Oleh Enang Cuhendi
“Pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal
namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita” – Bung Hatta
November
adalah bulan saat kita, bangsa Indonesia mengenang kepahlawanan para pejuang
kita. Pejuang yang telah berjasa besar membawa negeri ini dari status bangsa
terjajah menjadi bangsa merdeka. Mereka rela mengorbankan harta, benda, jiwa
dan raganya demi kemerdekaan tanah air tercinta. Para pejuang berani
mengorbankan semua kepentingan pribadinya demi kepentingan nusa, bangsa dan
negara. Sekolah, keluarga, dan aneka kenikmatan pribadi mereka tinggalkan dan
memilih terjun ke medan juang.
Aneka
peristiwa heroik yang terjadi di seluruh Nusantara menjadi bukti nyata kepahlawanan
para pahlawan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Sebut saja di era perang
kemerdekaan, ada peristiwa Medan area, Bandung Lautan Api, Palagan Ambarawa,
Puputan Margarana, dan Peristiwa Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945
yang menelan ribuan nyawa menjadi sebagian contoh nyata sikap heroik para
pejuang dan pahlawan bangsa.
Berkat
jasa para pejuang, saat ini kita sudah merdeka. Sejak proklamasi kemerdekaan,
17 Agustus 1945 kita menjadi bangsa yang sejajar harkat dan martabatnya dengan
bangsa lain di dunia. Baik secara politis maupun militer kita bebas dari
kekangan siapapun. Kita sudah merdeka dan siap menentukan masa depan sendiri.
Selama
75 tahun kemerdekaan sudah kita raih dan kita nikmati. Idealnya kita sudah harus
menjadi bangsa yang maju. Realitanya kita masih tertinggal dari negara lain.
Jangankan dengan negara-negara maju, dengan negara-negara tetangga saja saat
ini kita tertinggal. Sebut saja Singapura dan Malaysia, dua negara tetangga
kita yang sudah melangkah lebih dibandingkan kita. Belum lagi Vietnam dan
Thailand yang terus melaju menyusul kita.
Bahkan
ada yang mengatakan bahwa saat ini kita kembali terpuruk dalam penjajahan. Kita
kembali menjadi bangsa terjajah. Bukan dijajah secara politis dan militer,
tetapi kita dijajah secara ekonomi, sosial, budaya bahkan ideologi. Secara politik
dan militer tidak akan ada yang berani menjajah Indonesia, karena mereka tahu
persis sikap heroik bangsa kita.
Lain
halnya dari segi ekonomi, kelihatannya kita seperti maju padahal sampai saat
kita belum bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sektor ekonomi kita baru
bisa memberikan keuntungan bagi segelintir orang, termasuk investor asing. Sebagian
besar rakyat masih hidup terpuruk dalam kekurangan. Kita belum sepenuhnya
menikmati kekayaan alam luar biasa yang dianugerahkan Tuhan kepada kita.
Di
bidang sosial budaya kita dijajah dengan kuatnya dominasi budaya asing
mencengkram kehidupan masyarakat kita, dari pusat kota sampai pelosok desa.
Satu persatu hasil budaya kita tumbang terlintas laju global yang menghadirkan
budaya asing dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kebanggaan terhadap hasil
budaya sendiri, mulai digantikan dengan kebanggaan akan budaya luar, apakah itu
reagge, K-Pop, rock, funk atau budaya
bebas ala Barat yang mengedepankan kebebasan tanpa batas dan jauh dari nilai
agama dan budaya ketimuran. Kebanggaan akan bahasa daerah dan nasional
digantikan dengan bahasa asing, sehiingga satu persatu bahasa daerah kita menghilang
dari peredaran.
Sungguh
ironis, ketika kita melihat banyak generasi muda yang memilih jalan ideologi
lain, selain ideologi Pancasila yang kita agungkan bersama. Memilih jalan hidup
yang jauh dari nilai-nilai agama dan mengedepankan kebebasan dan keagungan
materi. Menanggalkan budaya Timur yang menjadi ciri hidup kita dan
mengedepankan budaya Barat sebagai pegangan baru.
Sesungguhnya
inilah realita bahwa kita tumbuh menjadi bangsa terjajah dan tidak lagi merdeka.
Kita menjadi pecundang di negeri sendiri, negeri yang besar, kaya dan sangat
berbudaya. Kalah oleh pengaruh yang datang dari luar. Dari negara-begara kecil
dari belahan Amerika, Eropa dan Asia.
Saat
ini prinsip siapa yang kuat, maka dia yang berkuasa memang kembali terjadi. Dalam
hal ini siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dia akan
memenangkan peperangan di era global ini. Sejak bergulirnya era globalisasi
kita memang tidak bisa menghindar akan situasi ini. Kemajuan IPTEK, khususnya
teknologi informasi dan komunikasi, sudah menghapus semua sekat-sekat
penghalang geografis dan pemerintahan. Semua yang ada di luar bisa mudah masuk
kapan saja ke negara kita. Dengan akses internet kita seolah membawa dunia ke
dalam rumah dan diri kita masing-masing. Tidak hanya hal positif, tetapi juga
negatif. Inilah model penjajahan gaya baru.
Saat
ini kita merdeka, tetapi sejatinya dijajah. Saat ini negara, nusa, bangsa dan
agama sedang membutuhkan para pejuang baru. Pejuang di era global yang siap
bertarung mati-matian melawan para penjajah ekonomi, sosial, budaya dan
ideologi. Pejuang yang akan membawa kita ke arah kemerdekaan baru. Indonesia
membutuhkan para pahlawan bangsa yang baru, pahlawan di era globalisasi.
Sekarang
kalau tantangan ini kita lempar kepada kalian generasi muda, generasi pelajar hebat
yang hidup di era global sekarang, bagaimana tanggapan kalian atas situasi yang
melanda negeri kita sekarang? Apa yang akan kalian perbuat atau lakukan untuk
menyelamatkan bangsa ini dari aneka keterpurukan? Saat ini negara memanggil
kalian untuk jadi pahlawan di era global, bersediakah kalian memenuhi panggilan
negara, nusa, bangsa dan agama ini? Apa rencana perjuangan kalian dalam
mewujudkan diri menjadi pejuang dan pahlawan di era global ini?
Ini
sejumlah pertanyaan yang bisa dijadikan tantangan untuk kalian para pelajar.
Siapa yang mau menjadi pahlawan di era globalisasi, inilah saatnya. Saatnya memerdekakan
negeri ini, waktunya membebaskan bangsa kita dari penjajahan di era
globalisasi. Jadilah pejuang sejati, pahlawan sejati, tidak perlu ingin
dikenal, tetapi mampu memberikan sumbangan berarti. Ingat kata Bung Hatta, “Pahlawan
yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata
membela cita-cita.” Cita-cita memerdekakan negeri ini dari penjajahan global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOLOM kOMENTAR
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.