Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global
Future Institute (GFI)
|
|
Keputusan Majelis Federasi Rusia untuk
mengerahkan angkatan bersenjatanya di Semenanjung Cremea yang masuk kedaulatan
Ukraina, memang tidak bisa dipandang semata-mata sebagai tindakan agresi
militer sepihak. Karena sebelumnya telah didahului dengan campur-tangan
Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri Ukraina dengan mendukung kelompok
oposisi yang menentang kepemipinan Presiden Yanukovich yang kebetulan cukup
dengan dekat dengan Rusia.
|
|
Jika kita menelisik
kembali proses kejatuhan Yanukovich yang didahului dengan gelombang
demonstrasi dan kerusuhan yang berlangsung 3 bulan penuh, maka tak pelak lagi
tangan-tangan Amerika dan Uni Eropa ikut bermain dari balik layar. Hal ini
bisa kita lihat ketika Yulia Tymoshenko, pesaing utama Yanukovich yang sudah
dipenjara selama lebih dari 5 tahun, kemudian dibebaskan sehingga ketika
demonstrasi dan kerusuhan yang kabarnya telah menewaskan 80-an orang
tersebut, kemudian dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim pemerintahan
Yanukovich yang dalam garis politiknya sejalan dengan Pemerintahan Rusia di
bawah Presiden Vladimir Putin.
Maka kiranya tidak
terlampau berlebihan jika sebuah harian di Cina, Xinhua Comentary, mengecam
manuver Amerika dan Uni Eropa dalam memediasi antara kubu Yanukovich dan
kelompok oposisi, pada perkembangannya justru telah menciptakan polarisasi di
dalam negeri Ukraina. Poin menarik dari Xinhua Comentary adalah, dalam
mengatasi krisis di Ukraina, pihak barat (AS dan Uni Eropa) sebaiknya
melibatkan Rusia dalam proses mediasi tersebut.
Dari ulasan Xinhua
Commentary, yang tentunya mencerminkan juga sikap tidak resmi dari Cina, bisa
disimpulkan bahwa mediasi yang diprakarsai oleh Amerika dan Uni Eropa yang
seolah-olah memediasi kubu pemerintahan Yanukovich dan kelompok oposisi,
sejatinya merupakan aksi sepihak untuk melumpuhkan dan pada akhirnya
menjatuhkan pemerintahan Yanukovich.
Sikap politik tajuk
rencana Xinhua Commentary nampaknya harus dibaca sebagai refleksi pendirian
politik pemerintah Cina yang sejatinya mendukung langkah yang diambil oleh
Putin maupun Majelis Federasi Rusia. Meskipun di atas permukaan, pihak
kementerian luar negeri Cina secara resmi menyatakan keprihatinannya atas
situasi yang terjadi di Ukraina, dan menyerukan kepada semua pihak untuk
menyelesaikan konflik internal Ukraina sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Seraya menegaskan bahwa Cina menghormati kedaulatan dan integritas
territorial Ukraina.
Namun menariknya, juru
bicara kementerian luar negeri Cina Qin Gang kemudian mengakhiri pernyataan
resminya dengan sebuah kalimat bersayap: “Ada beberapa alasan mengapa timbul
situasi sebagaimana yang terjadi di Ukraina saat ini.”
Di sini, Qin Gang tidak
merinci lebih lanjut pernyataannya tersebut. Namun sebagaimana ulasana harian
Xinhua Commentary di atas, Global Future Institute memandang kejatuhan
Yanukovich paralel dengan terjadinya Revolusi berwarna di Ukraina pada 2004.
Yang sejatinya skema revolusi berwarna merupakan skema negara-negara AS dan
Uni Eropa untuk menjatuhkan pemerintahan suatu negara yang dipandang tidak
bersahabat atau musuh.
Pemicu Kejatuhan Yanukovich
Kemarahan AS dan Uni
Eropa mencapai puncaknya setelah Presiden Yanukovich menolak beberapa tekanan
ekonomi politik yang dilakukan AS dan kelompok negara Uni Eropa. Yanukovich
lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan Iran.
Masih ingat apa yang
terjadi pada 2011? Ketika itu, International Monetary Fund (IMF) gagal
menjebol perekonomian Ukraina ketika pemerintah saat itu menolak
mentah-mentah rekomendasi IMF untuk menghentikan subsidi harga gas yang
dikonsumsi sebagian besar rakyat Ukraina. Padahal Ukraina sudah menyetujui
pinjaman untuk Ukraina sebesar 15 miliar dolar AS.
Jerman, juga menekan
Ukraina untuk bergabung dengan jaringan politik dan bisnisnya lewat kekuatan
kelompok negara Uni Eropa. Sekadar informasi, Jerman sebenarnya sedang
memulai proyek geopolitik besarnya melawan Rusia dengan memperluas jaringan European Union Eastern Partnership-nya. Proyek itu ternyata
mampu merangkul negara Georgia dan Moldova. Sedangkan negara Belarus dan
Armenia yang sudah dalam radar Jerman ternyata memilih bergabung ke kelompok
negara Eurosian Customs Union yang dipimpin Rusia.
Sekarang, Ukraina yang
kaya sumber energy itu juga menolak mentah-mentah keinginan Uni Eropa. Sangat
logis jika kemudian Jerman meradang dengan penolakan Ukraina. Karena secara
geopolitik, Ukraina dipandang oleh Jerman sebagai negara kunci untuk
memenangkan perang pasar energy global Uni Eropa melawan kelompok
negara-negara yang pro Rusia dan Cina.
Dalam prediksi Jerman,
jika Ukraina bisa diajak bergabung dalam Uni Eropa, maka Uni Eropa akan mampu
mengatur pasar energy global, minimal di tingkat
negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Manuver Uni Eropa dan Anatomi Kelompok Oposisi
Bebeapa langkah strategis
Uni Eropa untuk menguasai Ukraina sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari.
Beberapa perusahaan besar Jerman sudah membangun pipa gas yang cukup besar di
Ukraina. Pipa gas tersebut dibangun melintasi Polandia, Hongaria dan
Slovakia. Yang menjadi dasar pertimbangan Jerman, dengan membangun pipa-pipa
gas tersebut, pada perkembangannya akan menyelesaikan ketergantungan Ukraina
terhadap pasokan gas yang selama ini disalurkan dari Rusia.
Maka Jerman ingin agar
proyek besar tersebut dibayar oleh Presiden Yanukovich dengan menandatangani
kesepakatan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Namun dengan keputusan
Yanukovich untuk lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan Iran, maka
rencana Jerman untuk membangun infrastruktur pipa gas tadi akhirnya hancur
berantakan. Gagal total.
Nampaknya inilah skenario
besar AS dan Uni Eropa di balik dukungan terhadap ribuan demonstrasi dengan
berlindung pada simbol gerakan “Pro Demokrasi” dan gerakan “anti Presiden
Yanukovich.”
Lantas, bagaimana
gambaran konstalasi politik Ukraina pasca kejatuhan Yanukovich? Mari kita
telisik profil kelompok-kelompok yang berada di balik gerakan “Pro Demokrasi”
Ukraina ini. Ternyata ada 3 kelompok besar di balik penggulingan Yanukovich.
Pertama, adalah partai
Batkivschyna yang dipimpin oleh Yulia Tymoshenko. Partai ini dibiayai dan
didukung secara langsung atau tidak langsung oleh Jerman.
Yang kedua, adalah Partai
Svoboda yang mengusung ideology Neo Nazi. Partai ini adalah kelompok yang paling
kuat menentang Yanukovich. Partai yang anti Yahudi (termasuk Yahudi Rusia)
ini dibiayai oleh Washignton. Partai ini dipimpin oleh Tiahnybok. Dia
mengembangkan partai neo nazi-nya dengan merujuk pada gerakan neo nazi yang
berkembang di Eropa. Dalam konstalasi politik parlemen di Ukraina, Svoboda
merupakan partai terbesar di Ukraina saat ini.
Kalau melihat betapa
kisruhnya situasi politik di Ukraian beberapa bulan jelang jatuhnya
Yanukovich, nampaknya Partai Svoboda berperan cukup aktif untuk memanaskan
keadaan dan dalam menciptakan aksi destabilisasi politik.
Partai ketiga adalah
partai Udar yang dipimpin langsung oleh Vitally Klitschko, mantan juara tinju
kelas berat dunia. Klitschko merupakan salah satu calon presiden yang akan
maju pada pemilu Ukraina 2015 mendatang. Partai Jerman Christian Democrat
Union memastikan Klitschko merupakan salah satu orang penting untuk
menjembatani semangat pro Uni Eropa di Ukraina.
Yang mengherankan kami di
Global Future Institute, beberapa media arus utama, termasuk beberapa harian
terkemuka di Indonesia, justru lebih menyorot dan menjadikan headlinenya ke
arah kemunculan semangat neo nazi di Ukraina. Bahkan ada yang mengembangkan
wacana bahwa Ukraina akan menjadi negara neo fasis baru. Sehingga Partai
Svoboda dan gerakan neo nazi-lah yang justru jadi headline berbagai media
massa di dalam maupun di luar negeri.
Padahal, isu besar di
balik jatuhnya Presiden Yanukovich adalah pertarungan penguasaan energy
global antara kelompok negara Trans Pacific Partnership (TPP) yang dimotori
oleh Amerika dan Uni Eropa yang dimotori oleh Jerman. Melawan negara-negara
yang tergabung dalam BRICS berdasarkan skema kerjasama strategis Rusia dan
Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO).
Menyimak dan memonitor
secara intensif dan terus-menerus perkembangan situasi di Ukraina atas dalam
sudut pandang ini, berarti mendorong berbagai elemen strategis di Indonesia
untuk mewaspadai skema serupa akan dipagelarkan di Indonesia sewaktu-waktu.
Apalagi dalam jelang pemilu April 2014 mendatang diprediksi akan cukup
krusial dan berpotensi untuk terjadinya instabilitas politik.
|
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOLOM kOMENTAR
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.