Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate
Global Future Institute (GFI)
|
|
Siapa mengira bila
keputusan Presiden Viktor Yanukovich menerima bantuan finansial dari Rusia
dan menunda kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa (UE) mengakibatkan
sebagian rakyat di Kiev, Ibu Kota Ukraina seketika meletup, meledak, dan
menggelegar demonstrasi massa di jalanan. Luar biasa.
|
|
Pertanyaan selidik: apakah faktor penundaan perjanjian dagang yang
membuat Ukraina bergolak, atau jangan-jangan ada hidden agenda lain yang lebih urgen bagi kaum oposisi
daripada sekedar perjanjian perdagangan; mungkinkah keputusan Yanukovich
telah mematahkan agenda tersembunyi tersebut? Ini sekedar asumsi awal pada
prolog catatan ini.
Aksi massa kali ini memang tergolong brutal, kejam dan tak bermoral
karena selain telah melakukan intimidasi, melemparkan bom-bom molotov ke
banyak orang, juga menyerbu gedung-gedung pemerintah, dll. Ketika ada anggota
massa tewas tertembak aparat, maka itulah korban pertama dalam dua bulan
unjuk rasa menentang pemerintah. Tetapi akibat penembakan justru aksi pun
semakin meluas, bahkan sudah berani merambah ke timur Ukraini, wilayah basis
dimana massa Yanukovich berada.
Presiden Rusia Putin menyebut unjuk rasa tersebut lebih seperti
penghancuran daripada revolusi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa aksi-aksi
tersebut sebagai bentuk terbaru dari fasisme di Eropa.
Khawatir Bangkitnya Revolusi Oranye
Apabila tanpa antisipasi konseptual dari elit penguasa, dikhawatirkan
gejolak massa di penghujung tahun 2013 dirajut oleh kepentingan asing untuk
membangkitkan kembali “ruh” Revolusi Oranye (Orange Revolution), bagian dari Revolusi Warna (Colour Revolution) yang pernah menerjang jajaran negara Pakta
Warsawa dekade 2000-an ke atas. Rencana pertemuan antara Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat (AS) John Kerry dengan para pemimpin oposisi Ukraina di
Jerman, merupakan isyarat kuat bahwa ada keterlibatan superpower secara masiv
dalam krisis politik tersebut.
Secara internal, kompromi politis sebenarnya telah dilangkahkan pihak
pemerintah terhadap oposisi, seperti mencabut kembali Undang-Undang (UU)
Anti-Demonstransi, memberi ampunan demonstran yang ditangkap dengan timbal
balik menghentikan gerakan, dll tetapi tampaknya bargaining kurang berhasil. Aksi massa kian liar. Yanukovich pun kembali
menawarkan kursi Perdana Menteri (PM) kepada Arseniy Yatsenyuk, posisi yang
dilepas Mykola Azarov, PM Ukraina yang undur diri, namun lagi-lagi kompromi
tersebut ditolak oleh Yatsenyuk, pemimpin oposisi. Putin juga mewanti-wanti
Presiden Ukraina apabila tidak segera menstabilkan situasi massa, maka bantuan
sebesar USD 15 miliar kemungkinan ditunda.
Ada dua pertanyaan menarik muncul. Pertama: akankah tekanan massa
mampu memaksa Yanukovich memberi konsesi lebih kepada oposisi seperti
disetujuinya perdagangan dengan UE? Kedua: seandainya disepakati perjanjian
dagang dengan UE, apakah gejolak politik otomatis akan reda?
Tulisan sederhana ini, mencoba mencari dan mengurai jawab atas
beberapa pertanyaan dan asumsi di atas. Selanjutnya kenapa geopolitik
dijadikan perspektif (pisau bedah) dalam mengkaji konflik politik di Ukraina,
karena secara konsepsi, geopolitik mampu mengintegrasikan hampir semua
hakikat ilmu. Ia meniscayakan realitas baik materi maupun non materi. Sebagai
bahan banding misalnya, jika spektrum ilmu dan filsafat cenderung membentang
di atas permukaan, geopolitik selain dapat menembus apa yang terkandung di
bawah permukaan (what lies beneath the surface), juga melihat hal
tersirat dari apa yang tersurat.
Sebagai pisau kajian pada tulisan ini, breakdown geopolitik tidak lagi bicara definisi, paradigma, atau teori,
dll ---untuk menyingkat paparan--- akan tetapi lebih implementatif, artinya
kajian langsung kepada hal yang terkait serta terjadi di permukaan. Inilah
uraiannya.
Revolusi Oranye Meredup
Merujuk gerakan massa terdahulu (2004-2006) di Ukraina, terdapat puing
non materi yang mutlak dicatat, yaitu: “Bila dirunut awal gerakan 22 Nopember
2004, sejatinya Revolusi Oranye hanya berumur 21 bulan saja, sekarang ia
seperti kehilangan ruh gerakan bahkan meredup setelah ditinggal oleh sebagian
aktornya yang berbalik arah”. Itulah sisa artefak (non materi) Revolusi
Oranye.
Tanda redupnya revolusi tersurat dari konfigurasi 450 kursi hasil
Pemilu 26 Maret tahun 2006, dimana Partai Wilayah (Partiya Regioniv) pimpinan mantan PM Viktor Yanukovich mendapat 186
kursi; Kubu Blok Yuliya Tymoshenko ---mantan PM juga--- meraup 129 kursi;
sementara Partai Viktor Yushchenko, Nasha Ukrayin (Ukraina Kita) hanya memperoleh 81 kursi; Partai Sosialis 33
kursi, dan sisanya 21 kursi milik Partai Komunis pimpinan Oleksandr Moroz.
Pertanyaan mengelitik timbul: bukankah Tymoshenko, Yushchenko dan
Moroz adalah Trio Penggerak gerakan Revolusi Oranye, kenapa partai mereka
justru memperoleh sedikit kursi daripada kubu Yanukovich, pemenang pemilu
pertama (21 Nopember 2004) yang “dibatalkan” baik melalui gelombang massa
maupun secara yuridis, sehingga pemilu ulang mengakibatkan kalahnya
Yanukovich?
|
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOLOM kOMENTAR
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.