Jumat, 05 Oktober 2018

TANTANGAN KESADARAN NASIONAL DI ERA GLOBAL


Oleh: Enang Cuhendi


Setiap 20 Mei bangsa Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional. Pilihan tanggal tersebut tentunya bukan tanpa alasan, tanggal tersebut dikaitkan dengan lahirnya sebuah organisasi yang diberi nama Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Lepas dari segala kontroversi, Budi Utomo dipandang sebagai organisasi pertama yang mampu menyatukan beragam anak bangsa yang tinggal di kawasan Nusantara ini dan menjadi perintis lahirnya kesadaran nasional bagi bangsa Indonesia. Budi Utomo dipandang sebagai organisasi pertama yang mampu menggugah bangkitnya nasionalisme Indonesia.
Bangkitnya nasionalisme merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam perjalanan suatu bangsa.  Bangkitnya semangat kebangsaan ini menjadi titik awal lahirnya kehidupan berbangsa dan bernegara dari suatu kelompok manusia dan akan menjadi tiang utama tegaknya suatu negara. Sejalan dengan ini, Prof. Slamet Muljana dalam bukunya Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008) mengatakan bahwa ibarat nyawa bagi manusia, nasionalisme adalah jantung kehidupan suatu negara.Tanpa jantung yang terus berdetak maka manusia tersebut akan dinyatakan mati. Tanpa nasionalisme yang senantiasa tertanam dalam diri setiap anak bangsa  maka cepat atau lambat akan hancurlah kehidupan bangsa tersebut.
Pada hakikatnya nasionalisme adalah wujud dari kesadaran nasional dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara. Pengabdian tersebut tidak mengenal batas ruang dan waktu. Apabila rasa bangga sebagai bangsa dan negara sudah luntur dalam diri setiap anak bangsa maka itu adalah sinyal bahwa semangat nasional telah merosot, dan keruntuhan negara tersebut sudah di depan mata.

Tantangan Globalisasi
Seiring dengan berkembangnya  globalisasi, tantangan atas nasionalisme terasa semakin kuat. Globalisasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi sebagai produk utamanya telah mampu melepaskan setiap bangsa dari batas-batas teritorial yang dimilikinya. Di era ini dunia seakan menjadi satu tanpa sekat geografis.
Kemajuan teknologi informasi juga telah mendorong terjalinnya interaksi sosial yang intens antara satu bangsa dengan bangsa lainnya di seluruh dunia. Dengan kemajuan iptek di era global kehidupan manusia menjadi semakin dibuat mudah. Perkembangan peristiwa dan perubahan sosial budaya yang terjadi di suatu tempat bisa diketahui dan dirasakan di belahan bumi yang lain  dalam waktu yang relatif bersamaan.
Perkembangan kehidupan di era global memang telah menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap kehidupan masyarakat. Selama dampak tersebut masih positif memang tidak menjadi masalah, akan tetapi lain halnya kalau dampak negatif yang muncul. Globalisasi di antaranya mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberal. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme akan mulai hilang.
Masuk dan berkembangnya budaya asing melalui berbagai saluran ke dalam kehidupan bangsa Indonesia telah menyebabkan terkikisnya nilai-nilai kehidupan dan jati diri bangsa. Proses imitasi yang terjadi sebagai hasil dari akulturasi di era global telah menimbulkan dampak negatif di kalangan generasi muda. Mereka seakan lupa dengan jati dirinya. Rasa bangga akan segala produk budaya asing, khususnya yang datang dari barat, telah mengesampingkan hasil-hasil budaya sendiri dengan segala sisi positifnya karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
Globalisasi juga terjadi di bidang ekonomi. Ditandai dengan banyaknya produk luar negeri yang membanjiri negeri kita. Hal ini  telah mendorong hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri. Hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme. Hal lain, terjadinya persaingan bebas yang menjadi ciri globalisasi ekonomi telah mendorong timbulnya pertentangan antara si kaya dan si miskin. Kondisi ketimpangan sosial ini pada akhirnya dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa kita.
Dari aspek sosial, globalisasi telah mendorong munculnya sikap individualisme. Sikap individualis menimbulkan ketidakpedulian antar sesama warga. Dengan demikian orang tidak lagi peduli dengan kehidupan masyarakat dan bangsanya.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi, secara keseluruhan dapat menimbulkan berkurangnya rasa nasionalisme yang pada akhirnya bukan mustahil menjadi hilang. Globalisasi memang mampu membuka cakrawala masyarakat menjadi lebih luas. Apa yang terjadi di luar negeri akan memberi inspirasi kepada masyarakat kita untuk menerapkannya di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilema. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pendidikan Karakter Sebagai Solusi
Berbagai masalah yang muncul di era global ini telah menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa kita. Pendidikan diharapkan bisa menjadi salah satu institusi yang paling berperan aktif dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut. Terobosan-terobosan di bidang pendidikan perlu dikembangkan untuk menjawab semua tantangan globalisasi.
Salah satu terobosan di bidang pendidikan adalah dikembangkannya gerakan Penumbuhan Pendidikan Karakter (PPK). PPK diharapkan bisa menjadi alternatif solusi menghadapi masalah di era global. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam acara Sarasehan Pendidikan yang dilaksanakan tanggal 14 Januari 2010 diputuskan adanya kesepakatan nasional tentang pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yg tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sbg proses pembudayaan.  Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Oleh karena itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.
Pendidikan karakter  pada hakekatnya adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik, perasaan yang baik, dan perilaku yang baik sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.
Proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun.   Proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa  dilakukan melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.

Penutup
Harapan besar disandarkan pada program penumbuhan pendidikan karakter. Program ini diharapkan bisa mengatasi masalah-masalah yang muncul di era global. Khususnya pada upaya menumbuhkan kembali bangkitnya kesadaran nasional di kalangan generasi muda. Kunci suksesnya, terletak pada tanggung jawab dan partisipasi aktif semua pihak dalam  menjalankan gerakan tersebut.


(Artikel ini diterbitkan pada majalah KANDAGA, edisi: 105/Thn VIII/2018)