Jumat, 25 November 2011

Seri Metodologi Sejarah : Kemungkinan “Kekeliruan” dalam Historiografi

Sejarawan David Hackett Fischer dalam bukunya Historian’Fallacies. Toward a Logic of Historical Thought, sebagaimana disampaikan kembali oleh Helius Sjamsuddin dalam  Metodologi Sejarah (2010: 171-179) menginventarisir sejumlah kemungkinan “kekeliruan” ( fallacies) yang bisa dilakukan sejarawan dalam kegiatan penafsiran dan penulisan sejarah atau historiografi. Kekeliruan tersebut antara lain:

1.    Kekeliruan Anakronisme (the fallacy of anachronism)
Kekeliruan anakronisme terjadi ketika seorang sejarawan membuat tulisan atau pertimbangan terhadap sesuatu peristiwa tidak sesuai dengan waktu atau masanya. Anakronisme dapat terjadi dalam beberapa bentuk, seperti:
a.   kesalahan dalam penempatan tanggal atau tahun suatu peristiwa, contohnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disebutkan 16 Agustus 1945
b. kesalahan penempatan objek pada suatu masa tertentu, contohnya menyebut senjata jenis M-16 sebagai salah satu senjata yang dipakai dalam Perang Dunia I
c. kesalahan penempatan istilah-istilah, misalnya istilah gerakan reformasi untuk menyebut gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1966
d.   kesalahan dalam penempatan peristiwa, misalnya kongres pemuda Indonesia I tertukar dengan kongres pemuda Indonesia II

Jika suatu peristiwa disebut lebih awal daripada yang sebenarnya disebut “prokronisme” , sebaliknya jika disebutkan lebih kemudian daripada kejadian yang sesungguhnya disebut “metakronisme”.

2.    Kekeliruan “Presentisme” (the fallacy  of presentism)
Presentisme sering juga disebut “present mindedness” . Dalam hal ini kekeliruan terjadi berupa “pemaksaan” materi sejarah masa lalu digunakan untuk kepentingan masa sekarang. Contohnya, penggunaan sejarah sebagai alat propaganda untuk kepentingan ideologi politik atau untuk mendukung program politik tertentu seperti yang dilakukan sejarawan Nazi Jerman jaman Hitler atau sejarawan komunis di Uni Soviet jaman Stalin. Resiko dari presentisme sebenarnya cukup besar karena materi sejarah yang digunakan dapat dibuat-buat atau didistorsi. Evidensi sejarah tidak diteliti dan digunakan dengan cermat sebagaimana seharusnya, begitu pula dengan konstruksi cerita sebenarnya dari masa lalu tidak dilakukan karena hasilnya telah ditentukan sebelumnya berdasarkan atas standar yang sudah diyakini atau diproyeksikan sejarawan ke masa lalu.

3.    Kekeliruan “Antikuarian” (the antiquarian fallacy)
Kekeliruan antikuarian dapat terjadi jika sejarawan dengan sengaja memutuskan sama sekali hubungannya dengan masa ketika ia hidup dengan maksud semata-mata hanya untuk mempelajara masa masa yang lain. Dengan kata lain ini kekeliruan ini hampir kebalikan dari presentisme.  

4.    Kekeliruan “Sejarah Terowongan” (the fallacy of tunel history)
Sejarah terowongan atau tunel history  adalah sebutan lain untuk bentuk-bentuk sejarah tematis. Penamaan ini diberikan oleh J.H. Hexter. Di antara bentuk sejarah tematis yang kita kenal seperti: sejarah politik, sejarah ekonomi, sejarah sosial, sejarah militer, sejarah kolonial, sejarah lokal dan sebagainya. Alasan pengelompokkan sejarah manusia secara tematis adalah untuk mempermudah mempelajari masa lalu manusia yang begitu luas. Kelemahan jika menggunakan “ visi terowongan” ini menjadikan kajian sejarah lebih deterministik karena sejarawan hanya fokus pada satu tema yang dikajinya dan cenderung mengabaikan tema yang lain. Oleh sebab itu, salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini di samping tema sentral dalam deskripsi, narasi atau analisis perlu menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau menggunakan metode komparatif.

5.    Kekeliruan Periodisasi (the fallacy of false periodization)
Sejarah adalah suatu proses dalam kehidupan manusia yang bergerak linear secara terus menerus tanpa dapat dihentikan. Untuk  dapat memahami arah, kecenderungan, pola, karakteristik yang sudah berlangsung yang pada akhirnya memahami makna perjalanan sejarah, poros waktu “dihentikan sementara” lalu dipenggal-penggal dalam periode-periode tertentu. Setiap bangsa tentu saja memiliki pembabakan atau periodisasi tertentu yang berbeda dengan bangsa yang lain. Dalam hal ini , sejarawan seringkali tidak tepat dalam menetapkan batas-batas temporal atau patokan periodisasi sejarah suatu bangsa. “Kesalahan” ini tidak jarang terjadi karena memang sifatnya yang “subjektif”. Periodisasi yang umum salah disebut hectohistory  yaitu jika sejarah dipenggal-penggal secara rapi ke dalam “periode Procrustean”yaitu masing-masing misalnya: tiap seratus tahun, setengah abad, seperempat abad, sepuluh tahun. Sehingga ada periode awal abad ke-20, pertengahan abad ke-20, akhir abad ke-20 dan seterusnya.

6.    Kekeliruan Teleskopik (the telescopic fallacy)
Kekeliruan yang terjadi di sini yaitu ketika sejarawan sedang membuat deskripsi, narasi atau analisis cenderung terdorong untuk meringkas sebuah kisah sejarah yang seharusnya panjang. Hasilnya menjadi sebuah historiografi yang tidak utuh.

7.    Kekeliruan “Berkepanjangan” (the interminable fallacy)
Kekeliruan ini adalah kebalikan dari kekeliruan teleskopik. Kisah sejarah cenderung dibuat panjang dari yang seharusnya ringkas, sehingga terkesan bertele-tele. Kesalahan ini bisa terjadi karena sumber yang terbatas.

8.    Kekeliruan Kronik (the cronic fallacy)
Kekeliruan kronik terjadi ketika sejarawan memaksakan ceritanya menurut urutan waktu yang cenderung kaku dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dalam hal ini sejarah laksana sebuah kronik yang mengalir berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa tanpa terputus-putus. Masalah kronologi waktu memang menjadi bagian tak terlepaskan dari sejarah dan menjadi ciri yang membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, akan tetapi seorang sejarawan tidak perlu kaku dengan urutan waktu supaya kecenderungan, pola atau ciri-ciri dari sebuah proses sejarah tetap dapat terlihat.

9.    Kekeliruan Didaktik (the didactic fallacy)
Sebuah kekeliruan didaktik dapat terjadi ketika sejarawan cenderung terlalu “menggurui”. Sang sejarawan menulis dengan maksud untuk menarik “pelajaran-pelajaran” tertentu dari sejarah dengan maksud untuk mengatasi  problem-problem yang terjadi saat ini tanpa menghiraukan perubahan-perubahan yang menyela di antaranya.
Beberapa tipe khusus dari “ kekeliruan” antara lain:
a. Menghidupkan kembali ajaran-ajaran moral, kepercayaan, atau aturan-aturan yang berlaku pada masa lalu untuk “memurnikan” masa sekarang
b. Mengulang kembali keberhasilan politik masa lalu dengan cara meniru program-program dari para politikus yang pernah berhasil
c.   Menerapkan hasil kajian sesuatu masalah yang dianggap berhasil kepada masalah lain, meskipun kedua masalah tersebut tidak sama, baik karena waktu maupun tempatnya.
Mengenai pemanfaatan nilai guna sejarah untuk kehidupan sekarang memang tidak ada salahnya, sebagaimana negarawan Romawi Cicero (106-43sM) mengatakan bahwa historia magistra vitae (sejarah adalah guru kehidupan). Akan  tetapi yang terpenting adalah terletak pada rambu-rambu bahwa sejarawan dapat menulis sejarah sebagai “ guru kehidupan” tanpa harus terlalu jauh “menggurui”.

Demikian beberapa “kekeliruan” atau”kesalahan” yang harus dihindari oleh seorang sejarawan dalam proses penafsiran atau penulisan suatu peristiwa sejarah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOLOM kOMENTAR

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.