah KANDAGA, edisi: 105/Thn VIII/2018)