Senin, 28 Mei 2018

MUNGSOLKANAS, MESJID TERTUA DI KOTA BANDUNG


Oleh:
Enang Cuhendi

Bandung saat ini merupakan salah destinasi wisata cukup ramai di Indonesia. Setiap pekan berduyun-duyun pengunjung dari luar Kota Bandung, khususnya dari Jakarta datang berkunjung ke kota ini. Gerbang pintu tol Pasteur setiap pekan menjadi pintu masuk utama wisatawan ke Kota Kembang ini. Banyak objek yang memang ditawarkan Kota Bandung sebagai tujuan wisata. Salah satunya wisata belanja dengan Kawasan Cihampelas sebagai salah satu ikonnya.
Tulisan ini tentunya tidak bermaksud untuk mengupas masalah wisata belanja karena tidak nyambung dengan judul tulisan. Walau begitu masih nyambung dengan bahasan tentang Cihampelas salah satu kawasan belanja di Ibu Kota Asia Afrika ini. Kalau Anda berkunjung atau jalan-jalan ke Cihampelas pernahkah Anda menemukan papan/plang bertuliskan “Masjid Jami Mungsolkanas”? Jawabannya bisa pernah atau tidak tentunya. Kalaupun pernah rasanya kita tidak terlalu tertarik berpikir lebih jauh, paling mungkin sebatas ada rasa aneh dengan nama masjid tersebut, karena tidak lazim.
Nama masjid ini memang sedikit asing. Berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya yang menggunakan nama-nama berbau Arabiyah, Mungsolkanas merupakan akronim dari kalimat berbahasa Sunda, yaitu: “Mangga urang ngaos shalawat ka Kanjeng Nabi Muhammad S.A.W” atau “mari kita mengaji dan bersalawat kepada Nabi Muhammad S.A.W.


Popularitasnya tentu saja tidak sepopuler  Masjid Agung/Masjid Raya (Alun – Alun) Bandung yang berdiri megah di pusat kota atau Masjid Cipaganti yang ada di pinggir jalan raya utama. Dilihat dari lokasinya,  masjid ini memang sedikit di dalam. Masuk ke sebuah gang kecil bernama Gang Winataatmaja yang terletak di seberang Rumah Sakit Advent, atau di sebelah Sekolah Tinggi Bahasa Asing di RT 02 RW 05 Kelurahan Cipaganti Kecamatan Coblong Kota Bandung.
Masih teringat dalam ingatan penulis ketika masih belajar di SMPN 23 Bandung sekitar 30-an tahun yang lalu, kegiatan renang yang diadakan sekolah selalu mengambil tempat di Kolam Renang Cihampelas. Lokasi kolam renang yang sekarang sudah tidak ada ini tidak jauh dari masjid Mungsolkanas ini. Setiap kali lewat di depan dan membaca papan namanya, hanya rasa aneh yang muncul. Saat itu tidak terpikirkan untuk menggali lebih jauh tentang masjid ini. Padahal ternyata masjid yang satu ini menyimpan nilai sejarah yang luar biasa. Masjid Mungsolkanas ternyata tercatat sebagai masjid tertua di Kota Bandung.
Keterangan lengkap tentang Masjid Mungsolkanas didapat dari tulisan Nugraha di situs info.pikiran-rakyat.com. Ditulis bahwa masjid tersebut awalnya hanya berupa tajug (mushala) sederhana yang berdiri sejak tahun 1869. Bentuk bangunannya berupa kobong dan panggungnya terbuat dari bilik. Dalam masyarakat Sunda, terutama di kalangan pesantren, kobong mengacu pada asrama atau tempat tinggal para santri yang sering disebut pondok pesantren.
Bangunan masjid ini didirikan di atas lahan yang diwakafkan oleh nenek Zakaria yang bernama Lantenas, seorang janda dari R. Suradipura, Camat Lengkong Sukabumi yang wafat pada 1869. Tanah yang dimiliki Lantenas saat itu terbilang sangat luas, yakni mulai dari Jalan Plesiran sampai Gandok (Jalan Siliwangi) Bandung. Lahan pemandian Cihampelas dan pabrik daging yang sekarang telah berubah menjadi pusat belanja Cihampelas Walk pun termasuk di dalam tanah milik Lantenas. Janda kaya ini wafat pada 1921, tepat pada usia 80 tahun.

Tajug yang sudah berdiri lebih dari 140 tahun itu pertama kali dipugar menjadi masjid pada tahun 1933, hampir bersamaan saat Wolf Schumaker memugar Masjid Kaum Cipaganti. Bedanya, Mungsolkanas dipugar atas biaya dan inisiatif ulama kharismatik, yaitu Mama Aden alias R. Suradimadja alias Abdurohim, yang juga keluarga Lantenas.  Sedangkan Mesjid Kaum Cipaganti dibiayai oleh pemerintah kolonial Belanda. Nama Mungsolkanas diberikan juga oleh Mama Aden alias R. Suradimadja alias Abdurohim, yang juga keluarga Lantenas. Dari data yang dihimpun Tribun Jabar diketahui bahwa pemugaran berikutnya pada tahun 1953, 2003 dan 2009.

Keberadaan Masjid Mungsolkanas sebagai salah satu situs sejarah Kota Bandung perlu mendapat perhatian. Jangan sampai nasibnya seperti pemandian Cihampelas yang hanya tinggal kenangan terlindas pembangunan pusat perbelanjaan Cihampelas Walk (Ciwalk). Padahal keberadaan pemandian Cihampelas bisa masuk salah satu cagar budaya yang sudah ada sejak zaman Belanda.
Pembangunan ekonomi harus terus berjalan, tetapi kesadaran akan peninggalan sejarah dan spiritual harus terus dikembangkan. Satu tantangan tersendiri bagi pemerintah dan umat Islam untuk terus menjaga eksistensi Masjid Mungsolkanas jangan sampai tergerus oleh hiruk-pikuk perkembangan zaman. Kuncinya ada dalam hati setiap umat Islam dan pemerintah yang cinta akan rumah Allah. Semoga!

Sumber Bacaan:



MENJADI GURU PENULIS


Oleh:
Enang Cuhendi,S.Pd.MM.Pd*)

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” ― Pramoedya Ananta Toer
Kalimat penuh makna tersebut dikutip dari seorang penulis besar yang pernah dimiliki negeri ini, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Pram, biasa dia dipanggil, lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta pada usia 81 tahun, tepatnya 30 April 2006. Beliau dikenal sebagai penulis yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Lebih dari 50 karya yang dihasilkannya dan hampir sebagian besar diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing.
Menulis tentu saja bukan kata yang asing. Sejak awal kita mengenal dunia sekolah ada dua aktivitas yang akrab diajarkan guru-guru kita, yaitu membaca dan menulis. Membaca menjadi keterampilan dasar pertama yang ditanamkan kepada kita baru kemudian dibimbing kita untuk menulis. Membaca dan menulis menjadi dua aktivitas yang berjalan seiring sejalan dan tidak terpisahkan selama kita sekolah.
Semakin tinggi jenjang pendidikan yang kita tempuh, aktivitas membaca dan menulis tetap kita laksanakan. Semakin banyak buku yang ditugaskan kepada kita untuk dibaca. Begitu juga semakin banyak karya tulis yang harus dibuat, tidak kurang mulai dari makalah, skripsi, tesis bahkan sampai desertasi atau karya ilmiah lainnya.
Hal yang unik, ketika kita sudah selesai sekolah dan masuk dunia kerja. Rutinitas kita melaksanakan aktivitas membaca dan menulis seolah-olah ikut berhenti. Kita seakan merasa merdeka terbebas dari tugas-tugas yang namanya membaca buku dan membuat karya tulis. Bahkan hal ini juga menimpa kalangan pendidik seperti penulis.
Sebagai seorang pendidik idealnya kita harus tetap bisa memelihara semangat membaca dan menulis. Selain banyak manfaat yang bisa kita dapat dari kegiatan tersebut, juga sekaligus bisa menjadi contoh teladan bagi peserta didik kita. Bisa kita bayangkan ketika kita sebagai guru menyuruh peserta didik kita untuk selalu semangat membaca dan membiasakan menulis sementara kita sendiri sudah mulai melupakan kedua aktivitas tersebut. Sebaliknya ketika kita terbiasa membaca dan menulis, saat kita menyuruh dan mampu menunjukkan contoh karya tulis yang kita buat ada rasa percaya yang besar dalam diri peserta didik kepada kita.
Pada abad ke-21 sekarang, kemampuan berliterasi peserta didik berkaitan erat dengan tuntutan keterampilan membaca yang berujung pada kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis dan reflektif.  Hal yang menyedihkan, menurut analisis pemerintah, pembelajaran di sekolah saat ini belum mampu mewujudkan hal tersebut (Kemdikbud, 2016: 1). Keterampilan memahami bacaan anak-anak kita relatif masih rendah.
Berdasarkan laporan PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2009 pemahaman membaca peserta didik kita pada tingkat sekolah menengah hanya berada pada peringkat ke-57 dari 65 negara dengan skor 396 jauh dibawah rata-rata skor capaian OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) yang 493. Tahun 2012 posisinya turun ke posisi ke-64 dari 65 negara. Menurut Kemdikbud (2016: 1) dari kedua hasil ini dapat dikatakan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah belum memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya menjadi terampil membaca untuk mendukung mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Apa yang disampaikan di atas merupakan tantangan bagi kita sebagai pendidik. Tantangan yang wajib dijawab dengan aksi nyata bukan sekedar keprihatinan belaka. Langkah awal bisa kita mulai dari aksi dukungan secara nyata pada Gerakan Literasi Sekolah yang sedang dikembangkan pemerintah. Apa yang dituntut dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2015 kita coba realisasikan. Penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca di kelas dilaksanakan, tentu dengan keterlibatan aktif kita di dalamnya. Pengintegrasian kemampuan literasi  dalam proses pembelajaran mulai kita terapkan. Yang utama kita mulai memberi contoh diri secara langsung menampilkan sosok kita sebagai guru yang literat yang terbiasa membaca dan menulis. Sebagai guru literat kita hadirkan karya-karya tulis produk kita sebagai contoh kepada peserta didik. Dengan harapan mereka akan  termotivasi juga untuk ikut menulis.
Mengawali menulis memang susah. Umumnya ada rasa tidak percaya diri dan merasa malu kalau tulisan kita dibaca orang lain. Hal itu penulis yang sedang belajar ini juga turut merasakan sendiri. Sampai suatu saat seorang sahabat sekaligus guru penulis dalam dunia menulis memberi masukan. Beliau mengajarkan, kalau mau belajar menulis buang penghapus dan jauhkan tipe-x dari dekatmu dan mulailah menulis, jangan pernah berpikir benar salah atas apa yang kamu tulis tapi berpikirlah untuk menulis, menulis dan menuliskan apa yang ada di benakmu. Jangan pernah takut tulisanmu dibaca orang lain, karena katanya semakin banyak orang yang mengomentari tulisanmu maka artinya tulisanmu berhasil. Itu sedikit ilmu yang penulis dapat.

Ayo kita mulai menulis dan jadilah guru penulis. Bukankah kata Pram. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”Banyak orang-orang yang hebat dan memiliki, ide-ide yang brilian, tetapi ketika dia tidak pernah menuangkan ide-ide dan kepandaiannya tersebut ke dalam tulisan maka ia akan hilang ditelan masa. Bukankah Bung Karno, Bung Hatta, Hamka, R.A. Kartini dan tokoh-tokoh besar lainnya dikenang dalam sejarah karena tulisan-tulisannya? 

Rabu, 23 Mei 2018

Panduan My Trip My Adventure dari Ibn Battuta

Oleh: 
Windu Jusuf - 29 Mei 2017



Setelah 117.000 kilometer, 44 negara, tiga benua, dan enam abad, Ibn Battuta jadi legenda
tirto.id - Ia bukan wartawan National Geographic, bukan pula pesohor-pelancong instagram, atau penulis buku-buku semacam “Panduan Hemat Melancong ke Skandinavia”. Ia hanya seorang terpelajar yang penasaran melihat dunia dan mencatatnya dengan mengandalkan ingatan yang baik.

Semasa hidupnya (1304-1368), Ibn Battuta menjadi saksi atas beragam praktik, ritual, dan adat-istiadat masyarakat muslim dari Afrika Utara, Afrika Barat, Timur Tengah, anak benua India, Maladewa, sampai Asia Tenggara. Dalam wacana politik dan kebudayaan Islam pada masanya, sejumlah negeri yang dikunjungi Battuta disebut Dar al-Islam, atau "Tanah Muslim” yang berkembang pesat pada paruh pertama abad 14.

Karya Battuta, Rihla (“Perjalanan”), yang awalnya dituturkan secara lisan dan dicatat selama dua tahun sebelum jadi naskah, merupakan dokumentasi babon dengan sisipan komentar sosial dan bumbu mistis mengenai politik, perang, perbudakan, perdagangan, budaya kuliner, seks dan gender, transportasi, ritual-ritual keagamaan, serta pusparagam hal-ihwal remeh-temeh. Ia menyaksikan jalur perdagangan emas, gading, rempah-rempah, unta, dan budak di Afrika Barat. Ia mencatat budaya kawin-mawin dan tata cara berpakaian penduduk Maladewa yang baru masuk Islam. Ia menjelajahi rute Samudra Hindia yang menjadi kunci perdagangan, pertukaran kebudayaan, dan lalu-lintas penyebaran agama.

Lahir di Tangier yang kini masuk dalam teritori Maroko pada 1304, Battuta sering dibandingkan dengan Marco Polo, yang melanglang buana dari Venesia, Yunani, Asia Tengah, kawasan Indocina, semenanjung Malaya, India, Persia, hingga Turki.

Marco Polo pernah sampai ke Tiongkok. Demikian pula Battuta, yang menulis, di Tiongkok “sutra dikenakan sebagai pakaian bahkan oleh biksu dan pengemis." Ia memuji kemolekan porselen-porselen Tiongkok dan "Ayam betina Tiongkok yang ukurannya lebih besar dari angsa di negara kita." Batutta tiba di Tiongkok pada masa-masa kejayaan Dinasti Yuan, yang kolaps beberapa tahun setelahnya.

Penerbitan catatan perjalanan Marco Polo berkontribusi besar pada pembayangan orang-orang Eropa mengenai masyarakat di luar Eropa. Kitab Keajaiban Dunia (1300) terbit ketika melancong ke pojok-pojok dunia masih dianggap sebagai aktivitas yang berbahaya, penuh bandit, begal, resiko penyakit, serta medan dan iklim yang ganas.

Battuta diuntungkan oleh situasi politik yang stabil di wilayah-wilayah yang dikuasai dinasti Mamluk (Mesir dan Suriah), kerajaan Delhi (India Utara) dan kerajaan Mali (Afrika Barat), serta beberapa kerajaan Mongol. Periode 800 tahun antara keruntuhan Imperium Romawi hingga maraknya eksplorasi samudra para pedagang Eropa pada abad 15, dicatat sebagai masa kejayaan Islam. 

Jika Battuta menuturkan kisahnya kepada sarjana lain, Marco Polo, seorang pedagang Venesia yang dipenjara karena menyerbu kota Genoa, membisikkan pengalaman-pengalaman perjalanannya ke sesama narapidana. Catatan itu kemudian dibukukan dan laris di Eropa. Marco Polo kaya mendadak.

Rihla tak mendapat kemewahan serupa dan baru mendunia, termasuk di dunia Islam, pada abad 19 ketika seorang petualang Jerman menemukan bundel naskah antik yang ternyata ditulis oleh Battuta berabad silam. 

Bayangkan, dari ingatan—kendati belum jelas bagaimana ingatan tersebut dituturkan dan sejauh mana tingkat akurasinya, mengingat sampai saat ini tidak ditemukan buku-buku catatan pribadi yang ditulis Battuta selama perjalanannya.

Pengelana Abadi

Para sarjana Barat berdebat tentang motif perjalanan Battuta. "[Menurut para sarjana] Motivasi utama perjalanan Ibn Battuta perjalanan adalah mengembara, mengejar berkah, memuaskan ambisi belaka, atau gabungan ketiga-tiganya; sementara sarjana lainnya mengedepankan dorongan duniawi seperti perempuan dan makanan; Ibn Battuta bahkan dinilai telah menciptakan ‘atlas gastronomi dunia Timur’”, tulis Roxanne Euben, ilmuwan politik Princeton yang banyak meneliti persinggungan antara pemikiran politik Eropa-Amerika dengan Islam, dalam bukunya, Journeys to the Other Shore: Muslim and Western Travelers in Search of Knowledge (2008).

Battuta memang beberapa kali kawin, menghasilkan keturunan, memelihara budak, dan sempat ditunjuk sebagai hakim di Turki, India, dan Maladewa. Jauh sebelum generasi milenial merayakan trilogi kerja, senang-senang, dan ibadah, Ibn Battuta sudah memulainya enam abad silam—sebagaimana kebanyakan penjelajah. Sebelum menjelajahi sepertiga isi dunia, perjalanan Battuta muda berawal dari Tangier ke Mekah pada Juni 1325—yang dilakukannya dengan menunggang keledai. Ia baru pulang kampung 24 tahun kemudian.

Namun, kedudukan sosial Battuta sebagai ahli hukum dan sarjana—profesi turun-temurun dalam keluarganya—nampaknya memainkan peran penting di sini. Tak semua semua orang punya privilese tersebut untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Dalam dunia Islam pada masa itu, menimba ilmu artinya berburu pustaka dari satu perpustakaan di Iskandariyyah ke perpustakaan lain di Persia. Sepanjang perjalanan, Battuta sempat menghadiri kuliah di sejumlah kota yang dikunjunginya, termasuk melawat ke pondok dan makam-makam sufi. 

Sebelum Battuta, sebetulnya sejumlah sarjana muslim telah menerbitkan riwayat. Kerajaan-kerajaan Islam memfasilitasi perjalanan para ulama, diplomat, dan sarjana seperti Battuta. Yaqut al-Hamawi (1179–1229), misalnya, adalah seorang kutu buku yang melancong ke sekitar pesisir perairan Kaspia, Persia, Iskandariyyah, Balkh, Mosul dan Aleppo, di mana ia wafat pada 1229). Ahmad ibn Fadlan, diplomat Dinasti Abbasiyyah, diutus ke wilayah yang sekarang dinamakan Bulgaria dan sempat mendokumentasikan adat-istiadat orang Viking di Sungai Volga. Nasir Khusraw (1004-1088), filsuf dan penyair Persia kelahiran Khurasan menulis Safarnama yang merekam perjalanannya selama 7 tahun di dunia Islam mulai dari Jazirah arab, Mesir, Lebanon, Turki, Turkmenistan, hingga Afghanistan. Adapun Al-Idrisi, seorang ilmuwan asal Ceuta (kota kecil di selat Gibraltar), telah bepergian ke seantero Afrika Utara, Andalusia, Pengunungan Pirenia, Prancis, Hungaria, Northumbria (Inggris), hingga akhirnya bekerja di kerajaan Sisilia sebagai geografer dan pembuat peta. 

Infografik Perjalanan Ibn battuta


Bergaul dengan Sultan

Baghdad, pusat politik dan kebudayaan Islam pada era Abbasiyah, membuat Battuta sedih sekaligus khidmat. Dunia pengetahuan Islam agak berbeda dari yang ia bayangkan. Sesampainya di Baghdad, ia menyaksikan kota itu kehilangan detak nadinya sebagai tempat transit yang penting bagi dunia Islam, akibat serangan bangsa Mongol pada 1258 yang meluluhlantakkan kampus-kampus terkemuka.

Namun demikian, Universitas Al-Mustansiriya bertahan dari serangan Mongol—juga dari serangan militan Sunni pada 2007. Battuta terkesima dengan kultur Sufi yang tengah mekar di kota-kota Timur Tengah dan Afrika Utara sejak abad 12—dan kecintaan sufi pada puisi dan musik pula yang konon berhasil melembutkan penguasa Mongol yang akhirnya masuk Islam dan jadi orang Persia. Abu Sai’d, sultan Baghdad yang gemar menulis puisi dalam bahasa Arab dan Persia, bermain kecapi, mengarang lagu, dan bijak dalam memerintah, dipuji Battuta sebagai “Ciptaan terindah Allah.” 

Dalam rangkaian narasi petualangan yang mirip serial Tintin, tokoh rekaan komikus Belgia Hergé, bermacam-macam sultan sudah ia temui. Yang paling bijak bestari tentulah Abu Sa’id, sementara yang membuatnya ketar-ketir adalah Muhammad Tughlugh.

Bekerja untuk Muhammad Tughlugh, sultan Delhi, membuat Battuta kadang berkeringat dingin. Bayarannya besar: ketika tiba di Delhi, Battuta segera dihadiahi 2.000 dinar perak dan rumah berperabot. Sultan ini liuar biasa pintar, penyair, suka berdebat dengan para pemikir, namun kejam dan anti-kritik. Dalam Rihla, ia mengisahkan seorang sufi disiksa dan dieksekusi lantaran menolak perintah sultan, yang lantas meminta daftar siapa saja kawan sang sufi. Battuta, yang masuk dalam daftar, segera berdandan bak gembel, pura-pura jadi petapa dan lari ke sebuah gua. 

Tulis Battuta dalam Rihla: "Sultan [Delhi] terlalu enteng menumpahkan darah ... Kesalahan besar dan kecil biasa [dia] hukum tak peduli pelakunya, orang terpelajar lagi saleh, atau turunan bangsawan. Setiap hari ratusan orang yang diseret ke aula, dirantai, diikat, dan dibelenggu, dan mereka ... dieksekusi, ... disiksa atau ... dipukuli. " 

Lima bulan kemudian, ia dipanggil ke istana dan disambut hangat. Tak mau berurusan lebih jauh dengan Tughlugh, ia minta izin untuk naik haji. Sialnya, Battuta justru diberi tugas yang terlalu sulit ia tolak: jadi utusan Delhi di sebuah pengadilan Mongol di Tiongkok.

Perjalanan ke Tiongkok bukannya gampang. Ia baru sampai di sana setelah dirampok bandit, dihajar badai, dan ketinggalan kapal di India Selatan sampai-sampai hanya pakaian yang melekat di tubuhnya. Ia memutuskan ke Maladewa, yang pada zaman itu merupakan eksportir serat kelapa dan kulit kerang ke Eropa. Kebetulan, raja Maladewa sedang butuh hakim. Dikiriminya Battuta gadis budak, mutara dan perhiasan emas supaya sang sarjana tak pulang. Jadilah Battuta hakim di negeri itu, yang kadang, setelah menikahi perempuan ningrat kerabat ratu, tindak-tanduknya makin nyerempet kekuasaan.

Barangkali pendidikannya sebagai ahli hukum—golongan elit di kampung halamannya—membuat Battuta kadang geleng-geleng kepala saat menyaksikan keragaman budaya masyarakat yang tak lazim ia temui di Tangier. Tiongkok, misalnya, membuatnya terpesona namun tak betah, karena menurutnya paganisme meraja di negeri tersebut. 

Ini pula yang membedakannya dengan pendekatan Marco Polo yang lebih santai dan observasional—sang penjelajah Venesia hanya peduli satu hal: dagang. Hakim Battuta, karena terlalu keras menerapkan hukum Islam, mendapat tentangan dari banyak kalangan, termasuk gubernur Maladewa. Lagi-lagi, ia mempertahankan posisinya dengan mengawini perempuan dengan koneksi politik yang kuat.

Soal kawin-mawin ini, Battuta mencatat: "Kawin di kepulauan ini sangat gampang, karena mahar yang murah dan kesenangan yang ditawarkan perempuan … Ketika kapal berlabuh, para kru pun kawin; saat mereka ingin pergi, diceraikanlah istri-istri mereka. Semacam kawin temporer. Para perempuan di sini tak pernah bepergian ke luar pulau.” 

Pada 1349 – 1350, dalam rute perjalanan pulang dari Timur, Battuta sempat mampir ke Granada yang di bawah pemerintahan Yusuf I menghasilkan bangunan-bangunan indah, termasuk al-Hambra. Di kota itu pula, ia berjumpa dengan pemuda bernama Ibn Juzayy, penyair, sejarawan dan ahli hukum, yang terpesona dengan kisah-kisah Battuta. Perjumpaan singkat itu diperpanjang hingga dua tahun hingga akhirnya Ibn Juzayy rampung mencatat perjalanan Battuta. Selebihnya sejarah.

Sumber Tulisan:



MENGEMBANGKAN SEKOLAH SIAGA BENCANA


Oleh:
Enang Cuhendi

Indonesia banyak disebut sebagai negeri bencana. Negeri ini bagaikan laboratorium besar kebencanaan. Semua jenis, tipe, skala, dan rupa dampak dari bencana setidaknya pernah terjadi di Indonesia. Hal ini salah satunya ada kaitan dengan kondisi geografis Indonesia. 
Salah satu daerah yang masuk katagori rawan bencana adalah Kabupaten Garut. Secara geografis, kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sumedang di utara, Kabupaten Tasikmalaya di timur, Samudera Hindia di selatan, serta Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung di barat. Sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan,  kecuali di sebagian pantai selatan berupa dataran rendah yang sempit. Di antara gunung-gunung di Garut adalah: Gunung Papandayan (2.262 m) dan Gunung Guntur (2.249 m), keduanya terletak di perbatasan dengan Kabupaten Bandung, serta Gunung Cikuray (2.821 m) di selatan kota Garut.
Karakteristik topografi Kabupaten Garut: sebelah Utara terdiri dari dataran tinggi dan pegunungan, sedangkan bagian Selatan (Garut Selatan) sebagian besar permukaannya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan di beberapa tempat labil. Ketinggian tempat Kabupaten Garut cukup bervariasi antara wilayah yang paling rendah yang sejajar dengan permukaan laut hingga wilayah tertinggi di puncak gunung. Wilayah yang berada pada ketinggian 500–1.000 m dpl terdapat di kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan dan wilayah yang berada pada ketinggian 1.000–1.500 m dpl terdapat di kecamatan  Cikajang,  Pakenjeng,  Pamulihan,  Cisurupan dan Cisewu. Wilayah yang terletak pada ketinggian 100–500 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong, Cisompet, Cisewu, Cikelet dan Bungbulang serta wilayah yang terletak di daratan rendah pada ketinggian kurang dari 100 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong dan Pameungpeuk.
Wilayah Kabupaten Garut juga memiliki aliran sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) di Garut dibagi menjadi dua  yaitu Daerah Aliran Utara yang bermuara di Laut Jawa dan Daerah Aliran Selatan yang bermuara di Samudera Indonesia. Daerah aliran selatan pada umumnya relatif pendek, sempit dan berlembah-lembah dibandingkan dengan daerah aliran utara. Daerah aliran utara merupakan DAS sungai Cimanuk Bagian Utara, sedangkan daerah aliran selatan merupakan DAS Cikaengan dan Sungai Cilaki. Wilayah Kabupaten Garut terdapat 36 buah sungai dan 112 anak sungai dengan panjang sungai seluruhnya 1.403,35 km; dimana sepanjang 92 km diantaranya merupakan panjang aliran Sungai Cimanuk dengan 60 buah anak sungai.
Atas dasar uraian geografis di atas jelas sekali kalau Garut selain memiliki tanah yang subur, iklim yang sejuk dan kaya dengan sumber daya alam juga merupakan salah satu kabupaten yang rawan dengan bencana alam. Berdasarkan keterangan Bupati Garut, H. Rudy Gunawan, sebanyak 18 kecamatan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, termasuk kategori Siaga I bencana tahun ini ( www.liputan6.com , 9 Oktober 2017).
Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut, wilayah Gatut setiap tahun berada pada zona rawan bencana. Di musim penghujan tahun ini tidak kurang dari gempa, longsor, banjir, pergerakan tanah, dan angin puting beliung mengancam kehidupan masyarakat Garut. Apalagi kalau dikaitkan dengan adanya gunung berapi, seperti Gunung Guntur dan Papandayan yang masih aktif dan siap memuntahkan isinya kapan saja. Peristiwa banjir bandang dari Sungai Cimanuk tahun yang lalu perlu menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan warga Garut.

Sekolah Siaga Bencana
Garut memang rawan bencana, namun ironisnya, di antara kenyataan itu kebanyakan masyarakat tak pernah mengenyam pendidikan tanggap bencana. Ketika bencana melanda, yang ada hanya kepanikan dan kepasrahan. Suatu tindakan fatal dan tak dapat ditolerir sama sekali.
Kondisi di atas perlu mendapat perhatian semua pihak. Selain pemerintah kabupaten Garut, BPBD dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan bencana, institusi lainnya seperti pendidikan perlu juga terlibat aktif.
Keterlibatan institusi pendidikan, seperti sekolah memang tidak dimaksudkan sebagai institusi yang terlibat langsung dalam penanganan bencana, tetapi lebih pada upaya preventif. Salah satunya melalui program model Sekolah Siaga Bencana.
Sekolah Siaga Bencana (SSB) merupakan upaya kesiagaan sekolah dikembangkan untuk menggugah kesadaran seluruh pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan baik individu maupun kolektif di sekolah dan lingkungan sekolah dalam hal kesiagaan bencana.
Model sekolah seperti ini dinilai sangat penting untuk dikembangkan. Hal ini terkait adanya pandangan bahwa tingkat kesiagaan komunitas sekolah lebih rendah dibanding masyarakat serta aparat. Di samping itu sekolah tetap terpercaya sebagai wahana efektif untuk membangun budaya bangsa termasuk membangun kesiagaan bencana warga negara pada usia anak, pendidik dan tenaga kependidikan dan para pemangku kepentingan lainnya termasuk masyarakat luas.
Tujuan khusus dari model SSB ini , di antaranya untuk membangun budaya siaga dan budaya aman di sekolah dengan mengembangkan jejaring bersama para pemangku kepentingan di bidang penanganan bencana. SSB juga dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas institusi sekolah dan individu dalam mewujudkan tempat belajar yang lebih aman bagi siswa, guru, anggota komunitas sekolah serta komunitas di sekeliling sekolah. Di samping itu juga dimaksud untuk menyebarluaskan dan mengembangkan pengetahuan kebencanaan ke masyarakat luas melalui sekolah.
SSB harus mampu mengembangkan akses bagi seluruh komponen sekolah untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan, pemahaman dan keterampilan kesiagaan. Melalui model SSB dari sisi pengetahuan dapat dikembangkan berbagai materi pengetahuan, seperti mengenai jenis bahaya, sumber bahaya, besaran bahaya dan dampak bahaya serta tanda-tanda bahaya yang ada di lingkungan sekolah.  Materi lainnya meliputi pengetahuan sejarah bencana yang pernah terjadi di lingkungan sekolah atau daerahnya. Selain itu pengetahuan mengenai kerentanan dan kapasitas yang dimiliki di sekolah dan lingkungan sekitarnya serta upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana di sekolah juga perlu diberikan.
Materi Pengetahuan tentang bencana ini bisa diberikan dalam bentuk intra kurikuler maupun ekstra kurikuler. Dalam kegiatan intra kurikuler, materi pengetahuan bencana bisa disisipkan dalam materi pelajaran, baik mata pelajaran umum maupun muatan lokal. Mata pelajaran IPA, IPS dan PLH bisa mengadopsi secara lebih mendalam tentang materi pengetahuan bencana ini.  Kegiatan ekstra kurikuler Pramuka, PMR, Pecinta alam dan Paskibra diharapkan dapat menjadi wadah penyampaian materi pengetahuan bencana. Langkah lain yang bisa dilakukan melalui sosialisasi kepada warga sekolah dan pemangku kepentingan sekolah. Optimalisasi keberadaan MGMP untuk pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan siaga bencana juga perlu dilakukan.
Khusus untuk pengembangan keterampilan penanganan bencana bisa dilakukan melalui kegiatan ektra kurikuler. Keterampilan tanggap bencana yang wajib dimiliki oleh seluruh komponen sekolah dapat dilakukan melalui kegiatan simulasi reguler dan pelatihan kesiagaan kepada warga sekolah dan pemangku kepentingan sekolah.
Untuk keterlaksanaan kegiatan di sekolah model  ini dapat dilakukan kerjasama dengan lembaga terkait. Palang Merah Indonesia, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Pendidikan, pemerintah kecamatan dan kelurahan atau desa serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa bekerjasama sebagai tim pembina SSB.

Keberadaan Model Sekolah Siaga Bencana (SSB) mutlak adanya. SSB ini harus melembaga dan mengakar dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya kabupaten Garut. Selain itu SSB ini harus menjadi sebuah kebijakan nasional. Dikarenakan sebagai negara rawan bencana, seluruh rakyat Indonesia berpotensi dilanda bencana, terutama siswa di sekolah-sekolah. Wilayah Garut Selatan merupakan wilayah yang bisa dikembangkan untuk keberadaan SSB. Dengan pengetahuan dan keterampilan tentang penanggulangan bencana diharapkan dapat meminimalisir jumlah korban yang jatuh dan kerugian materil saat bencana terjadi.

GURU SEBAGAI DENYUT NADI BANGSA

Oleh:
Enang Cuhendi

“Pendidikan adalah urat nadi bangsa dan guru adalah denyutnya”

Kalimat di atas penulis dapatkan di lembaran materi ketika mengikuti kegiatan Pelatihan Instruktur Kurikulum 2013 tingkat Provinsi di Hotel Aston Cengkareng Jakarta tahun 2016. Satu kalimat yang sangat menyentuh dan apabila ditelaah lebih jauh terdapat makna yang sangat dalam dari tulisan tersebut.
Sebagaimana kita ketahui, dalam diri setiap manusia urat nadi atau pembuluh nadi adalah bagian yang paling vital untuk kehidupan. Dulu ketika di sekolah guru biologi menerangkan bahwa pembuluh nadi atau arteri adalah pembuluh darah berotot yang membawa darah dari jantung. Fungsi ini bertolak belakang dengan fungsi pembuluh balik yang membawa darah menuju jantung. Sistem sirkulasi ini sangat penting dalam mempertahankan hidup. Fungsi utamanya adalah menghantarkan oksigen dan nutrisi ke semua sel, serta mengangkut zat buangan seperi karbon dioksida. Oleh karena itu jelaslah apabila urat nadi terpotong maka peluang untuk hidup sangat kecil, apalagi apabila denyut nadinya sudah berhenti maka  berakhirlah kehidupan. Sebab sangat tidak mungkin manusia hidup tanpa nadi yang berdenyut normal.
Pendidikan dipandang sebagai urat nadi bangsa karena pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Mulai dari dalam kandungan sampai beranjak dewasa kemudian tua, manusia akan mengalami proses pendidikan yang didapatkan dari orangtua, masyarakat maupun lingkungannya. Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan penting yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat, karena pendidikan merupakan usaha melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus.
Dalam kehidupan internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan pendidikan sebagai salah satu indikator ukuran kemajuan suatu bangsa. Setiap bangsa yang mampu mengembangkan pendidikan dengan baik dipandang dan dikelompokan  sebagai bangsa yang maju (developed countries). Sebaliknya untuk bangsa yang belum bisa mengelola pendidikan dengan baik biasa dipandang sebagai negara berkebang (developing countries). Masyarakat di negara maju umumnya memiliki pendidikan yang tinggi, demikian juga dalam hal penguasaan ilmu dan teknologi berkembang dengan pesat. Sedangkan di negara berkembang tingkat pendidikan di negara berkembang pada umumnya masih rendah dengan penguasaan iptek yang rendah pula.
Undang-undang RI  nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kaitannya dengan proses pembelajaran inilah peran guru muncul. Proses pembelajaran tidak bisa lepas dari keberadaan guru. Tanpa adanya guru proses pembelajaran akan sulit dilakukan, apalagi dalam rangka pelaksanaan pendidikan formal, guru menjadi pihak yang sangat vital. Guru memiliki peran yang paling aktif dalam pelaksanaan pendidikan demi mencapai tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Guru melaksanakan pendidikan melalui kegiatan pembelajaran dengan mengajar peserta didik atau siswa.
Undang-undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberikan pengertian guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Dari paparan UU ini jelas sekali bahwa peran guru bukan hanya sebagai pengajar semata. Bahkan  Sardiman (2011: 144-146) menyebutkan sedikitnya ada 9 peran guru dalam pembelajaran, yaitu sebagai: informator, organisator, motivator, pengarah atau direktor, inisiator, transmiter, fasilitator,  mediator dan evaluator.
Kalau dicermati peran-peran yang disebutkan di atas jelas sekali bahwa guru memiliki peran yang sangat strategis dalam pendidikan. Untuk itu menjadi hal yang wajar kalau dikatakan bahwa guru adalah denyut yang ada dalam urat nadi bangsa. Tanpa denyut nadi hidup manusia menjadi mati, tanpa guru pendidikan menjadi tidak berarti bahkan mungkin bisa melumpuhkan suatu bangsa.
Kondisi pembuluh nadi kita harus selalu  dijaga supaya tetap berada dalam denyut yang normal. Makan makanan yang bergizi,cukup istirahat dan berolah raga adalah sebagian upaya membuat denyut nadi kita sehat. Kondisi guru pun demikian, agar memberi manfaat yang maksimal untuk pendidikan, guru harus senantiasa paham akan peran dan fungsinya. Guru ditantang untuk selalu mampu meningkatkan kompetensinya sepanjang dia menjadi guru. Guru harus tetap menjadi seorang pembelajar. Guru yang berhenti belajar dan juga berhenti meningkatkan kompetensinya berarti sama saja dengan menyongsong kematian untuk karirnya dan membunuh secara sengaja dunia pendidikan dan bangsanya. Apalagi di era globalisasi saat ini yang ditandai dengan persaingan kualitas, menuntut semua pihak di berbagai sektor untuk meningkatkan kompetensinya.
Besar harapan nadi ini akan senantiasa berdenyut normal dan tetap mampu memberi kehidupan. Semoga pendidikan akan terus berkembang ke arah yang lebih baik dengan peran besar guru-gurunya yang aktif meningkatkan kompetensinya.


Sumber Bacaan:

Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, 2006, Bandung: Fermana,
Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005, Guru dan Dosen, 2006, Bandung: Fermana,

Selasa, 22 Mei 2018

ANEKA CERITA RAKYAT DARI GARUT


Oleh:
Enang Cuhendi

Beberapa waktu yang lalu penulis menerima kiriman buku dari Drs.Endang Heri S. M.Si., Kasi Museum Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut. Ada lima buku yang penulis terima, yaitu: Budaya Garut, Serta Pernak Perniknya, Alboem Garoet Tempo Doeloe, Pemetaan Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten Garut, Profil Tokoh-tokoh Garut dan Eyang Sakti Barang Jeung Sagara Mukti. Setelah dibaca ada beberapa hal yang menarik, salah satunya tentang cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Garut. Ternyata Garut sangat kaya dengan cerita rakyat.

Cerita rakyat terkatagori oral tradition atau tradisi lisan. Pada zaman dulu tradisi lisan berkembang pada masyarakat yang belum mengenal tulisan. Mereka merekam dan mewariskan pengalaman masa lalu dari masyarakatnya ke dalam tradisi lisan yang diteruskan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang sudah mengenal tulisan yang merekam dan mewariskan aneka peristiwa pada masa lalu dalam bentuk tulisan. Pada masyarakat yang belum mengenal tulisan tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis, mungkin jikapun ada yang dijadikan bukti hanya bukti benda atau artefak dari benda itu sendiri.

Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis. Pertama, berupa “kisah” tentang kejadian-kejadian di sekitar kehidupan kelompok, baik sebagai personal tradition atau sebagai group account. Kedua adalah “cerita kepahlawanan”, yang berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu (biasanya tokoh-tokoh pimpinan masyarakat).Yang ketiga berupa “petuah-petuah” yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok, yang biasanya dinyatakan berulang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan jadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Sedangkan keempat, yaitu bentuk cerita “dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka.

Beberapa bentuk tradisi lisan yang ada pada masyarakat, yaitu dalam bentuk folklore, mitologi, legenda, upacara dan lagu. Satu yang menjadi fokus perhatian penulis adalah legenda. Legenda merupakan cerita rakyat yang oleh masyarakat yang mempercayainya dianggap sebagi suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Terdapat beberapa jenis legenda, seperti legenda keagamaan, legenda alam ghaib, legenda perseorangan dan legenda setempat atau sasakala.

Di Garut cerita rakyat atau legenda lumayan banyak. Kita bisa mulai dari Kecamatan Karangpawitan. Dari Karangpawitan ada cerita rakyat berupa: Legenda Lingga Ratu, Asal Usul Nama Godog, Legok Parahu, Kraton Lingga Ratu, Asal Usul Nama Timanganten, dan Asal Mula Bata Karangpawitan.
Di Kecamatan Karangtengah terdapat beberapa cerita rakyat. Yang terkenal, seperti: Cerita Embah Dalem Terong Peot dan Sasakala Karang Tengah.

Daerah lain yang memberikan sumbangan berharga berupa cerita rakyat adalah Singajaya dan Banjarwangi. Di Kecamatan Singajaya, di antaranya ada Sasakala Eyang Dago Gunung Lumbung, Sasakala Pancasura  Sasakala Lembur Maung Nyangsang dan Sasakala Cadu Turunan Batuwangi Ngadahar Hulu Hayam. Di Desa Bojong kecamatan Banjarwangi terdapat Legenda Urang Bojong Cadu Ngukut Buuk Panjang.  

Kecamatan Cihurip terkenal memiliki beberapa danau atau situ. Berkaitan dengan keberadaan danau atau situ terdapat beberapa cerita atau sasakala, seperti: Sasakala Situ Cihurip, Sasakala Situ Ciparanje, Sasakala Teu Meunang Melak Lauk Kumpay di Situ Ranca Hideung. Berkaitan dengan daerah perbukitan atau pegunungan yang ada di Cihurip ada juga legendanya, seperti: Sasakala Puncak Goong, Sasakala Gunung Kelong  dan  Sasakala Gunung Lancang.

Daerah-daerah lainnya juga memiliki cerita rakyat, baik legenda maupun sasakala. Kecamatan Cisompet, tepatnya di Kampung Cibitung Desa Sukamukti yang terkenal teugeug dalam gaya berbicara masyarakatnya mempunyai cerita Sasakala Turunan Maribaya Goreng Sora. Kecamatan Kersamanah memiliki banyak lubuk atau leuwi dari aliran Sungai Cimanuk, salah satu leuwi tersebut adalah Leuwi Gombong merupakan salah satu leuwi besar yang terdapat di Kampung Bojong, Desa Nanjung Jaya, Kecamatan Kersamanah. Di sini ada legenda Pacaduan Leuwi Gombong yang berkaitan dengan larangan pegawai negeri untuk datang memancing ke sini. Ada juga Misteri Leuweung Sancang Garut dan Legenda Maung Siliwangi, Legenda Sang Hyang Taraje, Legenda Curug Orok Cikajang dan Legenda Gunung Guntur. Terakhir di Limbangan ada Babad Limbangan.

Cerita rakyat tersebut merupakan warisan budaya lokal yang sangat kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal. Di balik cerita-cerita tersebut tersimpan banyak nilai edukasi yang bisa digali dan diambil manfaatnya untuk kepentingan dunia pendidikan, khususnya pendidikan budi pekerti kepada generasi muda. Memang ada sebagian kelompok masyarakat yang mengharamkan kita mempercayai aneka sasakala, legenda atau cerita rakyat seperti itu, tapi yang paling utama kita bisa memetik pelajaran dari kearifan cerita rakyat tersebut.

Sumber Bacaan:                                      
Darpan dan Budi Suhardiman, 2017, Budaya Garut, Serta Pernak Perniknya, Garut, Disparbud
WA Beny dkk., 2015, Pemetaan Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten Garut,Garut, Disparbud

DILEMA SANG “PONSEL”


Oleh:
Enang Cuhendi

Beberapa waktu yang lalu melalui surat tertanggal 19 Januari 2018 Dinas Pendidikan Kabupaten Garut mengeluarkan edaran larangan siswa membawa ponsel, gadget dan alat komunikasi sejenis di lingkungan sekolah. Surat ditujukan kepada seluruh kepala sekolah baik negeri maupun swasta yang ada di wilayah Kabupaten Garut. Tujuan dikeluarkannya surat edaran sebagaimana tertulis adalah untuk meningkatkan kualitas proses pendidikan di lingkungan sekolah dan meminimalisir munculnya dampak negatif dari penggunaan teknologi komunikasi.

Setelah membaca edaran tersebut, penulis tertarik untuk membuat tanggapan dan menelusuri sejauh mana sebenarnya dampak positif dan negatif dari adanya teknologi komunikasi tersebut. Apakah memang banyak negatipnya atau masih ada sisi positifnya? Tulisan tidak dimaksud untuk menggiring opini ke tahap perdebatan tentang dikeluarkannya surat edaran, tetapi sekedar membantu membuka wawasan untuk memahami latar belakang dikeluarkannya edaran tersebut. Penulis yakin bahwa surat edaran tersebut tentunya dikeluarkan setelah melalui kajian yang mendalam dan bertujuan untuk kebaikan bagi proses pendidikan di Garut.

Ponsel Dalam Kehidupan

Dewasa ini keberadaan telepon selular (celular phone) atau yang di kita lebih dikenal dengan telepon genggam (handphone)  sudah bukan hal yang asing. Hampir seluruh lapisan masyarakat mengenal dan menggunakannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang disebut dengan telepon genggam atau telepon selular adalah telepon dengan antena tanpa kabel yang dapat dibawa kemana-mana. Telepon selular atau ponsel adalah sebuah perangkat telekomunikasi elektronik yang mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan telepon fixed line, hanya bersifat nirkabel.

Perkembangan ponsel berjalan begitu cepat. Pada awalnya ponsel hanya untuk komunikasi lisan dan berkirim pesan singkat melalui fitur SMS (Short Messages Service). Akan tetapi, saat ini seakan kehidupan dilayani dari satu perangkat ponsel. Dengan berkembangnya sistem android, kita tidak hanya bisa nelpon dan sms, tetapi berbagai hal, seperti menonton film, mendengarkan musik, membaca buku, mengaji,  berselancar di internet dan lain-lain. Bahkan orang bisa mengontrol berbagai aktivitasnya dari ponsel yang dia bawa, seperti jual beli, belajar secara daring atau sekedar memeriksa CCTV di rumah.

Dampak Positif Penggunaan ponsel

Keberadaan ponsel semakin berkembang mengingat banyaknya aspek positif yang bisa dirasakan. Yang pertama ponsel mempermudah komunikasi. Di mana pun dan kapan pun orang bisa saling berkomunikasi. Bagi orangtua ponsel sangat membantu, misalnya saja ketika orang tua atau pihak keluarga akan menjemput anak ketika pulang sekolah/selesai melakukan kegiatan di luar rumah. Peran ini memang vital terutama bagi siswa yang relatif jauh rumahnya dari sekolah dan ada kendala transportasi. Untuk itu peranan ponsel  sangat penting sekali untuk memastikan di mana posisi siswa berada dan kapan jemputan diperlukan.

Ponsel juga sangat membantu menambah pengetahuan tentang perkembangan IPTEK. Karena bagaimanapun teknologi ini hari ini sudah merambah hingga kepelosok-pelosok desa. Dengan atau tanpa bimbingan guru seorang siswa bisa melakukan browsing tentang berbagai ilmu. Dalam kaitannya dengan proses pembelajaran, hal ini membantu siswa dalam memperluas wawasan keilmuan di samping yang diberikan guru di kelas.

Ponsel atau gadget yang lain bisa menjadi pengganti buku konvensional. Ponsel yang dilengkapi fitur seperti document Viewer dapat membantu pelajar dalam mempelajari materi dalam bentuk buku elektronik (ebook) atau pdf secara portable dengan mudah. Lewat layanan (e-book) seorang siswa bisa menyimpan ratusan buku di ponsel -nya. File-file e-book bisa dibawa dan dibuka kapan saja siswa membutuhkan tanpa harus berat memanggul di tas sekolah. Bahkan khusus untuk sekolah yang kekurangan buku paket, e-book sangat efektif sebagai pengganti. Bukankah pemerintah pun saat ini sedang ramai-ramai mengumandangkan program paperless yaitu pengurangan semaksimal mungkin penggunaan kertas konvensional untuk buku.

Ponsel mampu memperluas jaringan persahabatan. Melalui aplikasi media sosial (social media) yang tersedia di ponsel setiap orang bisa menjalin pertemanan dan persahabatan seluas mungkin dengan siapapun. Aplikasi Facebook, Tweter, WhatApp dan Istagram adalah aplikasi pertemanan yang banyak digunakan. Melalui aplikasi-aplikasi tersebut jaringan persahabatan bisa terjalin.

Manfaat lain dari ponsel bisa membantu pelajar untuk berlatih berbagai keterampilan. Melalui berbagai aplikasi yang  tersedia siswa bisa memanfaatkan ponsel untuk praktek English conversation dengan format Mp3 atau Mp4, belajar tentang fara’idz, tajwid,  kamus dan lain-lain. Penggunaan ponsel juga dimanfaatkan untuk menghilangkan kepenatan pelajar setelah belajar dengan mendengarkan music dengan fitur Mp3 player atau radio FM.

Dampak Negatif

Di samping positif tentu saja pemanfaatan ponsel  tidak sedikit negatifnya. Menurut psikolog ponsel dapat mengganggu perkembangan anak. Dengan canggihnya fitur-fitur yang tersedia di ponsel,  seperti : kamera dan  permainan  (games) akan mengganggu siswa dalam menerima pelajaran di sekolah. Tidak jarang mereka lebih disibukkan dengan menerima panggilan, sms, misscall dari teman mereka bahkan dari keluarga mereka sendiri. Sehingga konsentrasi terhadap pelajaran menjadi berkurang. Terlebih lagi apabila sekolah memiliki pengawasan yang kurang ketat sehingga waktu belajar pun banyak digunakan untuk bermain ponsel dan peserta didik yang kita hadapi behkan menjadi peserta didik yang taat dan patuh pada permainan teknologi ponsel. Dengan kata lain, kondisi ini akan mendorong lahirnya “budak  ponsel”.

Ada banyak ketika kasus ponsel digunakan untuk mencontek (curang) dalam ulangan/ujian. Hal ini sangat meresahkan karena berkaitan dengan nilai kejujuran. Sungguh sangat tidak tepat kalau teknologi dipakai untuk “kejahatan”.

Jika tidak ada kontrol dari guru dan orang tua ponsel bisa digunakan peserta didik untuk tujuan yang menyimpang.  Mereka memasukan file video porno kedalam ponsel dan menggunakan kata-kata yang tidak senonoh. Mereka dapat dengan mudah berbagi, mengirim atau menerima konten, baik tulisan maupun gambar, yang tidak senonoh dan tidak selayaknya dikonsumsi seorang pelajar. Ini adalah akibat yang paling berbahaya dalam penggunaan ponsel oleh para pelajar karena dekadensi moral di kalangan pelajar bisa semakin marak. Selain itu kalau hal tersebut dibiarkan, maka peserta didik akan dewasa sebelum waktunya.

Penggunaan ponsel juga menyebabkan pengeluaran menjadi bertambah atau lebih boros. Dengan anggaran orang tua yang serba minim para siswa memaksa orang tuanya untuk dapat dibelikan ponsel. Setelah ponsel ada para pelajar rutin meminta uang kepada orangtua untuk membeli pulsa setiap bulan,  bahkan mungkin setiap hari. Apalagi dengan canggihnya aneka ponsel zaman sekarang yang bisa dengan mudahnya berselancar di dunia maya yang akhirnya dapat menyedot kuota atau pulsa. Ponsel yang dipakai pun semakin canggih dan semakin sering diisi baterainya sehingga akan lebih boros listrik.

Keberadaan ponsel juga dapat mengalahkan buku. Banyak pelajar sekarang yang tidak mempunyai buku dengan alasan tidak punya uang. Anehnya dibalik itu kalau urusan membeli pulsa  tidak ada kata “ tidak punya uang “.

Di sisi lain ponsel sangat berpotensi mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Siswa ada kecendrungan menjadi senang pamer, mulai dari memamerkan hal yang positif sampai  negatif. Yang paling parah siswa merasa bahagia ketika berhasil memamerkan atau mengunggah aspek prilaku mereka yang negatif, seperti kasus bullying yang mereka lakukan kepada temannya yang lemah atau tindakan asusila seperti aksi seksualitas yang dilakukan, baik sendiri maupun dengan lawan jenis. Unggahan mengenai hal negatif tersebut parahnya seperti membuat mereka merasa gembira atau bahagia ketika banyak yang menyukainya di media sosial.
Ponsel berpotensi menimbulkan kerawanan terhadap tindak kejahatan. Ponsel merupakan perangkat yang mudah dijual dengan harga yang lumayan. Oleh karena itu, jangan heran kalau memancing munculnya tindak kejahatan, seperti pencurian. Pencurian ini dilakukan oleh sesama siswa baik dilakukan di dalam maupun di luar kelas.

Terakhir, sifat hedonisme pada anak/siswa dapat juga terbentuk karena ponsel. Ketika keluar gadget terbaru yang lebih canggih, mereka pun merengek-rengek meminta kepada orang tua, padahal mereka sebenarnya belum memahami benar manfaat setiap fitur-fitur baru secara menyeluruh. Pemanfaatan ponsel menjadi nomor sekian yang penting gengsi atau prestise naik 
.
Dari uraian sederhana di atas mudah-mudahan kita bisa memahami alasan Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan larangan membawa ponsel. Dampak positif memang banyak, tapi negatifnya juga tidak sedikit. Di sinilah letak dilematisnya mengenai dilarang atau diperbolehkannya siswa membawa ponsel ke sekolah. Bisa dipastikan tidak semua setuju memang dengan edaran dinas ini, tapi tentunya kita pun bisa memahami alasan mengapa pihak dinas pendidikan mengeluarkan edaran. Para pengambil kebijakan di dinas yakin paham positifnya keberadaan ponsel, tetapi dalam hal ini aspek preventif untuk mencegah berkembangnya dampak negatif lebih dikedepankan. Lebih baik mencegah daripada mengobati, itulah barangkali ungkapan yang pas. Wallahualam.