Kamis, 22 Desember 2011

Ujian Nasional Tahun 2012

Walaupun sikap pro dan kontra tetap mengemuka ketika berbicara tentang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di tingkat persekolahan, tetapi pemerintah tetap konsisten akan melaksanakan UN untuk tahun pelajaran 2011-2012 ini.
Bagi Anda yang membutuhkan segala sesuatu tentang UN 2012 silahkan unduh pada bagian parsial di bawah ini. Semoga bermanfaat dalam menyongsong UN tahun depan.






Penilaian Berbasis Kompetensi

Penilaian berbasis kompetensi merupakan teknik evaluasi yang harus dilakukan guru dalam pembelajaran di sekolah. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di dalam Standar Isi menjadi fokus perhatian utama dalam penilaian.
Untuk mengetahui tingkat pencapaian kompetensi, guru dapat melakukan penilaian melalui tes dan non tes. Tes meliputi tes lisan, tertulis (bentuk uraian, pilihan ganda, jawaban singkat, isian, menjodohkan, benar-salah), dan tes perbuatan yang meliputi: kinerja (performance), penugasan (projek) dan hasil karya (produk). Penilaian non-tes contohnya seperti penilaian sikap, minat, motivasi, penilaian diri, portfolio, life skill. Tes perbuatan dan penilaian non tes dilakukan melalui pengamatan (observasi).
Langkah-langkah pengembangan tes meliputi:

Minggu, 18 Desember 2011

Program Induksi Bagi Guru Pemula

Dalam upaya meningkatkan mutu guru, khususnya bagi guru pemula, pemerintah mengeluarkan sebuah program yang disebut Program Induksi bagi Guru Pemula.  Program Induksi bagi Guru Pemula yang selanjutnya disebut program induksi ini adalah kegiatan orientasi, pelatihan di tempat kerja, pengembangan, dan praktik pemecahan  berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran bagi guru pemula pada sekolah/madrasah di tempat tugasnya.

Tujuan yang ingin dicapai dari program induksi ini adalah membimbing guru pemula agar dapat beradaptasi dengan iklim kerja dan budaya sekolah/madrasah  dan melaksanakan pekerjaannya sebagai guru profesional di sekolah/madrasah tempat ia ditugaskan.

Rabu, 07 Desember 2011

Struktur Logis Penulisan Sejarah

Penulisan sejarah atau dikenal dengan istilah historiografi merupakan tahap akhir dari metode sejarah. Tahap ini dilakukan setelah tahap heuristik atau pengumpulan sumber, analisis sumber dan penafsiran dilakukan. Prof.Dr. Sartono Kartodidjo dalam bukunya Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (1993: 60-62) menyebutkan bahwa dalam penyusunan sebuah cerita sejarah ada beberapa prinsip  yang harus diperhatikan, yaitu antara lain:
  1. kejadian-kejadian diceritakan dalam urutan kronologis dari awal sampai akhir. Beberapa peristiwa juga perlu diatur menurut urutan kronologis;
  2. dari sekelompok fakta (peristiwa) perlu ada penentuan fakta kausal (penyebab) – fakta peristiwa – fakta penyebab;
  3. bila uraian berupa deskriptif-naratif, maka perlu ada proses serialisasi, ialah mengurutkan peristiwa-peristiwa berdasarkan prinsip-prinsip di atas;
  4. dua peristiwa atau lebih yang terjadi secara bersamaan perlu dituturkan secara terpisah;
  5. apabila satu peristiwa sangat kompleks, terjadi atas banyak kejadian kecil, maka perlu dikoreksi mana yang perlu disoroti karena dipandang penting;
  6.  unit waktu dan unit ruang dapat dibagi atas sub unit tanpa menghilangkan kaitannya atau dalam kerangka umum suasana terjadinya;
  7. untuk memberi struktur pada waktu maka perlu dilakukan periodisasi waktu berdasarkan kriteria tertentu, seperti ciri-ciri khas yang ada pada periode tertentu;
  8. suatu peristiwa dengan lingkup waktu dan ruang yang cukup besar sering memerlukan pembabakan atau episode-episode, seperti gerakan sosial tentu mengalami masa awal penuh keresahan sosial, munculnya pemimpin dan ideologi, masa akselerasi politik, konfrontasi dan masa reda;
  9. perkembangan ekonomi sering memperlihatkan garis pasung-surut, semacam gelombang yang lajim disebut konjunktur. Di samping itu, perubahan sosial makan waktu lebih lama sebelum tampak jelas perubahan strukturalnya. Perubahan yang radikal, total dan mendesak lebih tepat disebut revolusi. Yang jelas ialah bahwa perkembangan historis mempunyai iramanya sendiri, secara esensial berbeda dengan perkembangan evolusioner menurut teori evolusi;
  10. dalam perkembangan metodologi sejarah mutakhir ternyata pengkajian sejarah tidak lagi semata-mata membuat deskripsi-naratif tetapi lebih banyak menyusun deskripsi-analisis.

Dalam melaksanakan proses penulisan, satu hal yang juga penting untuk diperhatikan adalah pemakaian pendekatan.  Pada umumnya pendekatan yang dipakai harus bersifat multidimensional sehingga pembahasannya lebih bulat dan utuh. Pendekatan multidimensional ini juga penting untuk menghindarkan dari determinisme tertentu yang hanya memandang bahwa satu peristiwa atau permasalahan seolah-olah hanya disebabkan oleh satu faktor tertentu saja. 

Senin, 05 Desember 2011

Kualifikasi Akademik dan Standar Kompetensi Guru

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 4 berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sebagai tenaga profesional guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Dalam rangka mengatur tentang kualifikasi dan kompetensi profesional guru tersebut, pemerintah telah  menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru; Dalam Permendiknas ini diatur mengenai standar kualifikasi  akademik yang wajib dipenuhi oleh seorang guru berikut kompetensi yang harus dikuasainya. Kualifikasi akademik dan kompetensi guru ini berlaku secara nasional.
A.    Kualifikasi Akademik
Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.
Menurut Permendiknas Nomor 16 tahun 2007  setiap guru dari mulai jenjang PAUD, sampai SLTA wajib memenuhi kualifikasi akademik minimum, sebagai berikut:
1.     Guru pada PAUD/TK/RA harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan anak usia dini atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
2.  Guru pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
3. Guru pada SMP/MTs, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
4.  Guru pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
5.  Guru pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.
6. Guru pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat untuk guru kelompok mata pelajaran normatif dan adaptif, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.


B.    Kompetensi Guru
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Menurut UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 1 Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.
Standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang dikembangkan menjadi kompetensi guru PAUD/TK/RA, guru kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Dalam tulisan ini akan dijabarkan lenih lanjut kompetensi guru mata pelajaran pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK, yang meliputi:
                 I.       Kompetensi Pedagogik
a.  Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
1.    Memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial-budaya
2.     Mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu.
3.     Mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu.
4.     Mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu.

b.    Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
1.  Memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik terkait dengan mata pelajaran yang diampu.
2. Menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif dalam mata pelajaran yang diampu.

c.     Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu.
1.    Memahami prinsip-prinsip pengembangan kurikulum.
2.    Menentukan tujuan pembelajaran yang diampu.
3. Menentukan pengalaman belajar yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diampu.
4.  Memilih materi pembelajaran yang diampu yang terkait dengan pengalaman belajar dan tujuan pembelajaran.
5.  Menata materi pembelajaran secara benar sesuai dengan pendekatan yang dipilih dan karakteristik peserta didik.
6.     Mengembangkan indikator dan instrumen penilaian.

d.    Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
1.     Memahami prinsip-prinsip perancangan pembelajaran yang mendidik.
2.     Mengembangkan komponen-komponen rancangan pembelajaran.
3.  Menyusun rancangan pembelajaran yang lengkap, baik untuk kegiatan di dalam kelas, laboratorium, maupun lapangan.
4. Melaksanakan pembelajaran yang mendidik di kelas, di laboratorium, dan di lapangan dengan memperhatikan standar keamanan yang dipersyaratkan.
5. Menggunakan media pembelajaran dan sumber belajar yang relevan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran yang diampu untuk mencapai tujuan pembelajaran secara utuh.
6.  Mengambil keputusan transaksional dalam pembelajaran yang diampu sesuai dengan situasi yang berkembang

e. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran.
1.  Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran yang diampu.

f.     Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
1.   Menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mendorong peserta didik mencapai prestasi secara optimal.
2.   Menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik, termasuk kreativitasnya.

g.    Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
1.  Memahami berbagai strategi berkomunikasi yang efektif, empatik, dan santun, secara lisan, tulisan, dan/atau bentuk lain.
2.  Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik dengan bahasa yang khas dalam interaksi kegiatan/permainan yang mendidik yang terbangun secara siklikal dari (a) penyiapan kondisi psikologis peserta didik untuk ambil bagian dalam permainan melalui bujukan dan contoh, (b) ajakan kepada peserta didik untuk ambil bagian, (c) respons peserta didik terhadap ajakan guru, dan (d) reaksi guru terhadap respons peserta didik, dan seterusnya.

h.     Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
1.   Memahami prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu.
2.     Menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan dievaluasi sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu.
3.     Menentukan prosedur penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
4.     Mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
5. Mengadministrasikan penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan mengunakan berbagai instrumen.
6.     Menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk berbagai tujuan.
7.     Melakukan evaluasi proses dan hasil belajar.

i.      Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
1. Menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk menentukan ketuntasan belajar
2. Menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk merancang program remedial dan pengayaan.
3. Mengkomunikasikan hasil penilaian dan evaluasi kepada pemangku kepentingan.
4. Memanfaatkan informasi hasil penilaian dan evaluasi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

j.      Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
1.   Melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.
2. Memanfaatkan hasil refleksi untuk perbaikan dan pengembangan pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampu.
3. Melakukan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampu.

               II.       Kompetensi Kepribadian
a.  Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
1.     Menghargai peserta didik tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat-istiadat, daerah asal, dan gender.
2.     Bersikap sesuai dengan norma agama yang dianut, hukum dan sosial yang berlaku dalam masyarakat, dan kebudayaan nasional Indonesia yang beragam.

b.    Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
1.     Berperilaku jujur, tegas, dan manusiawi.
2.     Berperilaku yang mencerminkan ketakwaan dan akhlak mulia.
3.  Berperilaku yang dapat diteladan oleh peserta didik dan anggota masyarakat di sekitarnya.

c.  Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
1.     Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap dan stabil.
2.     Menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa.
d.    Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.
1.     Menunjukkan etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi.
2.     Bangga menjadi guru dan percaya pada diri sendiri.
3.     Bekerja mandiri secara profesional.

e.     Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
1.     Memahami kode etik profesi guru.
2.     Menerapkan kode etik profesi guru.
3.     Berperilaku sesuai dengan kode etik profesi guru.

              III.       Kompetensi Sosial
a.  Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
1.  Bersikap inklusif dan objektif terhadap peserta didik, teman sejawat dan lingkungan sekitar dalam melaksanakan pembelajaran.
2.   Tidak bersikap diskriminatif terhadap peserta didik, teman sejawat, orang tua peserta didik dan lingkungan sekolah karena perbedaan agama, suku, jenis kelamin, latar belakang keluarga, dan status sosial-ekonomi.

b.    Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
1.   Berkomunikasi dengan teman sejawat dan komunitas ilmiah lainnya secara santun, empatik dan efektif.
2. Berkomunikasi dengan orang tua peserta didik dan masyarakat secara santun, empatik, dan efektif tentang program pembelajaran dan kemajuan peserta didik.
3.   Mengikutsertakan orang tua peserta didik dan masyarakat dalam program pembelajaran dan dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik.

c.     Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
1.   Beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja dalam rangka meningkatkan efektivitas sebagai pendidik.
2. Melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang bersangkutan.
d.    Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
1.     Berkomunikasi dengan teman sejawat, profesi ilmiah, dan komunitas ilmiah lainnya melalui berbagai media dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.
2.  Mengkomunikasikan hasil-hasil inovasi pembelajaran kepada komunitas profesi sendiri secara lisan dan tulisan maupun bentuk lain.

              IV.       Kompetensi Profesional
a.     Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
Penjabaran untuk kompetensi ini diuraikan berbeda antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain. Sebagai contoh kompetensi untuk mata pelajaran IPS di SMP/MTs. adalah:
1.     Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir mata pelajaran IPS baik dalam lingkup lokal, nasional, maupun global.
2.     Membedakan struktur keilmuan IPS dengan Ilmu-ilmu Sosial.
3.     Menguasai konsep dan pola pikir keilmuan dalam bidang IPS.
4.     Menunjukkan manfaat mata pelajaran IPS.

b.    Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu.
1.     Memahami standar kompetensi mata pelajaran yang diampu.
2.     Memahami kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu.
3.     Memahami tujuan pembelajaran yang diampu.
c.     Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
1. Memilih materi pembelajaran yang diampu sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik
2.   Mengolah materi pelajaran yang diampu secara kreatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.

d. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
1.  Melakukan refleksi terhadap kinerja sendiri secara terus menerus.
2. Memanfaatkan hasil refleksi dalam rangka peningkatan keprofesionalan.
3. Melakukan penelitian tindakan kelas untuk peningkatan keprofesionalan. Mengikuti kemajuan zaman dengan belajar dari berbagai sumber.

e.     Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri.
1.     Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam berkomunikasi.
2.     Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pengembangan diri.

Demikian kualifikasi akademik dan kompetensi yang wajib dipenuhi oleh seorang guru dalam kapasitasnya sebagai tenaga profesional. Hal tersebut, terutama kompetensi guru, tentu saja bukan merupakan hal yang mudah untuk dilaksanakan, tetapi bukan pula sesuatu yang sulit. Kata kuncinya terletak pada kemauan dan kerja keras kita untuk berusaha memenuhi tuntutan tersebut. Penjabaran lebih lanjut mengenai kompetensi guru bisa dilihat pada lampiran Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Semoga bermanfaat.

Selasa, 29 November 2011

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Di samping Penilaian Kinerja Guru Berdasarkan Permennegpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 diatur pula tentang Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Adapun yang dimaksud dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitasnya.
PKB merupakan salah satu komponen pada unsur utama yang kegiatannya diberikan angka kredit. Unsur utama yang lainnya adalah pendidikan dan pembelajaran/bimbingan.
Unsur kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) terdiri dari tiga macam kegiatan, yaitu:
A.        Pengembangan Diri
Kegiatan pengembangan diri pada kegiatan PKB adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk meningkatkan kompetensi dan keprofesiannya. Kegiatan tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional dan/atau melalui kegiatan kolektif guru. Penjelasan kedua macam kegiatan dimaksud sebagai berikut:

1.         Mengikuti Diklat Fungsional
Diklat fungsional bagi guru adalah kegiatan guru dalam mengikuti pendidikan atau latihan yang bertujuan untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu. Macam kegiatan dapat berupa kursus, pelatihan, penataran, maupun berbagai bentuk diklat yang lain. Guru dapat mengikuti kegiatan diklat fungsional, atas dasar penugasan baik oleh kepala sekolah/madrasah atau institusi yang lain, maupun atas kehendak sendiri dari guru yang bersangkutan.

2. Mengikuti Kegiatan Kolektif Guru
Kegiatan kolektif guru adalah kegiatan guru dalam mengikuti kegiatan pertemuan ilmiah atau mengikuti kegiatan bersama yang dilakukan guru yang bertujuan untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan. Macam kegiatan tersebut dapat berupa:
a)   Mengikuti lokakarya atau kegiatan kelompok/ musyawarah kerja guru atau inhouse training untuk penyusunan perangkat kurikulum dan/atau kegiatan pembelajaran termasuk pembelajaran berbasis TIK, penilaian, pengembangan media pembelajaran, dan/atau kegiatan lainnya untuk kegiatan pengembangan keprofesian guru.
b)      Mengikuti, baik sebagai pembahas maupun sebagai peserta, pada seminar, koloqium, diskusi panel, atau bentuk pertemuan ilmiah lainnya.
c)  Mengikuti kegiatan kolektif lain yang sesuai dengan tugas dan kewajiban guru terkait dengan pengembangan keprofesiannya.
Guru dapat mengikuti kegiatan kolektif guru atas dasar penugasan baik oleh kepala sekolah/madrasah atau institusi yang lain, maupun atas kehendak sendiri guru bersangkutan.

B.         Publikasi Ilmiah pada Kegiatan PKB
Publikasi ilmiah terdiri dari tiga kelompok kegiatan, yakni:
1.     presentasi pada forum ilmiah;
2.     publikasi hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal; dan
3.     publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan dan/atau pedoman guru.

Uraian dari masing-masing kegiatan di atas adalah sebagai berikut.
1.     Presentasi pada Forum Ilmiah
Guru seringkali diundang untuk mengikuti pertemuan ilmiah. Tidak jarang, mereka juga diminta untuk memberikan presentasi, baik sebagai pemrasaran atau pembahas pada pertemuan ilmiah tersebut. Untuk keperluan itu, guru harus membuat prasaran ilmiah.
Prasaran ilmiah adalah sebuah tulisan ilmiah berbentuk makalah yang berisi ringkasan laporan hasil penelitian, gagasan, ulasan, atau tinjauan ilmiah. Untuk memperoleh angka kredit dalam kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan, maka isi makalah haruslah mengenai permasalahan pada bidang pendidikan formal pada satuan pendidikannya sesuai tugas guru yang bersangkutan.

2.    Publikasi Ilmiah Berupa Hasil Penelitian atau Gagasan Ilmu Bidang Pendidikan Formal
Karya tulis ilmiah guru dapat dipublikasikan dalam bentuk laporan hasil penelitian (misalnya laporan Penelitian Tindakan Kelas) atau berupa tinjauan/gagasan ilmiah yang ditulis berdasar pada pengalaman dan sesuai dengan tugas pokok serta fungsi guru.
Publikasi karya tulis ilmiah guru di atas, terdiri dari empat kelompok, yakni:
a)       Laporan hasil penelitian.
b)      Tinjauan ilmiah.
c)       Tulisan ilmiah popular.
d)      Artikel ilmiah.

3.         Publikasi Buku Teks Pelajaran, Buku Pengayaan, dan/atau Pedoman Guru
Publikasi ilmiah pada kelompok ini terdiri dari penyusunan atau penulisan:
a)       Buku Pelajaran
b)      Modul/Diktat Pembelajaran
c)       Buku dalam Bidang Pendidikan
d)      Karya Terjemahan
e)       Buku Pedoman Guru

C.         Karya Inovatif Kegiatan PKB
Kegiatan PKB yang berupa karya inovatif, terdiri dari 4 (empat) kelompok, yakni:
1.       menemukan teknologi tepatguna;
2.       menemukan/menciptakan karya seni;
3.       membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/ praktikum;
4.       mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal, dan sejenisnya


Tulisan ini disarikan dari Kementerian Pendidikan Nasiona, 2010, Pedoman Kegiatan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Dan Angka Kreditnya, Jakarta, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan  

Jumat, 25 November 2011

Seri Metodologi Sejarah : Kemungkinan “Kekeliruan” dalam Historiografi

Sejarawan David Hackett Fischer dalam bukunya Historian’Fallacies. Toward a Logic of Historical Thought, sebagaimana disampaikan kembali oleh Helius Sjamsuddin dalam  Metodologi Sejarah (2010: 171-179) menginventarisir sejumlah kemungkinan “kekeliruan” ( fallacies) yang bisa dilakukan sejarawan dalam kegiatan penafsiran dan penulisan sejarah atau historiografi. Kekeliruan tersebut antara lain:

1.    Kekeliruan Anakronisme (the fallacy of anachronism)
Kekeliruan anakronisme terjadi ketika seorang sejarawan membuat tulisan atau pertimbangan terhadap sesuatu peristiwa tidak sesuai dengan waktu atau masanya. Anakronisme dapat terjadi dalam beberapa bentuk, seperti:
a.   kesalahan dalam penempatan tanggal atau tahun suatu peristiwa, contohnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disebutkan 16 Agustus 1945
b. kesalahan penempatan objek pada suatu masa tertentu, contohnya menyebut senjata jenis M-16 sebagai salah satu senjata yang dipakai dalam Perang Dunia I
c. kesalahan penempatan istilah-istilah, misalnya istilah gerakan reformasi untuk menyebut gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1966
d.   kesalahan dalam penempatan peristiwa, misalnya kongres pemuda Indonesia I tertukar dengan kongres pemuda Indonesia II

Jika suatu peristiwa disebut lebih awal daripada yang sebenarnya disebut “prokronisme” , sebaliknya jika disebutkan lebih kemudian daripada kejadian yang sesungguhnya disebut “metakronisme”.

2.    Kekeliruan “Presentisme” (the fallacy  of presentism)
Presentisme sering juga disebut “present mindedness” . Dalam hal ini kekeliruan terjadi berupa “pemaksaan” materi sejarah masa lalu digunakan untuk kepentingan masa sekarang. Contohnya, penggunaan sejarah sebagai alat propaganda untuk kepentingan ideologi politik atau untuk mendukung program politik tertentu seperti yang dilakukan sejarawan Nazi Jerman jaman Hitler atau sejarawan komunis di Uni Soviet jaman Stalin. Resiko dari presentisme sebenarnya cukup besar karena materi sejarah yang digunakan dapat dibuat-buat atau didistorsi. Evidensi sejarah tidak diteliti dan digunakan dengan cermat sebagaimana seharusnya, begitu pula dengan konstruksi cerita sebenarnya dari masa lalu tidak dilakukan karena hasilnya telah ditentukan sebelumnya berdasarkan atas standar yang sudah diyakini atau diproyeksikan sejarawan ke masa lalu.

3.    Kekeliruan “Antikuarian” (the antiquarian fallacy)
Kekeliruan antikuarian dapat terjadi jika sejarawan dengan sengaja memutuskan sama sekali hubungannya dengan masa ketika ia hidup dengan maksud semata-mata hanya untuk mempelajara masa masa yang lain. Dengan kata lain ini kekeliruan ini hampir kebalikan dari presentisme.  

4.    Kekeliruan “Sejarah Terowongan” (the fallacy of tunel history)
Sejarah terowongan atau tunel history  adalah sebutan lain untuk bentuk-bentuk sejarah tematis. Penamaan ini diberikan oleh J.H. Hexter. Di antara bentuk sejarah tematis yang kita kenal seperti: sejarah politik, sejarah ekonomi, sejarah sosial, sejarah militer, sejarah kolonial, sejarah lokal dan sebagainya. Alasan pengelompokkan sejarah manusia secara tematis adalah untuk mempermudah mempelajari masa lalu manusia yang begitu luas. Kelemahan jika menggunakan “ visi terowongan” ini menjadikan kajian sejarah lebih deterministik karena sejarawan hanya fokus pada satu tema yang dikajinya dan cenderung mengabaikan tema yang lain. Oleh sebab itu, salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini di samping tema sentral dalam deskripsi, narasi atau analisis perlu menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau menggunakan metode komparatif.

5.    Kekeliruan Periodisasi (the fallacy of false periodization)
Sejarah adalah suatu proses dalam kehidupan manusia yang bergerak linear secara terus menerus tanpa dapat dihentikan. Untuk  dapat memahami arah, kecenderungan, pola, karakteristik yang sudah berlangsung yang pada akhirnya memahami makna perjalanan sejarah, poros waktu “dihentikan sementara” lalu dipenggal-penggal dalam periode-periode tertentu. Setiap bangsa tentu saja memiliki pembabakan atau periodisasi tertentu yang berbeda dengan bangsa yang lain. Dalam hal ini , sejarawan seringkali tidak tepat dalam menetapkan batas-batas temporal atau patokan periodisasi sejarah suatu bangsa. “Kesalahan” ini tidak jarang terjadi karena memang sifatnya yang “subjektif”. Periodisasi yang umum salah disebut hectohistory  yaitu jika sejarah dipenggal-penggal secara rapi ke dalam “periode Procrustean”yaitu masing-masing misalnya: tiap seratus tahun, setengah abad, seperempat abad, sepuluh tahun. Sehingga ada periode awal abad ke-20, pertengahan abad ke-20, akhir abad ke-20 dan seterusnya.

6.    Kekeliruan Teleskopik (the telescopic fallacy)
Kekeliruan yang terjadi di sini yaitu ketika sejarawan sedang membuat deskripsi, narasi atau analisis cenderung terdorong untuk meringkas sebuah kisah sejarah yang seharusnya panjang. Hasilnya menjadi sebuah historiografi yang tidak utuh.

7.    Kekeliruan “Berkepanjangan” (the interminable fallacy)
Kekeliruan ini adalah kebalikan dari kekeliruan teleskopik. Kisah sejarah cenderung dibuat panjang dari yang seharusnya ringkas, sehingga terkesan bertele-tele. Kesalahan ini bisa terjadi karena sumber yang terbatas.

8.    Kekeliruan Kronik (the cronic fallacy)
Kekeliruan kronik terjadi ketika sejarawan memaksakan ceritanya menurut urutan waktu yang cenderung kaku dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dalam hal ini sejarah laksana sebuah kronik yang mengalir berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa tanpa terputus-putus. Masalah kronologi waktu memang menjadi bagian tak terlepaskan dari sejarah dan menjadi ciri yang membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, akan tetapi seorang sejarawan tidak perlu kaku dengan urutan waktu supaya kecenderungan, pola atau ciri-ciri dari sebuah proses sejarah tetap dapat terlihat.

9.    Kekeliruan Didaktik (the didactic fallacy)
Sebuah kekeliruan didaktik dapat terjadi ketika sejarawan cenderung terlalu “menggurui”. Sang sejarawan menulis dengan maksud untuk menarik “pelajaran-pelajaran” tertentu dari sejarah dengan maksud untuk mengatasi  problem-problem yang terjadi saat ini tanpa menghiraukan perubahan-perubahan yang menyela di antaranya.
Beberapa tipe khusus dari “ kekeliruan” antara lain:
a. Menghidupkan kembali ajaran-ajaran moral, kepercayaan, atau aturan-aturan yang berlaku pada masa lalu untuk “memurnikan” masa sekarang
b. Mengulang kembali keberhasilan politik masa lalu dengan cara meniru program-program dari para politikus yang pernah berhasil
c.   Menerapkan hasil kajian sesuatu masalah yang dianggap berhasil kepada masalah lain, meskipun kedua masalah tersebut tidak sama, baik karena waktu maupun tempatnya.
Mengenai pemanfaatan nilai guna sejarah untuk kehidupan sekarang memang tidak ada salahnya, sebagaimana negarawan Romawi Cicero (106-43sM) mengatakan bahwa historia magistra vitae (sejarah adalah guru kehidupan). Akan  tetapi yang terpenting adalah terletak pada rambu-rambu bahwa sejarawan dapat menulis sejarah sebagai “ guru kehidupan” tanpa harus terlalu jauh “menggurui”.

Demikian beberapa “kekeliruan” atau”kesalahan” yang harus dihindari oleh seorang sejarawan dalam proses penafsiran atau penulisan suatu peristiwa sejarah.