Rabu, 23 Mei 2018

MENGEMBANGKAN SEKOLAH SIAGA BENCANA


Oleh:
Enang Cuhendi

Indonesia banyak disebut sebagai negeri bencana. Negeri ini bagaikan laboratorium besar kebencanaan. Semua jenis, tipe, skala, dan rupa dampak dari bencana setidaknya pernah terjadi di Indonesia. Hal ini salah satunya ada kaitan dengan kondisi geografis Indonesia. 
Salah satu daerah yang masuk katagori rawan bencana adalah Kabupaten Garut. Secara geografis, kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sumedang di utara, Kabupaten Tasikmalaya di timur, Samudera Hindia di selatan, serta Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung di barat. Sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan,  kecuali di sebagian pantai selatan berupa dataran rendah yang sempit. Di antara gunung-gunung di Garut adalah: Gunung Papandayan (2.262 m) dan Gunung Guntur (2.249 m), keduanya terletak di perbatasan dengan Kabupaten Bandung, serta Gunung Cikuray (2.821 m) di selatan kota Garut.
Karakteristik topografi Kabupaten Garut: sebelah Utara terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan, sedangkan bagian Selatan (Garut Selatan) sebagian besar permukaannya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan di beberapa tempat labil. Ketinggian tempat Kabupaten Garut cukup bervariasi antara wilayah yang paling rendah yang sejajar dengan permukaan laut hingga wilayah tertinggi di puncak gunung. Wilayah yang berada pada ketinggian 500–1.000 m dpl terdapat di kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan dan wilayah yang berada pada ketinggian 1.000–1.500 m dpl terdapat di kecamatan  Cikajang,  Pakenjeng,  Pamulihan,  Cisurupan dan Cisewu. Wilayah yang terletak pada ketinggian 100–500 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong, Cisompet, Cisewu, Cikelet dan Bungbulang serta wilayah yang terletak di daratan rendah pada ketinggian kurang dari 100 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong dan Pameungpeuk.
Wilayah Kabupaten Garut juga memiliki aliran sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) di Garut dibagi menjadi dua  yaitu Daerah Aliran Utara yang bermuara di Laut Jawa dan Daerah Aliran Selatan yang bermuara di Samudera Indonesia. Daerah aliran selatan pada umumnya relatif pendek, sempit dan berlembah-lembah dibandingkan dengan daerah aliran utara. Daerah aliran utara merupakan DAS sungai Cimanuk Bagian Utara, sedangkan daerah aliran selatan merupakan DAS Cikaengan dan Sungai Cilaki. Wilayah Kabupaten Garut terdapat 36 buah sungai dan 112 anak sungai dengan panjang sungai seluruhnya 1.403,35 km; dimana sepanjang 92 km diantaranya merupakan panjang aliran Sungai Cimanuk dengan 60 buah anak sungai.
Atas dasar uraian geografis di atas jelas sekali kalau Garut selain memiliki tanah yang subur, iklim yang sejuk dan kaya dengan sumber daya alam juga merupakan salah satu kabupaten yang rawan dengan bencana alam. Berdasarkan keterangan Bupati Garut, H. Rudy Gunawan, sebanyak 18 kecamatan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, termasuk kategori Siaga I bencana tahun ini ( www.liputan6.com , 9 Oktober 2017).
Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut, wilayah Gatut setiap tahun berada pada zona rawan bencana. Di musim penghujan tahun ini tidak kurang dari gempa, longsor, banjir, pergerakan tanah, dan angin puting beliung mengancam kehidupan masyarakat Garut. Apalagi kalau dikaitkan dengan adanya gunung berapi, seperti Gunung Guntur dan Papandayan yang masih aktif dan siap memuntahkan isinya kapan saja. Peristiwa banjir bandang dari Sungai Cimanuk tahun yang lalu perlu menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan warga Garut.

Sekolah Siaga Bencana
Garut memang rawan bencana, namun ironisnya, di antara kenyataan itu kebanyakan masyarakat tak pernah mengenyam pendidikan tanggap bencana. Ketika bencana melanda, yang ada hanya kepanikan dan kepasrahan. Suatu tindakan fatal dan tak dapat ditolerir sama sekali.
Kondisi di atas perlu mendapat perhatian semua pihak. Selain pemerintah kabupaten Garut, BPBD dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan bencana, institusi lainnya seperti pendidikan perlu juga terlibat aktif.
Keterlibatan institusi pendidikan, seperti sekolah memang tidak dimaksudkan sebagai institusi yang terlibat langsung dalam penanganan bencana, tetapi lebih pada upaya preventif. Salah satunya melalui program model Sekolah Siaga Bencana.
Sekolah Siaga Bencana (SSB) merupakan upaya kesiagaan sekolah dikembangkan untuk menggugah kesadaran seluruh pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan baik individu maupun kolektif di sekolah dan lingkungan sekolah dalam hal kesiagaan bencana.
Model sekolah seperti ini dinilai sangat penting untuk dikembangkan. Hal ini terkait adanya pandangan bahwa tingkat kesiagaan komunitas sekolah lebih rendah dibanding masyarakat serta aparat. Di samping itu sekolah tetap terpercaya sebagai wahana efektif untuk membangun budaya bangsa termasuk membangun kesiagaan bencana warga negara pada usia anak, pendidik dan tenaga kependidikan dan para pemangku kepentingan lainnya termasuk masyarakat luas.
Tujuan khusus dari model SSB ini , di antaranya untuk membangun budaya siaga dan budaya aman di sekolah dengan mengembangkan jejaring bersama para pemangku kepentingan di bidang penanganan bencana. SSB juga dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas institusi sekolah dan individu dalam mewujudkan tempat belajar yang lebih aman bagi siswa, guru, anggota komunitas sekolah serta komunitas di sekeliling sekolah. Di samping itu juga dimaksud untuk menyebarluaskan dan mengembangkan pengetahuan kebencanaan ke masyarakat luas melalui sekolah.
SSB harus mampu mengembangkan akses bagi seluruh komponen sekolah untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan, pemahaman dan keterampilan kesiagaan. Melalui model SSB dari sisi pengetahuan dapat dikembangkan berbagai materi pengetahuan, seperti mengenai jenis bahaya, sumber bahaya, besaran bahaya dan dampak bahaya serta tanda-tanda bahaya yang ada di lingkungan sekolah.  Materi lainnya meliputi pengetahuan sejarah bencana yang pernah terjadi di lingkungan sekolah atau daerahnya. Selain itu pengetahuan mengenai kerentanan dan kapasitas yang dimiliki di sekolah dan lingkungan sekitarnya serta upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana di sekolah juga perlu diberikan.
Materi Pengetahuan tentang bencana ini bisa diberikan dalam bentuk intra kurikuler maupun ekstra kurikuler. Dalam kegiatan intra kurikuler, materi pengetahuan bencana bisa disisipkan dalam materi pelajaran, baik mata pelajaran umum maupun muatan lokal. Mata pelajaran IPA, IPS dan PLH bisa mengadopsi secara lebih mendalam tentang materi pengetahuan bencana ini.  Kegiatan ekstra kurikuler Pramuka, PMR, Pecinta alam dan Paskibra diharapkan dapat menjadi wadah penyampaian materi pengetahuan bencana. Langkah lain yang bisa dilakukan melalui sosialisasi kepada warga sekolah dan pemangku kepentingan sekolah. Optimalisasi keberadaan MGMP untuk pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan siaga bencana juga perlu dilakukan.
Khusus untuk pengembangan keterampilan penanganan bencana bisa dilakukan melalui kegiatan ektra kurikuler. Keterampilan tanggap bencana yang wajib dimiliki oleh seluruh komponen sekolah dapat dilakukan melalui kegiatan simulasi reguler dan pelatihan kesiagaan kepada warga sekolah dan pemangku kepentingan sekolah.
Untuk keterlaksanaan kegiatan di sekolah model  ini dapat dilakukan kerjasama dengan lembaga terkait. Palang Merah Indonesia, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Pendidikan, pemerintah kecamatan dan kelurahan atau desa serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa bekerjasama sebagai tim pembina SSB.

Keberadaan Model Sekolah Siaga Bencana (SSB) mutlak adanya. SSB ini harus melembaga dan mengakar dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya kabupaten Garut. Selain itu SSB ini harus menjadi sebuah kebijakan nasional. Dikarenakan sebagai negara rawan bencana, seluruh rakyat Indonesia berpotensi dilanda bencana, terutama siswa di sekolah-sekolah. Wilayah Garut Selatan merupakan wilayah yang bisa dikembangkan untuk keberadaan SSB. Dengan pengetahuan dan keterampilan tentang penanggulangan bencana diharapkan dapat meminimalisir jumlah korban yang jatuh dan kerugian materil saat bencana terjadi.