Jumat, 20 Desember 2013

BERBURU ILMU KE NEGERI KANGURU

Alhamdulillah, itulah kata pertama yang meluncur ketika pesawat Qantas Airways nomor penerbangan QF 41 Sydney-Jakarta yang membawa kami dari Australia mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jumat 18 Oktober 2013. Tidak terasa tiga minggu sudah kami rombongan grup 3 guru-guru Jawa Barat berguru di negeri kanguru. Saya bersama Kusnadi, S.Pd. M.Si (SMPN 4 Tarogong Kidul) dan Hj. Tiktik Nurparida, M.Pd (SMPN 2 Cisompet) tergabung dalam Grup 3 peserta Training Management for Teacher yang mendapat kesempatan belajar di Adelaide City, ibukota South Australia dari tanggal 27 September – 18 Oktober 2013. Khusus untuk Garut, kami merupakan kloter pertama dari dua belas orang guru Garut yang berhasil lolos seleksi untuk mengikuti kegiatan ini.

Proses keberangkatan ke Australia diawali dengan dipercayanya kami oleh pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Garut untuk mengikuti seleksi yang diadakan oleh Disdik Provinsi Jawa Barat.  Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa turut serta dalam seleksi ini, diantaranya guru tersebut harus berstatus PNS dengan masa kerja minimal 5 tahun dan berusia kurang dari 50 tahun, pernah menjadi guru berprestasi untuk tingkat kabupaten/kota atau pengurus aktif MGMP/KKG kabupaten/kota, dan  wajib membuat essai dalam dua bahasa tentang motivasi mengikuti kegiatan. Proses seleksi sendiri ditangani oleh UPI Bandung bertempat di Gd. JICA UPI pada tanggal 3 dan 4 Juni 2013. Materi tes meliputi test English yang meliputi 50 soal listening, 50 soal grammar dan 50 soal reading comprehention. Setelah itu dilanjutkan dengan psikotest sebanyak tiga kali tes, dalam hal ini kami harus mengerjakan kurang lebih 350 soal psikotest. Kegiatan seleksi diakhiri dengan tes  interview  dengan menggunakan bahasa Inggris.
Dari sekitar 400-an peserta seleksi yang hadir mewakili 26 kab/kota yang dinyatakan lulus seleksi sebanyak 270 orang. Peserta yang lulus seleksi kemusian di bagi dalam 6 grup keberangkatan. Dari Garut yang dinyatakan lulus sebanyak 12 orang terdiri dari 10 guru SMP dan 2 orang guru SD yang tergabung di grup 3, 4, 5 dan 6.

Sebelum berangkat ke Australia semua peserta yang telah dinyatakan lulus seleksi wajib mengikuti kegiatan pre departure pada 3-5 Juli 2013. Dalam kegiatan ini peserta mendapat pembekalan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Australia, mulai dari kultur, pendidikan, proses bea cukai bandara dan gambaran kehidupan dengan Host Family. Pemahaman tentang HF sangat penting mengingat dalam kegiatan ini kami memang tidak tinggal bersama tetapi tersebar di rumah-rumah penduduk, masing-masing rumah ditempati 2 orang.

Tanggal 27 September 2013 kami mulai terbang ke Australia. Sebelum ke Adelaide kami transit di Sydney dan alhamdulillah bisa menikmati indah dan bersihnya kota ini walau hanya beberapa jam saja. Sekitar pukul 15.30 perjalanan kami lanjutkan menuju Adelaide, sebuah kota yang dikenal sebagai kota pendidikan. Tiba di Adelaide sekitar pukul 18.30 dan kami langsung dijemput oleh HF masing-masing. Tempat tinggal kami tidak ada yang berdekatan, mulai dari wilayah valley sampai beach, tapi saya bersama rekan Muhamad. Sadikin dari  Bogor sedikit beruntung karena menjadi-jadi satunya pasangan peserta yang tinggal di kota, yaitu di Albert St, Clerence Garden, hanya berjarak sekitar 40 menit ke tempat pelatihan, sementara Pak Kusnadi dan Bu Tiktik harus menempuh jarak lebih dari 2 jam.


Selama di Australia kami mendapat ilmu, pengetahuan dan pengalaman baru. Setiap Senin sampai Kamis dari pukul 09.00 sampai 15.00 kami berkutat dengan teori yang diberikan para instruktur yang seluruhnya orang bule. Tempat pelatihan di Gedung Education Development Centre, South Australia (semacam LPMP di kita) dan di International Education Service milik Department Education and Children Development Australia. Materi yang kami terima mulai dari Cultural exchange, Australian Education system, learning style, trans disciplinary learning, school bullying, tecnology in the classroom, colaborative learning dan teacher professional development. Di samping teori kami juga diperkenalkan dengan lingkungan, budaya dan lembaga pendidikan di Australia dalam konsep kegiatan cross cultural experience dan educational visit.

Berbagai agenda kegiatan yang kami ikuti memang cukup menguras konsentrasi, energi dan stamina. Apalagi kami dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai kendala bahasa sampai kondisi suhu dan cuaca yang tidak menentu. Umumnya suhu berkisar antara 6 – 15 ◦C dengan angin yang cukup kencang terkadang diiringi hujan deras. Walaupun begitu semua kegiatan berhasil diikuti dengan baik.

Banyak pelajaran dan hikmah yang kami ambil selama tinggal di Australia. Kesan yang paling mendalam adalah mengenai kebersihan , ketertiban dan kepatuhan warga terhadap aturan yang ada. Semua tempat terkesan indah, bersih dan teratur. Budaya antri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap aturan dan hukum begitu tinggi padahal selama di sini saya hampir tidak pernah bertemu polisi, hal yang sama juga terlihat di stadion sepak bola ketika saya mendapat kesempatan dari HF untuk menonton A-League atau Liga Australia. Budaya “thank you” begitu kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat. Sekecil apapun jasa yang orang berikan selalu dibalas dengan ucapan terima kasih. Sebagai contoh, setia kali penumpang naik dan turun dari kendaraan umum, ucapan salam dan thank you selalu terucap.

Hal lain yang menarik perhatian, adalah bagaimana perhatian dan sikap pemerintah dan masyarakat terhadap kaum disabilitas. Mereka dilindungi dengan kebijakan pemerintah yang jelas.  Fasilitas dan pelayanan khusus untuk kaum disabilitas bisa didapat hampir di semua tempat dan kendaraan umum. Dukungan dari warga yang normal juga begitu kuat. Hanya di sini saya bisa melihat seorang sopir bis dan masinis turun dari tempatnya hanya untuk membantu penumpang yang cacat naik ke bis dan kereta atau tram.

Dalam bidang pendidikan, khususnya pembelajaran di kelas, satu hal yang patut kita contoh adalah upaya memperlakukan peserta didik sebagai Very Important Person. Dalam kondisi apapun, guru harus melayani peserta didik sebaik mungkin. Pelayanan guru terhadap peserta didik seperti pelayanan perusahaan terhadap customer-nya. Guru tidak boleh marah di kelas, ketika ada peserta didik yang bermasalah guru cukup memanggilnya ke luar dan menegurnya secara terpisah dari teman-temannya. Bahkan ketika di salah satu kelas saya menemukan siswa yang mabuk mariyuana, gurunya tetap membimbing dia untuk terus belajar sampai tuntas. Kata guru tersebut, kita tidak boleh mengusir anak tersebut, hargai kemauan dia untuk datang ke sekolah walaupun dalam kondisi mabuk selama mabuknya tidak mengganggu keselamatan diri dan orang lain. Saya tidak tahu apakah komen pembaca terhadap pernyataan ini. Hanya intinya, di sana saya mendapat pengalaman berharga untuk melayani peserta didik semaksimal mungkin dan menghargai sekecil apapun potensi mereka.

Mengakhiri tulisan ini, saya mencoba merajut mimpi, bahwa suatu saat nanti kita akan punya masyarakat yang lebih baik, lebih baik dari masyarakat di sana. Dasar teorinya sudah ada dalam diri kita, baik dari tuntunan agama, budaya maupun falsapah kita. Selain itu, potensi untuk itu pun sudah kita, dimana kita punya kondisi pembelajaran di kelas yang relatif lebih kondusif dan anak-anak yang relatif lebih sopan, tertib dan hormat pada guru, sangat jauh dibanding dengan anak-anak di sana. Tantangan terbesar, tinggal bagaimana saya dan rekan-rekan guru mampu memanfaatkan potensi yang ada secara maksimal dan mampu menjadi inspirasi yang positif bagi mereka lewat pembelajaran yang menginspirasi. Semoga!