Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate
Global Future Institute (GFI)
|
|
Mapping Politik di Ukraina
Pada mulanya Yushchenko dinilai sebagai politisi paling unggul karena
perolehan 51,99% dari total 27,96 juta suara. Ia mengantongi sekitar 15,11
juta pemilih. Namun setahun masa kepemimpinannya tidak membawa perubahan signifikan
di Ukraina, popularitasnya pun turun menjadi 81 kursi, atau sebanding dengan
3,56 juta suara. Betapa drastis, sekitar 2/3 suara pemilihnya hilang daripada
perolehan awal.
|
|
Sepintas karir politik
Yushchenko hampir mirip dengan Mohamad Morsi yang naik ke puncak kekuasaaan
akibat gerakan massa, kemudian terpilih dalam pemilu mengganti Mobarak.
Kemiripan “nasib dan karir” keduanya lebih kepada selain tata cara meraih
kursi presiden diawali aksi-aksi massa jalanan ---di Ukraina titelnya Orange Revolution, di Mesir bertajuk Arab Spring--- juga kesamaan lain ialah kurun waktu kekuasaan ternyata tak
membawa perubahan bagi negeri yang dipimpinnya. Inilah penyebab pokok kenapa
kepercayaan rakyat kepadanya menjadi redup. Jika resiko yang diterima
Yushchenko hanya melorotnya kursi partai Nasha Ukrayin di parlemen, sementara nasib Morsi justru
tragis, ia dijungkalkan oleh Jenderal El Sisi, junta pilihannya sendiri.
Membaca peta politik di
Ukraina, tak boleh lepas dari faktor kubu serta kelompok yang bermain.
Pertama: kubu Yanukovich yang tetap setia pada Rusia, sekutu tradisional
Ukraina semenjak doeloe. Kedua ialah kelompoknya Tymoshenko, Yushchenko dkk
yang cenderung berafiliasi ke “Barat”. Maksud Barat dalam hal ini adalah UE,
AS, dan North Atlantic Treaty Organization (NATO) tersirat di dalamnya.
Basis massa Yanukovich ada di wilayah timur, tetangga Rusia; sedang basis
kubu Yushchenko dkk di wilayah barat, berdekatan dengan negara-negara UE.
Walau kenyataan di lapangan bukan hitam putih semacam itu, setidak-tidaknya,
inilah mapping politik di Ukraina dari sisi geografi dan
aspek “ideologi”.
Indikasi lain atas
meredupnya Orange Revolution selain hal-hal yang
telah diungkap di atas (bag-1), yaitu political infighting (konflik internal) antara Yushchenko, sang
Presiden versus PM-nya sendiri akibat berebut sumber-sumber strategis negara. Maka singkat cerita, Tymoshenko pun
dicopot sebagai PM (8/9/2005) karena alasan terlibat korupsi.
Aliansi Berubah
Tak bisa dielak, dinamika
politik internal (political infighting) di Ukraina mengubah
tatanan aliansi karena sudah tidak ada lagi kekuatan mayoritas di parlemen
pasca pemilu. Muncul kelompok dan kubu-kubu baru. Pihak Tymoshenko misalnya,
ia tetap bersikap tidak kompromi dengan kelompok Yanukovich, sementara
Yushchenko cenderung wait and see. Partai Sosialis malah meninggalkan barisan
pendukung Revolusi Oranye, kemudian bergabung dengan Yanukovich. Agaknya
tawaran menjadi ketua parlemen tidak disia-siakan oleh Moroz, salah satu Trio
Penggerak revolusi (oranye) sebelumnya. Klimaks perubahan aliansi terlihat
ketika Yushchenko menyepakati deklarasi persatuan nasional yang berisi 27
kesepakatan. Apa boleh buat. Akhirnya ia pun merestui Yanukovich menjadi PM.
Beredar anggapan bahwa
Yushchenko telah mengkhianati ‘perjuangan’. Ia memang menemui dua pilihan yang
serba sulit. Pertama, membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu lagi.
Kedua, menerima Yanukovich. Pilihan pertama membawa dua implikasi, antara
lain: (1) tak ada jaminan pemilu akan menghasilkan perubahan signifikan pada
komposisi partai-partai di parlemen. Akibatnya kebuntuan politik niscaya
berlanjut. Kekosongan kekuasaan akan menyebabkan pemerintahan tidak berjalan
efektif. Ujung-ujungnya rakyat bakal meminta revolusi lagi. Itu berarti
melengserkan Yushchenko sendiri; (2) Yushchenko tidak yakin partainya mampu
meraup suara signifikan, bahkan diperkirakan kursi partainya akan mengecil.
Sudah tentu, hal ini akan menjadi bumerang apabila kursi Tymoshenko dan
Yanukovich jumlahnya kian bertambah.
Mengapa opsi menerima
Yanukovich sebagai PM dianggap pilihan sulit, oleh karena selain “melukai”
pendukung Revolusi Oranye, juga berakibat pada buruknya image Yushchenko di
mata Barat. Tetapi secara politis tidaklah demikian, karena ia masih meraih
“keuntungan”. Artinya selain akan didukung mayoritas parlemen gabungan antara
kubu Yushchenko, Yanukovich, Partai Sosialis dan Partai Komunis sebanyak 321
kursi, keuntungan lainnya bahwa gabungan tersebut secara tidak sengaja telah
mempersatukan kembali wilayah timur (pro-Yanukovich) dan daerah barat
(pro-Yushchenko) yang terbelah gara-gara pemilihan presiden dua tahun lalu.
Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, kecuali kepentingan. Tetapi
kepentingan (kedaulatan) bangsa dan negara adalah lebih utama daripada
sekedar kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Agaknya pilihan ini yang
diambil oleh Yushchenko.
Sebagai catatan tambahan,
meskipun ia beraliansi dengan Yanukovich, agaknya visi Yuschencko tak
berubah. Ini terlihat pada kontrak politik dengan Yanukovich, yaitu:
“mengintegrasikan Ukraina dengan Barat dan World Trade Organization (WTO) menjadi titik tekan kontrak politik”.
Pertanyaannya ialah:
dapatkah stabilitas Ukraina murni terujud di tengah tarik menarik kekuatan
antara Rusia dan UE; lalu, geopolitical leverage macam apakah yang
diincar serta diperebutkan kedua adidaya?
|
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOLOM kOMENTAR
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.