Negeri yang maju, subur, makmur dan sejahtera adalah impian setiap bangsa. Di dalam negeri yang seperti ini tentunya rakyat diharapkan hidup bahagia tidak kurang suatu apapun. Segala kebutuhan jasmani dan rohaninya mampu terpenuhi.
Untuk mencapai kehidupan seperti digambarkan di atas tentunya diperlukan satu upaya yang maksimal dari seluruh elemen bangsa. Tidak hanya pemerintah, tapi semua unsur masyarakat juga harus turut ikut berperan. Peran yang positif tentunya adalah yang paling diharapkan. Kerja keras, kekompakan dan kebersamaan mutlak diperlukan.
Salah satu upaya untuk mencapai kemakmuran adalah dengan meningkatkan devisa negara. Dengan kepemilikkan cadangan devisa yang besar maka setiap sektor kehidupan dapat leluasa dibangun. Cadangan devisa yang besar akan mampu membiayai semua aktivitas pembangunan, baik fisik maupun non fisik. Dengan pembangunan yang merata dan seimbang inilah negara yang makmur sejarah akan teraih.
Salah satu sumber yang bisa ditingkatkan untuk meraih devisa yang besar adalah melalui perdagangan. Bukan perdagangan dalam negeri, tetapi perdagangan antar negara atau perdagangan internasional. Perdagangan dalam skala yang lebih luas, baik dalam lingkup regional Asia Tenggara maupun dunia secara keseluruhan. Dengan neraca perdangan yang baik, di mana nilai ekspor harus lebih tinggi dari impor, akan diraih devisa yang besar.
Satu yang menjadi catatan, untuk saat ke depan tentunya kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan minyak dan gas (migas) semata sebagai komoditas ekspor. Kondisi migas yang pernah menjadi primadona ekspor negara kita pada masa Orde Baru sudah tidak bisa diharapkan lagi. Kondisi cadangan migas sebagai salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui semakin lama semakin menipis. Cadangan minyak bumi kita semakin menyusut jadi sudah tidak bisa diandalkan lagi untu meraih devisa. Sebagiamana dikutip dari situs www.liputan6.com menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto, saat ini Indonesia memiliki cadangan minyak sebesar 3,8 milyar barel dan gas sebesar 77 triliun tcf (kaki kubik). Ini hanya setara dengan 0,2% cadangan dunia.
Oleh karena itu bijak rasanya kalau ekspor kita harus segera beralih ke sektor non migas. Salah satu komoditas ekspor non migas yang masih terbuka besar peluangnya untuk dikembangkan adalah sektor ekonomi kreatif. Dalam cetak biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015, ekonomi kreatif didefinisikan sebagai "Era baru ekonomi setelah ekonomi pertanian, ekonomi industri dan ekonomi informasi, yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Lebih jelasnya inti dari ekonomi kreatif (ekraf)ditujukan pada mereka yang mengedepankan kreatifitas, pengetahuan, serta ide ide cemerlang seseorang untuk memajukan roda perekonomian.
Era revolusi industri 4.0 menjadikan ekonomi kreatif menjadi salah satu isu strategis yang layak mendapatkan pengarusutamakan sebagai pilihan strategi memenangkan persaingan global. Ini ditandai dengan terus dilakukannya inovasi dan kreativitas guna meningkatkan nilai tambah ekonomi melalui kapitalisasi ide kreatif.
Pada era ekonomi keempat atau ekonomi kreatif ini Indonesia memiliki peluang yang besar untuk bersaing. Jumlah penduduk yang banyak bisa menjadi aset berharga yang dapat dimanfaatkan untuk ekspor yang berkelanjutan.
Sektor apa saja yang bisa masuk lingkup ekonomi kreatif? Setidaknya ada 15 sektor, yaitu: (1) arsitektur; (2) desain; (3) film, video dan fotografi; (4) kerajinan; (5) mode, (6) kuliner; (7) musik; (8) penerbitan; (9) periklanan; (10) game interaktif; (11) penelitian dan pengembangan; (12) seni rupa; (13) seni pertunjukkan; (14) teknologi informasi; dan (15) televisi dan radio.
Berdasarkan data yang dihimpun dalam buku Ekspor Ekonomi Kreatif 2010-2016 yang dikeluarkan BPS RI dan BEKRAF RI tercatat pertumbuhan ekspor ekonomi kreatif naik secara positif. Nilai ekspor Indonesia tahun 2010 secara total mencapai US$157,78 miliar. Selanjutnya pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 28,98 persen menjadi US$203,50 miliar. Selama tahun 2012 sampai 2016, nilai ekspor Indonesia cenderung terus mengalami penurunan. Namun sebaliknya ekspor komoditas ekraf Indonesia cenderung terus mengalami peningkatan. Tahun 2010 nilai ekspor ekraf hanya sebesar US$13,51 miliar, terus mengalami peningkatan setiap tahunnya sehingga mencapai US$19,99 miliar pada tahun 2016.
Memang tidak semua komoditas subsektor-subsektor ekraf ada dalam seri data ekspor Indonesia. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa selama periode 2010–2016 hanya ada tujuh subsektor ekraf yang komoditasnya diekspor ke luar negeri yaitu film, animasi dan video; kriya; kuliner; musik; fashion; penerbitan; dan seni rupa. Dari ketujuh subsektor tersebut, 90 persen lebih merupakan ekspor komoditas fashion dan kriya, sekitar enam persen adalah ekspor komoditas subsektor kuliner dan sisanya adalah ekspor dari komoditas subsektor penerbitan; seni rupa; musik; serta film, animasi, dan video. Subsektor film, animasi, dan video merupakan subsektor yang memiliki nilai ekspor terkecil selama periode 2010−2016, dan ekspor komoditas ini hanya ada pada tahun 2011, 2015, dan 2016.
Walaupun demikian jika nilai ekspor ekraf Indonesia terus meningkat maka lambat laun ekspor Indonesia secara total tentu juga akan meningkat. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ekspor ekraf Indonesia di masa yang akan datang merupakan salah satu potensi besar yang bisa diharapkan mampu mendorong kembali peningkatan ekspor Indonesia secara keseluruhan. Pada akhirnya akan meningkatkan cadangan devisa negara kita dan mampu meningkatkan kemakmuran semua lapisan masyarakat. Untuk itu pengembangan ekonomi kreatif harus terus didorong dan ditingkatkan.
Untuk LKPD bisa diunduh di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOLOM kOMENTAR
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.