Senin, 31 Desember 2018

EKSOTISME SITU CISANTI DI HULU SUNGAI CITARUM


Oleh:
Enang Cuhendi

“Gunung kaian, gawir awian, cinyusu rumatan, pasir talunan, lebak caian, sempalan kebonan, walungan rawatan, legok balongan, dataran sawahan, situ pulsaraeun, lembur urusan jeung basisir jagaeun.”


Keasrian Situ Cisanti
Sumber:  Medcom.id - Octa

Nama Situ Cisanti mungkin masih terasa asing bagi sebagian masyarakat. Hal berbeda kalau kita misalnya menyebut Situ Patenggang di Rancabali Ciwidey Kabupaten Bandung, Situ Cileunca di Pangalengan Kabupaten Bandung, Situ Bagendit di Banyuresmi Garut atau mungkin Situ Ciburuy di Padalarang Bandung Barat. Keempat nama situ atau danau tersebut sudah begitu akrab di telinga masyarakat, khususnya warga Jawa Barat. Bahkan lokasi-lokasi tersebut selalu menjadi destinasi wisata di kala libur tiba.
Keberadaan Situ Cisanti memang baru dikenal belakangan. Tapi jangan salah, keindahan Situ Cisanti tak kalah dengan situ-situ lainnya. Ketika berkunjung kesini, para pengunjung akan disuguhi dengan pemandangan rimbun pepohonan serta air telaga yang jernih. Dian Diana (2017: 1) menyebutnya sebagai danau camperenik atau danau kecil tetapi sangat menarik dengan kondisi alam yang sangat menyejukan mata layaknya surga tersembunyi.
Bahkan nama Cisanti sebenarnya sudah dikenal jauh lebih lama. Nama Cisanti disebut dalam Naskah Bujangga Manik, suatu kisah perjalanan yang kaya dengan nama-nama geografi di Pulau Jawa dari abad ke-15. “... meuntas aing di Cisanti sananjak ka Gunung Wayang...” artinya “.., aku menyeberang di Cisanti mendaki ke Gunung Wayang. (Dian Diana, 2017: 17).
Berkaitan dengan nama Cisanti,  T. Bachtiar  (2014) sebagaimana dikutip Dian Diana (2017: 16) menjelaskan bahwa nama tersebut berasal dari dua kata, Ci dan Santi. Ci dalam bahasa Sunda berarti cai atau air, sedangkan santi artinya suci atau mensucikan. Secara umum yang dimaksud dengan Cisanti bisa diartikan dengan air suci atau air yang mensucikan. Masyarakat sekitar Cisanti sebagai mata air suci, dan keberadaannya dikaitkan dengan kisah perjalanan Bujangga Manik atau Pangeran Jaya Pakuan pada abad Ke-16 dan Pangeran Dipati Ukur. Dua tokoh yang dipandang suci dan ksatria. Selain itu, masyarakat juga selalu mengaitkan Cisanti dengan legenda kisah cinta suci Gagak Taruna dan Nyi Kantri Manik.
Secara geografis Situ Cisanti berlokasi di kampung Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Tepatnya di kaki Gunung Wayang dengan ketinggian 2.181mdpl. Luas Situ Cisanti hanya 7 hektar, tapi secara keseluruhan kawasan Situ Cisanti memiliki luas 304, 58 hektar. Selain Gunung Wayang, Situ Cisanti juga dikelilingi oleh gunung lainnya seperti Gunung Rakutak, Gunung Malabar, Bukit Bedil dan Gunung Kendang. Wilayahnya berbatasan dengan beberapa desa. Batas sebelah utara adalah Desa Cibeureum dan Cikembang. Di selatan ada desa Neglawangi dan Santosa. Sedangkan di sebelah timur berbataan dengan desa Cikembang dan Kabupaten Garut. Kecamatan Pangalengan menjadi pembatas di sebelah barat.
Untuk tiba di Situ Cisanti, membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam dari Kota Bandung jika tidak macet. Ada dua jalur yang dapat ditempuh, pertama jalur Alun-Alun Ciparay. Dari terminal Ciparay, kita bisa mengambil jalan menuju Kecamatan Pacet menuju arah Kecamatan Kertasari. Satu catatan, jalur melalui ciparay lebih pendek, tetapi jalannya kurang baik dan tanjakannya lumayan terjal.  Jalur kedua melalui Pangalengan. Meskipun agak memutar, jalur ini menyajikan pemandangan yang sangat indah. Barisan kebun teh dan banyak bunga liar berwarna-warni yang tumbuh menemani perjalanan menuju Situ Cisanti. Ditambah lagi dengan bangunan-bangunan tua dengan desain khas warisan Belanda. Perkebunan teh yang dilewati milik beberapa perusahaan, seperti perkebunan dan pabrik teh Malabar,  Pasir Junghun, Taloon, dan Teh Talun Sentosa.
Sebelum dibangun seperti sekarang, Situ Cisanti dulunya hanya berupa rawa-rawa. Konon katanya ada tujuh mata air yang mengalirinya. Ketujuh mata air yang sangat menentukan keberlangsungan Situ Cisanti tersebut adalah: mata air Pangsiraman, Cikahuripan, Cikawedukan, Kolaberes, Cihaniwung, Cisadane, dan Cisanti. (Dian Diana, 2017: 3). Dari ketujuh mata air tersebut hanyalah mata air Pangsiraman yang bisa bebas dikunjungi dan itupun tidak bisa leluasa, karena banyak larangan terkait dengan kepercayaan masyarakat sekitar yang tentunya harus pengunjung hargai. Mata air Pangsiraman diyakini sebagai tempat bertapanya Dipati Ukur, penguasa Tanah Ukur (Bandung sekarang) semasa Sultan Agung dari Mataram.
 Keberadaan Situ Cisanti menjadi teramat penting mengingat ada kaitannya dengan Sungai Citarum atau Ci Tarum, sungai terpanjang di wilayah Jawa Barat. Situ Cisanti merupakan hulu sungai Ci Tarum yang selanjutnya mengalir sepanjang 269 km melalui lima kabupaten, yaitu, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Purwakarta, Kerawang, dan Bekasi.
Seandainya Situ Cisanti tidak dipelihara dengan baik maka dampaknya akan terasa oleh Sungai Ci Tarum. Debit air di hulu berkurang otomatis aliran air ke hilir pun akan sedikit. Oleh karena pelestarian Situ Cisanti dan kawasan sekitarnya mutlak sangat dibutuhkan.
Di era 1990-an Cisanti merupakan kawasan hutan. Kemudian warga menggunakan lahan untuk berkebun sayuran. Pada ahun 1994 sampai 2003 terjadi perambahan hutan dan penjarahan kayu yang tak terkendali di hutan sekitar Situ Cisanti. Ini sebagai akibat tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lahan adat. Perlu diketahui, bahwa sebagian besar lahan di Kawasan Situ Cisanti merupakan lahan milik PTP Nusantara VIII dan PT LondonSumatera /kertasari.  Sehingga hutan lahan menjadi gundul dan tak berfungsi normal. Pengaliran air ke situ semakin kecil dan situ mulai mengering.
Sepuluh tahun kemudian upaya untuk mengatasi masalah hutan gundul dan alih fungsi hutan mulai mendapat perhatian. Adalah Agus Derajat yang disebut agen pembaru dan mayarakat yang berperan penting dalam menghijaukan kawasan sekitar Situ Cisanti. Atas upaya tak kenal lelah dari Agus Derajat, seorang Kepala SD yang merupakan alumnus Pendidikan Matematika UPI, Situ Cisanti bisa kembali normal.
Mulai tahun 2001 Agus Derajat tak kenal lelah mengajak para petani untuk melestarikan kawasan Situ Cisanti. Tantangan yang keras tidak membuat tekad Agus Derajat surut. Ia bersama masyarakat yang sepemikiran mulai menata lingkungan sekitar situ. Tekad semakin kuat setelah tahun 2003 Pemerintah Provinsi Jawa Barat melaui Gubernur H.RR Nuriana mengeluarkan program “Citarum Bergetar” yaitu Citarum Bersih, Geulis dan Lestari.
Konsep penanganan masalah Kawasan sekitar Situ Cisanti didasarkan pada kearifan lokal. Ungkapan sesepuh Sunda sebagaimana ditulis diawal tulisan ini dijadikan pijakan untuk melestarikan lingkungan.  Ungkapan “Gunung kaian, gawir awian, cinyusu rumatan, pasir talunan, lebak caian, sempalan kebonan, walungan rawatan, legok balongan, dataran sawahan, situ pulsaraeun, lembur urusan jeung basisir jagaeun.” benar-benar dipraktekan. Enam dari dua belas ungkapan dijadikan pedoman pelestarian di Situ Cisanti. Keenam ungkapan tersebut adalah “Gunung kaian, pasir talunan, situ pulsaraeun, legok balongan, cinyusu rumatan, lembur urusan.
Selama masa pembenahan 83 ribu ton gulma berhasil diangkut dari Situ Cisanti. Lalu, terbukalah lahan situ ada enam sampai tujuh hektar. Kondisi terus mengalami perubahan berlanjut hingga sekarang. Masyarakat pun lebih sadar akan lingkungan dan yang lebih mengejutkan lagi Situ Cisanti sekarang bisa menjadi objek wisata. Revitalisasi Citarum harus menjadi semangat bagi seluruh pihak dengan tujuan agar ada tanggung jawab untuk melestarikan sungai Citarum.
Kini, suasana sekitar danau tampak asri dan indah. Warga pun berdatangan untuk menikmati suasana tersebut. Pengunjung juga memanfaatkan keasrian danau sebagai latar swafoto. Bahkan Presiden Joko Widodo pun menyempatkan diri mengunjungi Situ Cisanti pada Kamis 22 Februari 2018 pagi.

Sumber Bacaan:
Dian Diana, 2017, Situ Cisanti, Danau Camperenik Hulu Sungai Citarum, MG Publishing, Bandung
Fairuz Rana Ulfah , “Situ Cisanti, Danau Eksotis dan Misterius Di antara Perkebunan Teh” www.goodnewsfromindonesia.id  28 Desember 2016 09:10 WIB https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/12/28/situ-cisanti-danau-eksotis-dan-misterius-di-antara-perkebunan-teh diakses 28 Desember 2018 pukul 10.20
Octavianus Dwi Sutrisno    “Situ Cisanti, Daerah Hulu Sungai Citarum”  www.metrotvnews.com     Kamis, 22 Feb 2018 16:02 WIB  http://jabar.metrotvnews.com/peristiwa/GbmJ18ek-situ-cisanti-daerah-hulu-sungai-citarum  diakses 28 desember 2018 pukul 10.39
Tommy Bernadus, “Berpetualang ke Situ Cisanti, Kilometer 0 Sungai Citarum”,  www.travel.detik.com   Sabtu, 01 Sep 2018 11:45 WIB https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-4151259/berpetualang-ke-situ-cisanti-kilometer-0-sungai-citarum diakes 28 Desember 2016 11:10 WIB
Dhafi Paparu, “Menyusuri Sungai Citarum Hingga Mata Air Situ Cisanti”, https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-1720174/menyusuri-sungai-citarum-hingga-mata-air-situ-cisanti/2/#detail__photo , Selasa, 13 Sep 2011 11:24 WIB , diakses 25 Desember 2018 pukul 23.18





 MENELUSURI JEJAK MANUSIA SUNDA DI GUHA PAWON

Oleh:
Enang Cuhendi

Namanya Guha Pawon atau Gua Pawon. Penulis menggunakan nama yang pertama, yaitu Guha Pawon sesuai dengan nama yang tercantum di lokasi. Kata Guha memang diadopsi dari bahasa Sunda yang dalam bahasa Indonesia disebut gua. Pengertiannya sama tidak ada perbedaan. Akan tetapi supaya nilai kearifan lokalnya lebih terasa maka penulis menggunakan nama Guha Pawon.
Guha Pawon terletak di Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat (KBB) Jawa Barat. Lokasinya tidak terlalu jauh dari jalan raya Bandung – Cianjur, sekitar lima kilometer setelah Situ Ciburuy Padalarang kalau dari arah Bandung. Gua ini berada di sebuah bukit  diketinggian sekira 700 mdpl yang disebut Pasir Pawon. Di bandingkan dengan area sekitarnya Pasir Pawon adalah satu-satunya bukit kapur yang masih asri tanpa ada gangguan penggalian.
Di bukit seukuran kira-kira 45 ha itu terdapat beberapa gua yang lubang-lubang masuknya menghadap ke arah utara. Di bawahnya merembes mata air dari retakan-retakan batu gamping yang tidak pernah kering sekalipun di musim kemarau, cukup mengairi berpetak-petak sawah di sekitarnya. Dua hal itulah yang membuat gua ini dijaga masyarakat sebagai warisan alam yang sangat berharga.
“Pawon” sendiri dalam bahasa Sunda berarti dapur. Nama ini diidentikan dengan sebuah ruangan di dalam goa yang bagian atasnya terdapat lubang seperti cerobong asap. Diduga bahwa d tempat ini para manusia purba yang tinggal di tempat ini mengolah makanannya. Apalagi diperkuat dengan adanya temuan berupa serpihan tembikar dan alat-alat serpih yang diperkirakan dipakai sebagai alat untuk keperluan mengolah.
Di kalangan masyarakat sekitar ada yang menghubungkan keberadaan Guha Pawon ini dengan legenda Sangkuriang. Guha Pawon diyakini sebagai dapur tempat Dayang Sumbi, ibunda Sangkuriang, memasak. Ya, namanya juga legenda yang tentunya berbeda dengan sejarah.
Guha Pawon terdiri dari beberapa ruang atau gua kecil. Ruang pertama disebut Gua Poek. Poek artinya gelap.  Gua Poek sering dipakai sebagai tempat bermalam oleh orang yang berkunjung ke Gua Pawon. Di dalamnya terdapat sebuah ruangan yang cukup luas yang memang terlihat seperti sebuah kamar untuk menginap. Menurut legenda orang Sunda (legenda Sangkuriang), gua ini dulunya adalah dapur Dayang Sumbi.
Untuk sampai ke ruang berikutnya yang merupakan ruang utama harus sedikit memanjat dan menyelip di bawah batu besar. Di sana terdapat tiga mulut gua yang seperti minta dimasuki, dan ada satu lagi yang letaknya di bawah, jadi seperti kolam kering yang di pojoknya ada sebuah celah besar. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan memasuki mulut gua paling kiri. Gua ini masih temasuk ke dalam bagian dari Gua Lega, karena ruangannya memang nyambung dengan ruangan dari kedua mulut gua yang lainnya, sehingga di namakan sebagai ruang utama.
Di bagian kiri atas gua Lega ini, ada sebuah tempat yang dinamakan Sumur Bandung. Sumur Bandung ini sebenarnya bukanlah sebuah sumur, lebih seperti sebuah kolam kecil yang kadang-kadang airnya kering. Sumur ini sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi airnya bening dan dingin. Bagi yang percaya air tersebut dipandang bisa membawa berkah. Pengunjung bisa membasuh muka, tangan atau kaki dengan air itu.  Sumur Bandung ini tempatnya cukup tinggi dan jalan kesana total harus memanjat dinding batu yang terjal dan licin.
Dari Gua Lega bila terus berjalan ke arah belakang kita menuju ke sebuah celah besar. Di sana terdapat sebuah tebing yang indah. Sebelah kanannya ada sebuah gua kecil yang di depannya terdapat lokasi penemuan fosil manusia purba. Jadi ternyata gua ini pernah di pakai sebagi tempat tinggal manusia purba, yang konon adalah nenek moyangya orang Bandung.



Lokasi tempat ditemukannya Kerangka Manusia Purba
Di situ kita bisa menikmati indahnya tebing yang menjulang tinggi dengan warna emas kecoklatan, lalu berjalan ke bawah sedikit ada lagi celah di pinggir tebing yang bentuknya seperti sebuah jendela besar bagi Gua Pawon sebagai rumahnya. Tempat ini dinamakan Gua Kopi karena dulunya di sini banyak pohon kopi yang tumbuh.




Dari sana bisa lanjut ke bagian depan Gua Pawon. Untuk sampai ke sana, harus kembali lagi ke Gua ruang utama dan kali ini berjalan turun ke bawah, ke tempat yang sebelumnya kami sebut sebagai kolam kering dengan celah yang cukup besar di pojoknya.
Setelah melewati celah itu, kita akan sampai di tempat yang di beri plat 'kamar 1'. Disini bau kotoran kelelawar menyengat sekali. Dari situ bisa langsung keluar Gua Pawon melalui mulut utama. Setelah keluar dari mulut gua itu masuk ke satu gua lagi, yaitu Gua Barong. Gua ini terletak di sebelah kanan jalan masuk utama. 
Nama Guha Pawon seenarnya melejit belum terlalu lama. Keberadaannya baru dikenal masyarakat luas sekitar tahun 2000-an seiring dengan ditemukannya beberapa fosil manusia pra sejarah di tempat ini. Jauh sebelum itu Guha Pawon hanyalah tempat biasa yang tidak banyak dikunjungi, bahkan oleh masyarakat sekitarnya sekalipun. Letak gua yang berada di lokasi penambangan berbagai jenis batu itu hanya dianggap sebagai satu lokasi tempat bernaung disela penambangan batu atau tempat bermain anak-anak.
Di tahun 2000 penelitian pendahuluan  dilaksanakan oleh peneliti dari ITB dan LIPI yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Penelitian ini menjadi batu loncatan untuk ekskavasi Balai Arkeologi Bandung pada 2003. Setelah melakukan penggalian selama hampir sepuluh hari dari tanggal 10 s.d. 19 Juli 2003 pada lubang berukuran 2 x 2 meter persegi dengan kedalaman 140 centimeter para peneliti dari Balai Arkeologi Bandung menemukan kerangka utuh meringkuk dari Manusia Pawon yang diperkirakan berumur antara 5600 sampai dengan 9000 tahun. Selain itu di  tempat yang sama juga ditemukan serpihan batu.
Dugaan sementara para pakar, tulang belulang tersebut milik manusia purba yang hidup pada jaman batu dan tinggal di dalam gua. Sedangkan serpihan batu diduga merupakan perkakas milik manusia yang hidup dijaman dulu. Temuan tulang belulang serta serpihan batu di Gua Pawon, masih berdasarkan perkiraan berasal dari masa perlapisan budaya. Pada masa itu terjadi pelapisan tiga budaya, yaitu masa Mesolithikum, Preneolithikum, serta Neolithikum, yang masing-masing memiliki ciri tersendiri.
Menurut Ketua Tim Peneliti Gua Pawon dari Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri, penggalian dilakukan menggunakan metode speed. Metode speed, yaitu menggali selapis demi selapis tanah dengan ketebalan lima sentimeter untuk setiap lapisnya. Saat penggalian itu, pada lapisan-lapisan tersebut ditemukan tulang belulang, batu obsidian, serpihan batuan, gigi, rahang, serta mollusca air tawar. Tak hanya tulang belulang manusia purba, tim ini juga menemukan tulang belulang berbagai jenis unggas, vertebrata, serta reptil. Tulang yang diperkirakan milik mollusca air tawar, ditemukan dalam keadaan utuh. Kemungkinan besar, hewan tersebut tidak dikonsumsi oleh manusia pada jaman itu, karena bila dijadikan mangsa makhluk lain, biasanya badan hewan tersebut hancur dan sulit dapat diangkat.
Tahun 2013 ekskavasi lanjutan situs purbakala Guha Pawon kembali menemukan indikasi keberadaan manusia Guha Pawon. Menurut ketua tim peneliti, Luthfi Yondri, Tulang manusia Guha Pawon yang ditemukan pada Minggu (29/7/2013) memiliki usia jauh lebih tua daripada usia kerangka manusia yang ditemukan utuh pada tahun 2003-2004. Tulang tersebut ditemukan pada lapisan di bawah manusia berumur 9.500 kita menemukan sisa pembakaran berupa tanah terbakar dan sisa-sisa budaya seperti obsidian dan fragmen tulang binatang. Berdasarkan hasil penelitian dari tautan gigi, perbandingan lebar kepala dari depan, belakang, dan samping, menurut dugaan para ahli besar kemungkinan manusia yang ditemukan terakhir ini masih dalam satu ras yang sama, yaitu ras mongoloid.

Pada penelitian tahun 2017 para peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Bandung kembali menemukan 2 kerangka manusia purba di Gua Pawon. Sejak tahun 2000, total telah ditemukan 7 kerangka manusia purba zaman mesolitik di lokasi yang sama. Berdasarkan jenis kelamin untuk masing-masing kerangka. Di antaranya sudah teridentifikasi 3 individu kerangka berjenis kelamin laki-laki, 1 perempuan dan 1 belum teridentifikasi.
Melihat lokasinya yang lebih dalam dari penemuan sebelumnya, dua kerangka manusia purba yang ditemukan diprediksi lebih tua dari temuan-temuan sebelumnya. Kerangka yang dulu ditemukan di kedalaman sekitar 1,6 meter, sedangkan yang terakhir masing-masing 2,45 meter dan 2,3 meter. Jika temuan-temuan kerangka manusia purba sebelumnya antara kisaran 5600-9000 tahun lalu, maka temuan kali ini bisa lebih tua dari temuan-temuan sebelumnya. Semua temuan tersebut diperkirakan berasal dari zaman mesolitik. Ciri-cirinya mereka tinggal di goa-goa dan ditemukannya alat-alat dari tulang-tulang dan serpihan yang mereka pakai.



Seorang peneliti menunjukkan kerangka manusia purba yang ditemukan di Gua Pawon.
Koleksi: Koran SINDO/Nur Azis

Mengingat arti penting keberadaan Guha Pawon dari sisi arkeologi, sejarah dan hasil budaya masyarakat Sunda, maka menjaga keutuhan Pasir Pawon seolah-olah menjadi harga mati. Temuan yang spektakuler itu menjadikan situs Guha Pawon merupakan situs kuburan manusia prasejarah pertama dan satu-satunya di Jawa Barat dan Banten. Inilah aset Kabupaten Bandung Barat yang selayaknya bertaraf internasional dalam kontribusinya kepada penyusunan evolusi manusia prasejarah di dunia.
Selama hampir delapan tahun sejak penelitian rintisan KRCB dan lima tahun setelah tersingkapnya kerangka meringkuk oleh Balai Arkeologi Bandung, Gua Pawon belum ditangani secara seharusnya sebagai suatu situs bertaraf dunia. Bahkan lokasi situs ini hampir saja jatuh ke tangan para pengusaha batu kapur di awal 2008.
Titik balik fokus pengelolaan Guha Pawon terjadi 2009. Ketika pemekaran Kabupaten Bandung Barat dari Kabupaten Bandung terwujud, aset berharga ini mulai menjadi perhatian serius, khususnya melalui Wakil Bupati Ernawan Natasaputra. Tim penyelamatan karst Citatah segera dibentuk dengan SK Bupati Bandung Barat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun mendukung usaha-usaha ke arah penyelamatan situs Gua Pawon Gubernur Ahmad Heryawan melakukan kunjungan ke Desa Gunung Masigit tempat situs itu berada dan Wakil Gubernur Dede Yusuf secara khusus berkunjung dan masuk ke Guha Pawon. Pemerintah provinsi Jawa Barat juga menunjukkan komitmennya dengan mengucurkan dana awal Rp 60 juta untuk pengembangan Kampung Wisata, Seni, dan Budaya Gua Pawon.

SUMBER BACAAN:
Nur Aziz, “Peneliti Temukan Lagi Dua Kerangka Manusia Purba di Goa Pawon”, Selasa, 21 Maret 2017 - 18:11 WIB

Goa Pawon, Bandung, Jawa Barat Menyingkap Kehidupan Masa Lalu di Gua Pawon

Putra Prima Perdana, Kompas.com - 31/07/2013, 13:58 WIB “Ditemukan, Manusia Goa Pawon Berusia Lebih dari 9.500 Tahun”
Diakses Senin, 25 Desember 2018 pukul 00.05


MENATAP MASA LALU TANAH BANDUNG DARI STONE GARDEN




MENATAP MASA LALU TANAH BANDUNG DARI STONE GARDEN


Oleh:
Enang Cuhendi

Sekeluar dari pintu tol Padalarang mobil melaju kearah Cianjur. Sekira lima Kilometer dari Situ Ciburuy setelah melewati perbukitan kapur mobil berbelok ke kanan keluar dari jalan raya melewati jalan desa yang sedikit berdebu. Beberapa kali mobil dipaksa menepi karena berpapasan dengan truk-truk tua pengangkut kapur. Akhirnya kami pun sampai di lokasi. “Stone Garden” atau taman batu namanya. Stone Garden, adalah sebutan untuk hamparan tanah seluas dua hektar yang diisi oleh formasi batuan tak beraturan yang indah dan membentuk taman alam.

Berada di Kawasan Karst Citatah, Kampung Giri Mulya, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Stone Garden memang didominasi oleh batuan. Seluas mata memandang hamparan yang terlihat hanyalah formasi batuan-batuan yang indah dan unik. Akan tetapi batuan di sini bukanlah jenis batuan biasa seperti umumnya di wilayah pegunungan.  Jenis batuan di kawasan ini merupakan jenis karst atau batu gamping, yaitu batuan endapan yang terbentuk di dasar lautan dari tumpukan cangkang binatang laut dalam kurun waktu jutaan tahun.
Lho kok ada batuan karts di daerah ini padahal wilayah ini berupa pegunungan dengan ketinggian puncak berada di 908 meter di atas permukaan laut? Ya, batu yang ada di lokasi Goepark Stone Garden dan betu-betul kumpulan karst atau batu karang. Dahulu daerah karst itu merupakan dasar laut dangkal. Batuan kapur yang ada dibentuk oleh terumbu karang di dasar laut. Melalui proses geologi tumpukan batuan endapan ini terangkat ke permukaan laut dan membentuk dataran atau pegunungan batu gamping seiring mengeringnya laut dangkal itu.  Pembentukan Stone Garden diperkirakan terjadi pada zaman Miosen, 20-30 juta tahun silam (KRCB, 2006).


Batuan Karst di  Stone Garden

Kawasan Karst Citatah termasuk warisan tertua di Pulau Jawa. Terbentang sepanjang enam Kilometer dari mulai Tagog Apu hingga Selatan Rajamandala. Ciri utama wilayah ini sebagian besar tanahnya berupa batuan kapur. Masyarakat sekitar umumnya memanfaatkan sumber daya alam ini untuk berbagai kebutuhan dari mulai bahan bangunan sampai hiasan rumah.
Karst memang memiliki beberapa nilai penting. Dilihat dari sisi ilmiah keberadaan karst bermanfaat untuk pengembangan dan apliksi berbagai jenis ilmu pengetahuan, baik yang berbasis kebumian, biologi, kehutanan, pertanian, arkeologi, sosial budaya maupun hukum. Secara ekonomi karst berfungsi sebagai sebagai sumberdaya hayati maupun nirhayati yang bermanfaat di bidang pertambangan, kehutanan, pertanian, pengelolaan air, pariwisata dan bio ekonomi. Karst juga merupakan potensi alam dengan beragam aspek keindahan, rekreasi, pendidikan, sosio-ekonomi dan sosio-budaya setempat.
Berada di Stone Garden mata ini dimanjakan dengan pemandangan indah. Sekeliling terlihat formasi batuan yang terentuk secara alami tanpa campur tangan manusia. Batuan tertinggi oleh pengelola dinamakan Puncak Panyawangan.


Puncak Panyawangan

Dari Puncak Panyawangan ketika pandangan di arahkan ke Timur nampak jelas sebuah cekungan besar seperti mangkuk terhampar dari Cipatat sampai ke arah Bandung. Keberadaan Stone Garden seolah membuktikan bahwa dulunya dataran tinggi Bandung merupakan sebuah laut dangkal atau danau besar. Imajinasi inipun bergerak liar ke masa jutaan tahun yang lalu. Membayangkan kawasan yang dikenal dengan sebutan Bandung merupakan daratan luas yang berupa dasar danau.
Danau Bandung Purba atau dalam istilah geologi disebut sebagai Bandung Basin, diperkirakan terbentuk ratusan ribu, bahkan ada yang menyebut jutaan tahun lalu. Danau yang memanjang sekira 60 Kilometer terbentang mulai dari kawasan Padalarang di Barat sampai Nagreg di Timur dan dan 4o Kilometer dari Lembang di Utara sampai Kawasan Bandung Selatan. Garis tinggi 725 meter yang melewati Padalarang, Bandung Utara, Cicalengka, Nagreg, dan Banjaran sampai ke sebelah barat Cililin merupakan garis tepi danau. Di banyak tempat di sekitar danau, wilayah di atas ketingian 725 meter, banyak ditemukan hasil-hasil kebudayaan yang berupa flakes dari bahan obsidian. Flakes tersebut umumnya berupa microlith atau batuan kecil. Daerah penghasil batuan obsidian terdapat di Nagreg dan Garut Utara. Menurut Soekmono (1973: 46-47) flakes dari sekitar Danau Bandung ini menjadi inti dari flakes culture  dan diperkirakan berasal dari masa mesolithikum. Sedangkan mengenai pecahan tembikar dan perunggu yang juga banyak ditemukan menunjukkan bahwa sesudah jaman mesolithikum berakhir, kebudayaan di sana berlangsung terus dan mengikuti perkembangan berikutnya menjadi neolithikum dan jaman perunggu.
Di atasnya ditutupi oleh air danau dengan berbagai jenis ikan berenang menikmati alaminya kondisi air saat itu. Sebagian sisa fosil ikan yang pernah hidup di danau ini ditemukan di daratan Kota Bandung dan disimpan di Museum Geologi Bandung.
Banyak teori tentang bagaimana proses terbentuknya Danau Bandung. Seorang geolog Belanda yang cukup konsen mempelajari karakter dan stratigrafi bumi Indonesia, Reinout Willem van Bemmelen, dalam bukunya The Geology of Indonesia, memberikan pemaparan bahwa sejarah geologi Bandung dapat ditelusuri hingga sekitar 20 juta tahun yang lalu. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap bentuk bantuan dan morfologi gunung-gunung berapi di sekitar Bandung ia berpendapat bahwa Danau Bandung Purba terbentuk karena Sungai Citarum purba yang tersumbat. Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu dari letusan Gunung Tangkuban Parahu yang sebelumnya didahului oleh letusan dahsyat dari Gunung Sunda Purba.
Kurang lebih sekitar 14 juta-4 juta tahun yang lalu, Van Bemmelen memperkirakan dasar laut mulai terangkat secara tektonik menjadi daratan dan daerah pegunungan. Selanjutnya serangkaian aktivitas vulkanik lalu menyebabkan lahirnya bukit-bukit yang mengarah ke bagian utara selatan; antara Bandung dan Cimahi.
Dua juta tahun yang lalu aktivitas vulkanologi ini sepenuhnya bergeser ke utara dan membentuk Gunung Sunda, gunung api purba yang kemudian meletus membentuk kaldera, pada gilirannya memunculkan Gunung Tangkuban Parahu.
Seakan memperkuat pendapat Van Bemmelen, Sutikno Bronto bersama Udi Hartono, pada tahun 2006 mengkaji Potensi Sumber Daya Geologi di Daerah Cekungan Bandung, juga memperkirakan bahwa Cekungan Bandung merupakan sebuah kaldera.
Beberapa peneliti juga menemukan di antara tanah purba atau batuan sedimen terbawah Cekungan Bandung terdapat lapisan abu gunung api. Temuan yang kerap dihubungkan dengan kegiatan gunung api dan mungkin mengawali pembentukan Danau Bandung.
Tahun 1992, Tim peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Indonesia) yang dipimpin oleh Dam, M. A. C. dan Suparan mengungkapkan hal yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya berkenaan dengan sejarah geologi Bandung. Menggunakan metode penanggalan radiometri dengan isotop carbon C-14 dan metode pengamatan bentuk serta singkapan morfologi, para peneliti ini bahkan telah menjumpai umur yang jauh lebih tua untuk beberapa kejadian dari yang diperkirakan sebelumnya.
Mereka mencari lapisan endapan sedimen Danau Bandung dengan melakukan pengeboran di dua tempat; 60 meter di Bojongsoang dan mencapai kedalaman 104 meter di Sukamanah. Dalam laporannya  menyimpulkan bahwa Danau Bandung Purba tidak terbentuk atau disebabkan oleh peristiwa letusan Gunung Sunda dan atau Gunung Tangkuban Parahu. Danau Bandung menurut mereka terjadi karena peristiwa tektonik dan peristiwa denudasi (proses pengikisan permukaan yang mengakibatkan berkurangnya ketinggian) yang terjadi pada 125 ribu tahun yang lalu.
Seiring waktu air danau pun surut dan mengering. Di atas kawasan Bandung tidak ada lagi wilayah yang digenangi air danau.   Berdasarkan hasil penelitian terakhir air Danau Bandung surut ke arah Barat tepatnya di sekitar Cukang Rahong perbatasan Kabupaten Bandung Barat (KBB) dengan Rajamandala. Bagian Timur Curug Jompong yang sekarang dibuat saluran oleh Pemda KBB. Sebelumnya ada anggapan bahwa danau purba ini jebol di Sanghyang Tikoro, akan tetapi pendapat ini diragukan mengingat ada perbedaan ketinggian yang nyata.  Bagaimana Danau Bandung Purba ini kemudian terkuras habis? Konon-masih banyak perdebatan untuk alasan pastinya-hilangnya air dari danau itu disebabkan terbukanya wilayah-wilayah pembendung. Ada juga yang berpendapat surutnya air Danau Bandung Purba karena proses pendangkalan akibat material-material yang masuk ke dalam danau yang kemudian mengendap.
Kawasan berair yang paling akhir bisa ditemukan di Kota Bandung adalah Situ Aksan. Sayang karena derasnya laju pembangunan sekira tahun 1980-an di sekitar Situ Aksan dialih fungsikan menjadi lapang golf dan sejumlah hunian.   Bukti lain yang menunjukkan bahwa Bandung dulunya adalah danau atau laut dangkal  beberapa tempat di kawasan Bandung di awali dengan kata Ci yang berarti cai atau air, seperti: Cileunyi, Cicaheum, Cibiru, Cimahi, dan sebagainya.
Setelah air surut, daratan bekas danau Bandung berubah menjadi kawasan yang subur. Hutan yang lebat tumbuh menyelimuti kawasan ini. Beraneka binatang buas, mulai dari monyet, rusa, badak sampai harimau atau maung hidup di sini.   
Ketika manusia mulai muncul menghuni Bumi, wilayah Bandung pun mulai dihuni manusia. Penemuan fosil manusia purba di Guha (Goa) Pawon yang berada di Krast Citatah ketinggian di atas 700 mpdpl menjadi bukti  keberadaan kehidupan manusia purba penghuni wilayah Bandung Purba. Fosil diperkirakan berusia antara 7.000 sampai dengan 10,000 tahun yang lalu. Bahkan ada yang beranggapan bahwa manusia Guha Pawon menjadi saksi keberadaan Danau Bandung.
Semakin lama Bandung kuno semakin berkembang. Kawasan hutan berubah menjadi perkampungan dan kemudian menjadi kota dengan beberapa kota lain mengelilinginya. Bandung berkembang menjadi Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.
  Sejenak berpikir seandainya kawasan wisata yang pertama kali ditemukan oleh Tim Geologi ITB yang tergabung dalam Tim Riset Ceungan Bandung (LRCB) dikelola dengan profesional bukan mustahil akan lebih terkenal. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pasir Pawon harus mampu menjaga image objek wisata ini dengan baik.
Lamunanpun terjaga ketika seorang teman mengajak pulang karena hari semakin siang. Sebelum pamit ada sedikit saran, agar tidak kepanasan dan bisa menikmati udara segar sangat disarankan untuk datang ke lokasi ini di pagi hari, dijamin pasti puas.

Sumber Bacaan:
Soekmono, 1973, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1, Kanisius, Yogjakarta.
“Danau Bandung; Cekungan Purba dari Kala Pleistosen” http://www.wacana.co/2016/04/danau-bandung-cekungan-purba/. Diakses pada 22 Desember 2018 pukul 00.36
https://sains.kompas.com › Kompas.com › Sains diakses pada 22 Desember 2018 pukul 00.36