Minggu, 13 Desember 2020

Perubahan dan Perkembangan Cara Bertani di Desa Simpen Kidul di Era Modern

 oleh Puput Ria Maharani - SMPN 3 Limbangan Kelas 9C

Simpen Kidul adalah salah satu desa di Kecamatan Balubur Limbangan, Garut, Jawa Barat. Desa ini sangat indah dari aspek pemandangannya. Alamnya masih asri dan udaranya masih segar, cocok untuk para wisatawan yang ingin memanjakan diri dari kepenatan kerja. 

Dari sisi kuliner Desa Simpen Kidul memiliki makanan khas, yaitu peuyeum ketan dan ulen. Jenis makanan khas desa yang banyak disukai masyarakat.

Warga Desa Simpen Kidul paling banyak bercocok tanam di sawah maupun di kebun. Bertani atau bercocok tanam merupakan rutinitas dan pekerjaan yang tidak asing lagi bagi masyarakat di sini. Seiring kemajuan zaman perubahan demi perubahan terjadi dalam kehidupan masyarakat Simpen Kidul, termasuk di sektor pertanian. Dengan perkembangan teknologi pastinya sangat membantu sektor pertanian di desa ini. Contohnya perubahan dalam hal membajak sawah, dulu para petani lebih memilih menggunakan tenaga manusia atau hewan (kerbau) untuk membajak sawah, tetapi sekarang sebagian sudah memilih tenaga traktor. 

Traktor adalah kendaraan yang didesain secara spesifik untuk keperluan traksi tinggi pada kecepatan rendah, atau untuk menarik trailer atau implemen yang digunakan dalam pertanian atau konstruksi.  Alat ini sangat membantu petani untuk membajak sawah dikarenakan sangat efisien dan efektif juga waktu yang singkat. Memang harganya tidak murah tetapi para petani melihat dari sisi lain, yaitu sisi jangka pemakaian yang lebih lama. Hal lain, traktor berbeda dengan tenaga manusia/hewan(kerbau) membutuhkan waktu yang lama tidak cukup efisien dan menguras tenaga, belum lagi upah yang harus dikeluarkan oleh para pemilik sawah untuk membayar upah para pekerja di sawah. Lebih lama mereka bekerja maka semakin besar juga upah yang harus dibayarkan. Itulah faktor yang menyebabkan para petani pemilik sawah memilih menggunakan traktor untuk membantu proses bercocok tanam mereka disawah. 

Ada juga perubahan lainnya, yaitu perubahan penggunaan pupuk. Dulu masyarakat di Desa Simpen Kidul lebih memilih menggunakan pupuk organik dikarenakan dulu masih belum ada pupuk kimia untuk mereka bercocok tanam. Pupuk organik yang digunakan contohnya dari kotoran hewan misalnya kotoran kelinci, ayam, marmoot, dan juga sapi. Setelah adanya pupuk kimia yang telah dikembangkan oleh para ahli masyarakat mulai lebih memilih untuk menggunakan pupuk kimia. Pupuk kimia dianggap lebih mudah didapat dan juga lebih efisien juga efektif untuk tanaman yang petani tanam. 

Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal mengusir hama. Dulu para petani menggunakan orang-orangan sawah untuk mengusir hama. Saat ini pemanfaatan orang-orangan sawah tidak cukup efektif. Saat ini untuk mengusir hama  para petani sebagian memilih menggunakan caira kimia untuk mengusir hama, misalnya dengan menggunakan cairan yang bernama pestisida. Tentunya penggunakan obat/cairan kimia pasti ada dampak yang ditimbulkan dan meusak ekosistem hewan di sawah. 

Itulah beberapa perubahan perubahan dari segi sektor bertani di Desa Simpen Kidul. 


Kamis, 10 Desember 2020

Pesta Politik di Tengah Pandemi, Kok Bisa?

Rabu, 9 Desember 2020 sebagian wilayah di Indonesia melangsungkan pesta politik bertajuk Pilkada. Pilkada atau pemilihan kepala daerah ditujukan untuk memilih para pemimpin di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Total daerah yang melaksanakan Pilkada serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah, terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. 

Hasil Pilkada secara real count memang belum resmi dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun di beberapa titik riak-riak kegembiraan mulai terlihat. Wajah-wajah sumringah bertabur senyum mengembang bisa dilihat dari pihak-pihak yang merasa sudah menang berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) yang dikeluarkan banyak pihak. Di lain pihak wajah muram penuh kecewa muncul di pihak yang kalah. 

Apapun yang hasil Pilkada bukanlah fokus dari tulisan ini. Coretan sederhana ini mencoba mengamati pelaksanaan Pilkada-nya yang justru dilaksanakan di tengah maraknya pandemi Covid-19. Di satu sisi pandemi Covid-19 telah sukses menghentikan berbagai aktivitas manusia. Proses pendidikan formal resmi diubah menjadi pembelajaran jarak jauh berbasis dalam jaringan (online), sebagian orang dipaksa untuk bekerja dari rumah (work from home), helatan liga sepakbola dan pentas olah raga lain dihentikan, aktivitas peribadatan dibatasi, bahkan aneka aktivitas lainnya yang sifatnya mengumpulkan massa dibubarkan dan bahkan ada yang diancam untuk dipidanakan. 

Hal yang aneh ketika aktifitas lain dibatasi bahkan dihentikan, kok pesta politik yang namanya Pilkada justru sangat ditolerir untuk dilaksanakan? Bukankah Pilkada juga melibatkan massa dalam jumlah yang banyak? Bukankah Pilkada juga sangat berpotensi menjadi klaster baru penyebaran Covid-19? Memang protokol kesehatan dengan ketat dilaksanakan, tetapi potensi itu tentunya tetap ada bukannya menjadi tidak ada sama sekali.

Ironis memang, tapi itulah sebuah realita yang ada di panggung kehidupan suatu bangsa yang bernama Indonesia. Realita yang tidak jarang membuat kita berkerut kening. Realita yang juga seringkali mengundang banyak pertanyaan. Juga menjadi realita yang mungkin menyakitkan bagi sebagian pihak yang merasa dirugikan akibat aktivitas hidupnya dihentikan dengan alasan takut ada klaster penularan Covid-19 yang baru.

Apa yang menjadi dasar dilaksanakannya Pilkada, tentunya pemerintah dan KPU punya alasan tersendiri. Segudang alasan bisa dikemukakan untuk memperkuat argumentasi kenapa Pilkada harus dilaksanakan. Yang sebenarnya alasan yang sama juga sebenarnya mungkin bisa dipakai kalau ingin mengaktifkan kembali aspek kehidupan yang lain. Sebut saja contohnya perhelatan liga sepak bola Indonesia seperti yang dilakasanakan di luar negeri dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. 

Kita hanya bisa berbaik sangka dengan semua kebijakan pemerintah ini. Yang mungkin ujung-ujungnya semua diperuntukkan bagi kebaikan masyarakat. Hanya saja segudang pertanyaan tetap menggantung, mengapa Pilkada kok bisa dilaksanakan, sementara yang lain harus dihentikan? Jawabannya, wallahu a'lam bish-shawabi. 

Cicalengka, 10 Desember 2020