Selasa, 11 Maret 2014

Ternyata Perang Iraq Memang Demi Minyak




Penulis : Kasan Mulyono, Mantan wartawan. Mantan humas. Sekarang menggeluti CSR.
Ya, Perang Iraq memang demi minyak, dan perang ini ada pemenangnya: Perusahaan Minyak Besar.  Demikian laporan CNN pekan ini dalam memeringati 10 tahun Perang Iraq yang dipimpin Amerika Serikat untuk mendongkel Presiden Saddam Husein dan rejimnya.
Memang perang perang telah berakhir sepuluh tahun lalu dan sebagian besar tentara AS sudah ditarik, namun bagi perusahaan minyak barat, mereka baru memulai. Pra-perang, industri minyak Iraq sepenuhnya dinasionalisasi dan tertutup, kini sepuluh tahun pascaperang, industri minyak Iraq sebagian besar dikelola swasta dan kebanyakan didominasi perusahaan asing.

Perusahaan-perusahaan minyak besar dunia telah ‘buka warung’ di Iraq: ExxonMobil, Chevron, BP dan Shell. Demikian juga perusahaan-perusahaan jasa perminyakan AS termasuk Halliburton, firma berbasis di Texas yang pernah dijalankan oleh Dick Cheney sebelum menjadi pasangan George W. Bush pada 2000.

Perang merupakan satu dan satu-satunya cara bagi aksed yang telah lama diinginkan dan baru bisa dibuka.

Minyak bukanlah satu-satunya tujuan Perang Iraq, namun minyak tentunya merupakan alasan utama, sebagaimana dibuktikan oleh sejumlah pejabat tinggi militer dan politik pada tahun-tahun setelah invasi berlangsung.

“Tentu saja ini soal minyak; kita tidak bisa mengingkarinya,” kata Jenderal John Abizaid, mantan kepala Komando Pusat dan Operasi Militer di Iraq pada 2007. Mantan Kepala Bank Sentral AS Alan Greenspan sependapat, dalam tulisan memoarnya, “Saya sedih bahwa secara politik tidak nyaman untuk mengakui apa semua orang telah ketahui: perang Iraq utamanya adalah karena minyak. Mantan Senator yangkini jadi Menlu AS CHUCK Huggel mengatakan hal yang sama pada 2007: “Orang bilang kita tidak berperang karena minyak. Tentu saja kita berperang karena minyak.”

Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, perusahaan-perusahaan minyak Barat tengah mencari dan menghasilkan minyak dari lapangan-lapangan minyak terbesar dunia dan meraih laba besar. Dan meskipun AS juga mempertahankan impor minyak dari Iraq, manfaatnya tidak sampai ke perekonomian atau masyarakat Iraq.

Keadaan ini tercipta karena telah dirancang demikian akibat tekanan pemerintah AS dan perusahaan minyak selama satu dekade. pada 1998, Kenneth Derr, CEO Chevron saat itu, mengatakan, “Iraq memiliki cadangan minyak dan gas yang besar yang saya sangat ingin Chevron bisa mendapatkannya.” Chevron mendapatkannya sekarang.

Pada 2000, perusahaan minyak besar termasuk Exxon, Chevron, BP dan  Shell, menghabiskan lebih banyak uang mendukung Bush dan Cheney dibanding pilpres sebelumnya. Hanya selang sepekan masa pemerintahan Bush yang pertama, upaya mereka terbayar saat dibentuk National Energy Policy Development Group, diketuai oleh Cheney, yang dibentuk untuk menyatukan  pemerintah dan perusahaan minyak untuk merancang kepentingan bersama energi masa depan. Pada Maret, gugus tugas ini mengkaji daftar dan peta keseluruhan kapasitas produksi minyak Iraq.

Perencanaan untuk invasi militer pun kemudian disusun. Menteri Keuangan pertama Bush, Paul O’Neill pada 2004 mengatakan, “Pada Februari (2001), pembicaraan sudah sebagian besar tentang logistik. bukan mengapa (untuk menyerang Iraq), namun bagaimana dan berapa cepat.”

Dalam laporan akhir pada Mei 2001, gugus tugas berpendapat bahwa negara-negara Timur Tengah harus didorong untuk ‘membuka sektor energi mereka bagi investasi asing.” Persis inilah yang telah dicapaindi Iraq.

Beginilah mereka melakukannya.

Kelompok Kerja Minyak dan Gas di bawah Proyek Masa Depan Iraq, telah bertemu mulai Februari 2002 sampai April 2003 dan menyetujui bahwa Iraq “harus dibuka bagi perusahaan-perusahaan minyak internasional secepat mungkin setelah perang.”

Pada saat yang sama, perwakilan antara lain dari ExxonMobil, Chevron, ConocoPhillips dan Halliburton, bertemu dengan staf Wapres Cheney pada Januari 2003 untuk membahas rencana industri Iraq pascaperang. Satu dekade selanjutnya, eksekutif dan mantan eksekutif perusahaan minyak barat bertindak sebagai administrator bagi industri minyak Iraq dan kemudian penasehat bagi pemerintah Iraq.

Sebelum perang hanya ada dua penghalang bagi perusahaan minyak barat untuk beroperasi di Iraq: Saddam Hussein dan sistem hukum negara tersebut. Invasi akan menyelesaikan penghalang pertama. Untuk mengatasi masalah kedua, penasehat di dalam dan di luar pemerintahan Bush berpendapat bahwa cukup diatasi dengan mengubah undang-undang minyak Iraq melalui koalisi pemerintah pimpinan AS di Iraq, yang mengatur negeri ini dari April 2003 sampai Juni 2004. Nmun Gedung Putih menunggu, memilih menekan pemerintah Iraq yang baru terbentuk untuk menyetujui undang-undang perminyakan mereka sendiri.

Pada 2008, karena kemungkinan diterbitkannya undang-undang tersebut dan kelanjutan pendudukan militer asing semakin mengecil karena pemilunmakin mendekat di AS dan Iraq, para perusahaan minyak menempuh cara lain.

Dengan mengabaikan parlemen, perusahaan-perusahaan minyak mulai menandatangani kontrak yang memberikan akses dan perlakuan yang menguntungkan di mana pemerintahan Bush ikut membantu menyusun model kontrak.

Kontrak baru ini tidak memiliki tingkat kepastian yang tinggi, dan dinilainoleh para legislator Iraq bertentangan dengan undang-undang yang ada di mana kontrak industri minyak seharusnya dikendalikan, dioperasikan dan dimiliki oleh pemerintah.

Nmun kontrak tersebut bisa mencapai tujuan utamanya yakni memprivatisasi sektor minyak Iraq dan membukanya bagi investor asing.

Kontrak ini juga memiliki masa kerja yang cukup lama dan kepemilikan saham yang tinggi dan menghilangkan kewajiban untuk memenuhi kepentingan minyak dalam negeri, dan juga kewajiban perusahaan untuk menanamkan pendapatannya bagi perekonomian lokal ataupun mempekerjakan mayoritas tenaga lokal.

Produksi minyak Iraq telah meningkat 40% dalam lima tahun terakhir namun 80% diekspor keluar negeri sementara penduduk Iraq berjuang memenuhi kebutuhan konsumsi energi dasarnya. GDP per kapita meningkat dengan signifikan namun masih berada dalam kelompok yang terendah di dunia dan jauh di bawah beberapa tetangga kaya minyak swkitarnya. Layanan dasar seperti air dan listerik masih sulit dan 25% penduduk hidup dalam kemiskinan.

Janji penciptaan lapangan kerja baru terkait energi belum terwujud. Sektor minyak dan gas saat ini hanya menyerap kurang dari 2% lapangan kerja langsung karena perusahaan asing sangat tergantung pada pekerja dari luar.

Dalam dua minggu terakhir, lebih dari 1.000 orang berunjukrasa di lapangan minyak ExxonMobil dan Lukoil Russia menuntut pekerjaan dan pembayaran untuk tanah perorangan yang telah hilang atau rusak oleh operasi minyak mereka. Militer Iraq dikerahkan untuk menanggapinya.

Sementara di kantor pusat Chevron di Houston pada 2010, seorang mantan perwira intelejen militer tentara AS, Thomas Buonomo, anggota Iraq Veterans Against the War, mengangkat sebuah plakat berbunyi, “Untuk Chevron: Terima kasih telah menodai pengabdian kami.”

Ya, Perang Iraq adalah untuk minyak, dan ada yang dikalahkan: rakyat Iraq dan mereka yang telah menumpahkan darah dan kehilangan nyawa sedemikian besar sehingga Perusahaan Beaar bisa masuk.

Sumber :kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOLOM kOMENTAR

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.