Oleh:
Enang
Cuhendi
Suatu hari dua orang tamu datang ke sekolah. Dengan
santunnya salah seorang di antara mereka membuka tahap awal pertemuan dengan
mengucapkan salam. Saya pun menjawab salam tersebut walau dengan sedikit ada
rasa canggung karena tidak terlalu mengenal sosok yang memberi salam ini.
Melihat ekpresi saya yang kebingungan si tamu memperkenalkan diri bahwa dia
alumni dari sekolah ini dan yang satu adalah temannya. Setelah ingat, saya pun
akhirnya terlibat cukup lama dalam obrolan akrab.
Selama berbincang saya
memperhatikan sikap dan tutur kata dari kedua anak ini. Dalam hati saya
berkata, “ Ada yang aneh dengan mereka ini!” Keanehan itu terutama saya temukan
dalam bahasa yang dipakai selama obrolan berlangsung. Mereka dalam bertutur
sangat dominan menggunakan bahasa Indonesia ala anak gaul. Pada hal saya tahu
persis bahwa alumni ini pituin urang Sunda, bukan Jawa atau
Betawi. Lahir, besar dan tinggal di depan sekolah. Kedua orang tuanya juga asli
Sunda tidak kurang tidak lebih. Yang heran, kok anaknya yang hanya karena
kuliah selama beberapa tahun di kota besar langsung berubah total seakan lupa
pada bahasa daerah asalnya. Semua pertanyaan saya dalam basa Sunda, selau dijawabnya dengan bahasa Batawi. Waktu saya tanya kenapa bahasanya berubah, dengan entengnya
dijawab, “Wah ini kan tuntutan pergaulan Pak, kalau kita pake bahasa Sunda enggak mantap atuh.
Ga gaol.” Mendengar itu saya pun
hanya bisa tersenyum ketir.
Fenomena seperti di
atas hanyalah salah satu contoh kebiasaan yang muncul di kalangan anak-anak
zaman now pada beberapa dekade
belakangan ini. Bahkan tidak jarang saya menemukan, ayah atau ibu muda yang
juga merasa lebih bangga mengajarkan bahasa Indonesia kepada anaknya dari pada
bahasa daerah. Salah? Tidak juga. Apabila dilihat dari konteks nasionalisme
penggunaan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari tidaklah salah justru
bagus karena dapat menumbukan kecintaan terhadap bahasa nasional. Yang jadi
masalah jangan sampai pemakaian bahasa Indonesia ini melupakan bahasa daerah,
khususnya bahasa Sunda sebagai bahasa ibu. Bahkan yang lebih parah lagi kalau
anak justru diajarkan penggunaan bahasa yang dicampu-campur antara bahasa
Indonesia dengan bahasa asing, alasannya lagi-lagi biar nanti bisa gaol.
Penggunaan bahasa
daerah sebagai bahasa ibu sangatlah penting.
Penggunaan bahasa daerah diharapkan dapat meningkatkan kebanggan anak
akan identitas dirinya. Selain itu, penggunaan bahasa Sunda dalam keseharian juga
bisa membantu pengembangan karakter anak. Basa
Sunda mengenal adanya undak usuk basa
atau tata bahasa yang apabila tepat dalam pemakaiannya akan mampu menumbuhkan
sikap sopan dan santun pada diri anak. Kedua sikap tersebut penting untuk
ditumbuhkan dan menjadi karakter dalam
diri anak. Dengan modal kedua sikap ini anak akan mampu mengarungi kehidupan
dengan baik, terutama dalam bersosialisasi. Miris rasanya kalau seorang anak
sudah tidak tahu yang namanya punten dan
nuhun. Padahal dalam kehidupan orang
Bule sekalipun kedua kata ini masih dominan dipakai dalam keseharian. Hal ini
yang penulis alami sendiri alami ketika berada di negeri orang.
Upaya pengembalian
bahasa daerah agar mampu kembali menjadi bahasa ibu perlu segera dilakukan.
Semua pihak perlu terlibat di dalamnya, termasuk sekolah dan orang tua. Di Jawa
Barat sekolah melalui kebijakan setiap daerah sudah mewajibkan adanya program
yang bernuansa Kesundaan, seperti Rebo
Nyunda atau Kemis Nyunda. Yang
jadi masalah, umumnya program ini baru sebatas di pakaian belum sampai pada
ranah komunikasi dan sikap. Cukup ideal rasanya kalau setiap sekolah juga
membuat program lanjutan berupa program wajib berbahasa Sunda, minimal satu
hari dalam seminggu. Pada hari tersebut semua civitas akademika sekolah wajib
berbahasa Sunda. Bila perlu siapkan hukuman mendidik bagi siapapun yang yang
menggunakan bahasa selain Sunda di hari itu, kekecualiaan bisa diberikan
tentunya apabila guru sedang melaksanakan proses pembelajaran. Hal lainnya bisa
dengan melakukan program setoran kata, kalimat atau peribahasa baru yang
ditemukan anak. Berikan anak format setoran, kemudian setiap Minggu siswa setor
kepada guru Basa Sunda sebelum proses
pembelajaran dimulai. Dengan program ini diharapkan perbendaharaan kata basa Sunda setiap siswa akan terus
bertambah. Orang tua perlu juga dilibatkan secara aktif dalam setiap program
yang dibuat sekolah. Pantauan dan bantuan orang tua dalam membantu
menyelesaikan tugas, seperti setoran kata perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Hal ini akan bermanfaat juga menambah perbendaharaan kata orang tua siswa yang
kebetulan kurang pasih berbahasa Sunda.
Apa yang penulis
sarankan di atas hanyalah upaya sederhana untuk mengembalikan bahasa daerah
sebagai bahasa ibu. Tentunya bisa diterapkan tidak hanya pada basa Sunda, tetapi juga bahasa daerah
lainnya. Mungkin banyak ide-ide lain yang lebih cemerlang, tapi setidaknya
berawal dari ide sederhana tersebut kita bisa memulai usaha mengembalikan
bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Setidaknya mengembalikan Urang Sunda agar kembali ke
jati dirinya dan mau kembali berbahasa Sunda. Kita kembalikan Urang Sunda agar tidak anti berbahasa Sunda. Jangan sampai
terjadi bahasa Sunda menjadi bahasa ibu kesekian yang hangus tertelan
perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOLOM kOMENTAR
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.