Enang Cuhendi
Indonesia banyak
disebut sebagai negeri bencana. Negeri ini bagaikan laboratorium besar
kebencanaan. Semua jenis, tipe, skala, dan rupa dampak dari bencana setidaknya
pernah terjadi di Indonesia. Hal ini salah satunya ada kaitan dengan kondisi
geografis Indonesia.
Salah satu daerah yang
masuk katagori rawan bencana adalah Kabupaten Garut. Secara geografis, kabupaten
ini berbatasan dengan Kabupaten Sumedang di utara, Kabupaten
Tasikmalaya di timur, Samudera Hindia di selatan,
serta Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung di barat. Sebagian
besar wilayahnya berupa pegunungan, kecuali
di sebagian pantai selatan berupa dataran rendah yang sempit. Di antara
gunung-gunung di Garut adalah: Gunung Papandayan (2.262 m)
dan Gunung Guntur (2.249 m), keduanya terletak di perbatasan
dengan Kabupaten Bandung, serta Gunung Cikuray (2.821 m) di
selatan kota Garut.
Karakteristik topografi
Kabupaten Garut: sebelah Utara terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan,
sedangkan bagian Selatan (Garut Selatan) sebagian besar permukaannya memiliki
tingkat kecuraman yang terjal dan di beberapa tempat labil. Ketinggian tempat Kabupaten
Garut cukup bervariasi antara wilayah yang paling rendah yang sejajar dengan
permukaan laut hingga wilayah tertinggi di puncak gunung. Wilayah yang berada
pada ketinggian 500–1.000 m dpl terdapat di
kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan dan wilayah yang berada
pada ketinggian 1.000–1.500 m dpl terdapat di kecamatan Cikajang,
Pakenjeng, Pamulihan, Cisurupan dan Cisewu. Wilayah yang
terletak pada ketinggian 100–500 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong,
Cisompet, Cisewu, Cikelet dan Bungbulang serta wilayah yang terletak di daratan
rendah pada ketinggian kurang dari 100 m dpl terdapat di kecamatan
Cibalong dan Pameungpeuk.
Wilayah Kabupaten Garut
juga memiliki aliran sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) di Garut dibagi menjadi
dua yaitu Daerah Aliran Utara yang
bermuara di Laut Jawa dan Daerah Aliran Selatan yang bermuara
di Samudera Indonesia. Daerah aliran selatan pada umumnya relatif pendek,
sempit dan berlembah-lembah dibandingkan dengan daerah aliran utara. Daerah
aliran utara merupakan DAS sungai Cimanuk Bagian Utara, sedangkan daerah
aliran selatan merupakan DAS Cikaengan dan Sungai Cilaki. Wilayah Kabupaten
Garut terdapat 36 buah sungai dan 112 anak sungai dengan panjang sungai
seluruhnya 1.403,35 km; dimana sepanjang 92 km diantaranya merupakan panjang
aliran Sungai Cimanuk dengan 60 buah anak sungai.
Atas dasar uraian
geografis di atas jelas sekali kalau Garut selain memiliki tanah yang subur,
iklim yang sejuk dan kaya dengan sumber daya alam juga merupakan salah satu
kabupaten yang rawan dengan bencana alam. Berdasarkan keterangan Bupati Garut,
H. Rudy Gunawan, sebanyak 18 kecamatan di Kabupaten Garut, Jawa Barat,
termasuk kategori Siaga I bencana tahun ini ( www.liputan6.com
, 9 Oktober 2017).
Menurut catatan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut, wilayah Gatut setiap
tahun berada pada zona rawan bencana. Di musim penghujan tahun ini tidak kurang
dari gempa, longsor, banjir, pergerakan tanah, dan angin puting beliung
mengancam kehidupan masyarakat Garut. Apalagi kalau dikaitkan dengan adanya
gunung berapi, seperti Gunung Guntur dan Papandayan yang masih aktif dan siap
memuntahkan isinya kapan saja. Peristiwa banjir bandang dari Sungai Cimanuk
tahun yang lalu perlu menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan warga
Garut.
Sekolah
Siaga Bencana
Garut memang rawan
bencana, namun ironisnya, di antara kenyataan itu kebanyakan masyarakat tak
pernah mengenyam pendidikan tanggap bencana. Ketika bencana melanda, yang ada
hanya kepanikan dan kepasrahan. Suatu tindakan fatal dan tak dapat ditolerir
sama sekali.
Kondisi di atas perlu
mendapat perhatian semua pihak. Selain pemerintah kabupaten Garut, BPBD dan
pihak-pihak yang terkait langsung dengan bencana, institusi lainnya seperti
pendidikan perlu juga terlibat aktif.
Keterlibatan institusi
pendidikan, seperti sekolah memang tidak dimaksudkan sebagai institusi yang terlibat
langsung dalam penanganan bencana, tetapi lebih pada upaya preventif. Salah
satunya melalui program model Sekolah Siaga Bencana.
Sekolah Siaga Bencana
(SSB) merupakan upaya kesiagaan sekolah dikembangkan untuk menggugah kesadaran
seluruh pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan baik individu maupun
kolektif di sekolah dan lingkungan sekolah dalam hal kesiagaan bencana.
Model sekolah seperti
ini dinilai sangat penting untuk dikembangkan. Hal ini terkait adanya pandangan
bahwa tingkat kesiagaan komunitas sekolah lebih rendah dibanding masyarakat
serta aparat. Di samping itu sekolah tetap terpercaya sebagai wahana efektif
untuk membangun budaya bangsa termasuk membangun kesiagaan bencana warga negara
pada usia anak, pendidik dan tenaga kependidikan dan para pemangku kepentingan
lainnya termasuk masyarakat luas.
Tujuan khusus dari model
SSB ini , di antaranya untuk membangun budaya siaga dan budaya aman di sekolah
dengan mengembangkan jejaring bersama para pemangku kepentingan di bidang
penanganan bencana. SSB juga dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas institusi
sekolah dan individu dalam mewujudkan tempat belajar yang lebih aman bagi
siswa, guru, anggota komunitas sekolah serta komunitas di sekeliling sekolah.
Di samping itu juga dimaksud untuk menyebarluaskan dan mengembangkan
pengetahuan kebencanaan ke masyarakat luas melalui sekolah.
SSB harus mampu
mengembangkan akses bagi seluruh komponen sekolah untuk meningkatkan kapasitas
pengetahuan, pemahaman dan keterampilan kesiagaan. Melalui model SSB dari sisi
pengetahuan dapat dikembangkan berbagai materi pengetahuan, seperti mengenai
jenis bahaya, sumber bahaya, besaran bahaya dan dampak bahaya serta tanda-tanda
bahaya yang ada di lingkungan sekolah. Materi lainnya meliputi pengetahuan sejarah
bencana yang pernah terjadi di lingkungan sekolah atau daerahnya. Selain itu pengetahuan
mengenai kerentanan dan kapasitas yang dimiliki di sekolah dan lingkungan
sekitarnya serta upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana di
sekolah juga perlu diberikan.
Materi Pengetahuan
tentang bencana ini bisa diberikan dalam bentuk intra kurikuler maupun ekstra
kurikuler. Dalam kegiatan intra kurikuler, materi pengetahuan bencana bisa
disisipkan dalam materi pelajaran, baik mata pelajaran umum maupun muatan
lokal. Mata pelajaran IPA, IPS dan PLH bisa mengadopsi secara lebih mendalam
tentang materi pengetahuan bencana ini.
Kegiatan ekstra kurikuler Pramuka, PMR, Pecinta alam dan Paskibra
diharapkan dapat menjadi wadah penyampaian materi pengetahuan bencana. Langkah
lain yang bisa dilakukan melalui sosialisasi kepada warga sekolah dan pemangku
kepentingan sekolah. Optimalisasi keberadaan MGMP untuk pelatihan peningkatan
pengetahuan dan keterampilan siaga bencana juga perlu dilakukan.
Khusus untuk pengembangan
keterampilan penanganan bencana bisa dilakukan melalui kegiatan ektra
kurikuler. Keterampilan tanggap bencana yang wajib dimiliki oleh seluruh komponen
sekolah dapat dilakukan melalui kegiatan simulasi reguler dan pelatihan
kesiagaan kepada warga sekolah dan pemangku kepentingan sekolah.
Untuk keterlaksanaan
kegiatan di sekolah model ini dapat
dilakukan kerjasama dengan lembaga terkait. Palang Merah Indonesia, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Pendidikan, pemerintah kecamatan
dan kelurahan atau desa serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa bekerjasama
sebagai tim pembina SSB.
Keberadaan Model Sekolah Siaga Bencana (SSB) mutlak adanya.
SSB ini harus melembaga dan mengakar dalam dunia pendidikan Indonesia,
khususnya kabupaten Garut. Selain itu SSB ini harus menjadi sebuah kebijakan
nasional. Dikarenakan sebagai negara rawan bencana, seluruh rakyat Indonesia
berpotensi dilanda bencana, terutama siswa di sekolah-sekolah. Wilayah Garut
Selatan merupakan wilayah yang bisa dikembangkan untuk keberadaan SSB. Dengan
pengetahuan dan keterampilan tentang penanggulangan bencana diharapkan dapat
meminimalisir jumlah korban yang jatuh dan kerugian materil saat bencana
terjadi.