Rabu, 19 Februari 2014

Meningkatkan Minat Baca Melalui WJLRC 2014

Buku adalah gudangnya ilmu dan membaca kuncinya. Ungkapan tersebut seakan tidak asing di telinga kita yang menunjukkan betapa pentingnya posisi membaca dalam kehidupan kita. Dengan membaca wawasan kita akan menjadi lebih luas dan bisa mengetahui segala sesuatu yang ada dalam kehidupan.  Walaupun begitu pada kenyataannya tidak semua orang terbiasa dan senang membaca, bahkan tidak terkecuali dikalangan pendidik sekalipun.
Dalam upaya menumbuh kembangkan budaya baca dan kemampuan literasi secara umum, di Jawa Barat saat ini sedang dikembangkan program West Java Leader’s Reading Challenge (WJLRC). Kegiatan ini merupakan salah satu program terobosan yang dikembangkan oleh guru-guru SD dan SMP di Jawa Barat peserta program Teacher Training West Java Education Agency di Adelaide Australia tahun 2010 hingga 2013.

WJLRC merupakan kegiatan rintisan hasil adopsi dan adaftasi dari Premiers Reading Chalenge yang sudah berkembang pesat di Australia. Di negara asalnya, program ini merupakan tantangan untuk para peserta didik di sekolah dari para pemimpin pemerintahan dalam hal ini Premier, sebagai kepala pemerintahan tertinggi negara bagian.  Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mendorong peningkatan kemampuan literasi ( membaca, berbicara, mendengar dan menulis) dengan membaca buku lebih banyak,  menemukan banyak hal baru yang menyenangkan dan bermanfaat dari buku yang dibaca. Di samping itu juga untuk meningkatkan keterampilan berdiskusi yang positif dalam lingkungan keluarga dan dalam komunitas sekolah. Diakhir kegiatan para pemimpin pemerintahan ini memberikan berbagai penghargaan kepada para peserta.
Tujuan WJLRC yang dimulai tahun 2014 ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan di atas. Adapun leaders yang memberikan tantangannya diharapkan berasal dari kalangan para pemimpin di daerah masing-masing seperti kepala dinas, bupati, walikota atau gubernur bahkan presiden. Mereka didorong untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam menumbuh kembangkan peningkatan kemampuan literasi di daerah kerja masing-masing.

Peserta WJLRC adalah peserta didik mulai dari kelas 3 SD sampai dengan kelas 12 yang tertarik untuk mengasah dan melejitkan kemampuan literasinya. Mereka dibimbing oleh seorang guru pembimbing. Demi hasil yang optimal dalam proses bimbingan dan evaluasi, seorang guru maksimal membimbing 5 orang peserta didik. Khusus untuk tahun 2014 ini karena baru tahap rintisan peserta dibatasi hanya berasal dari sekolah yang guru-gurunya sudah berkesempatan mengikuti kegiatan di Adelaide, namun untuk tahap selanjutnya diharapkan semua sekolah bisa berpartisipasi.
Yang berperan sebagai guru pembimbing adalah guru sekolah yang ditunjuk oleh kepala sekolah dan sudah terdaftar sebagai motivator dalam jaringan West Java Leader’s Reading Challenge pusat. Ia bertanggungjawab merekam kemajuan para peserta, memotivasi, mengevaluasi dan melaporkannya untuk dipertimbangkan sebagai penerima penghargaan dalam program West Java Leader’s Reading Challenge.
Dalam WJLRC ini setiap orang tua dari peserta didorong untuk terlibat secara aktif. Mereka akan terlibat dalam proses pemilihan buku, pendalaman serta perluasan pemahaman peserta didik tentang buku yang dibacanya. Komunikasi guru pembimbing dan orang tua akan terjalin melalui lembar Carer Communication Reading Record  atau semacam buku catatan prestasi peserta.
Adapun buku-buku yang bisa dibaca oleh peserta tidak dibatasi. Buku-buku koleksi perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, juga buku-buku koleksi pribadi dapat dipilih peserta didik sepanjang buku tersebut sesuai dengan tingkat usia, kemampuan, minat, kebermanfaatan dan telah mendapat persetujuan dari guru, orang tua atau pustakawan.
Setiap tahun diakhir kegiatan di sediakan penghargaan untuk peserta berupa sertifikat. Penghargaan tersebut disesuaikan dengan capaian jumlah buku yang dibaca dan review yang dibuat peserta. Sertifikat yang disediakan, seperti pioneer certificate yang diberikan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat, pemerintah South Australia, dan Pengembangan Potensi Indonesia. Kemudian ada first year certificate berupa Sertifikat dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten atau Kota, second year certificate berupa Sertifikat dari Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan third year certificate dari Gubernur Provinsi Jawa Barat.
            Dengan dukungan penuh dari semua pihak, semoga program WJLRC ini akan berjalan sukses sekaligus mampu mengahantarkan peserta didik kita untuk membuka gudang ilmu yang begitu luas.

Belajar Karakter dari Coopers Stadium

Sepak bola adalah mungkin salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam hidup penulis. Walaupun untuk saat ini hanya sebatas aktif sebagai penonton dan pembina saja. Mungkin atas dasar itu Allah SWT mentakdirkan penulis dan rekan Muhammad Sadikin dari Bogor menjadi peserta yang beruntung mendapat kesempatan menonton secara langsung A-League atau Liga Australia. Selain mendapat tontonan liga secara gratis, di sini pula kami mendapat berbagai pengetahuan dan pengalaman langsung perihal karakter orang Australia ketika menikmati menonton sepak bola.

Pada mulanya, saat dinner kami diberi pilihan oleh HF, mau dinner di restoran Italia atau menonton A-League. Sebagai penggemar bola, spontan penulis langsung memilih option kedua. Untungnya sahabat penulis, Muhammad Sadikin,  juga sependapat, coba kalau tidak wah buahaya tuh impian bisa gagal jadi kenyataan. Jujur saja menonton A-League menjadi salah satu obsesi penulis selama berkesempatan mengunjungi Australia ini.
Minggu, 13 Oktober 2013 sekitar pukul 15.30 kami  diantar HF ke Hindmarsh Stadium (Coopers Stadium) home base dari tim Adelaide United FC. Saat itu Adelaide United berkesempatan menjamu Perth Glory dalam pertandingan pertama session 2013-2014. HF memang hanya mengantar karena beliau sedang flu berat dan tidak terlalu menyukai sepak bola.

Ketika sampai di stadion yang pertama membuat kami sedikit bingung adalah sistim ticketing yang sedikit berbeda dengan di kita. HF  membeli tiket melalui layanan internet (easy ticket) sehingga kami hanya membawa hasil print out dari layanan tersebut. Begitu masuk gate kami harus melakukan scanning atas code yang ada di tiket, karena di sini tiket menggunakan sistim barcode , kalau cocok maka pintu akan terbuka. Kebingungan berikutnya kami rasakan ketika di dalam stadion, kami mencoba mencari tempat duduk sesuai nomor di tiket, tapi ketika kami bertanya hampir ke empat orang petugas jawabannya sama, kami boleh duduk dimana saja, kecuali di tribun utama yang katanya diperuntukan khusus members. Ini berbeda dengan di Stadion Siliwangi, Si Jalak Harupat atau stadion lainnya di negara kita , dimana penonton harus duduk di tribun sesuai tiket yang dibeli.
Waktu pertandingan sekitar 30 menit lagi. Satu persatu penonton mulai berdatangan. Mereka duduk dengan tenang di tempat masing-masing. Jarak antara tempat duduk dengan lapangan hanya dibatasi oleh papan iklan setinggi satu meter. penulis terus mengamati satu persatu penonton yang datang. Tanda tanya besar masih tersimpan di benak penulis, apa benar yang dikatakan  salah seorang pemateri waktu kegiatan pre departure bahwa menonton sepak  bola di sini sangat tertib dan seolah menjadi arena rekreasi keluarga dimana semua orang dari berbagai lapisan usia datang dan bisa menonton dengan tenang.
Setelah pertandingan hampir dimulai, satu persatu pertanyaan tersebut mulai terjawab. Penonton yang datang benar-benar berasal dari berbagai lapisan usia, mulai dari kakek-nenek sampai bayi dan ibu hamil benar-benar datang dan nonton pertandingan. Prilaku mereka relatif santun, hanya duduk menonton terkadang ditambah bernyanyi dan berteriak saja, tidak ada ekspresi yang berlebihan  apalagi prilaku menjurus anarkis, intimidatif  dan rasis seperti yang sering kita lihat selama ini. Bahkan suporter dari tim lawan mendapat tempat khusus tanpa gangguan dari pihak tuan rumah.
Pertandingan yang mulanya monoton kemudian menjadi sedikit keras. Sang pengadil sampai harus mengeluarkan sekitar 7 kartu kuning dan satu kartu merah. Sebagian besar kartu kuning, termasuk kartu merah diperuntukan bagi pemain tuan rumah. Setiap kali kartu diberikan pada pemain tuan rumah, penonton terlihat tidak puas, tetapi setelah mereka melihat tayangan ulang di layar lebar yang ada di stadion mereka paham dan menerima, tidak ada cercaan atau hujatan pada sang pengadil. Asas fair play benar-benar mereka junjung tinggi.
Begitu istirahat half time  panitia mengumumkan bahwa penonton yang hadir sekitar 10.600 orang. Saya amati sekeliling stadion, tidak terlihat polisi seorang pun, di dalam stadion hanya dijaga oleh beberapa orang steward dari pihak panitia. Polisi baru terlihat ketika bubaran di luar stadion, jumlahnya juga hanya sekitar 10 orang terdiri dari dua orang berkuda, dua orang mengendarai mobil dan sisanya berjaga di jalanan sekitar stadion. Situasi ini sungguh berbeda dengan di kita yang harus dijaga ribuan petugas keamanan bahkan ditambah pasukan berkuda dan panser.
Pada saat pertandingan berakhir dengan kemenangan tuan rumah 3-1, penonton keluar dengan tertib dan langsung pulang tanpa bergerombol dulu. Mereka langsung menuju kendaraan masing-masing tanpa ekspresi gembira yang berlebihan. Penonton tim lawan juga terlihat keluar dari pintu yang bersamaan dengan penonton tuan rumah dengan aman, tenang bahkan saling sapa dan bergurau satu dengan yang lain.
Berdasarkan pengalaman yang diungkap di atas ada beberapa hal positif yang bisa kita contoh. Fanatisme atau antusiasme dalam mendukung klub kesayangan ternyata tidak mesti diwujudkan dengan aksi yang berlebihan, anarkis, rasis, intimidatif atau sikap fanatisme buta yang lainnya. Kehadiran suporter tim di lapangan dengan prilaku yang santun ditambah teriakan dan nyanyian  yang wajar pun ternyata tetap mampu membakar semangat tim kesayangan untuk bermain maksimal dan memenangkan pertandingan. Sikap respek yang ditunjukkan terhadap siapapun, termasuk pemain, wasit dan suporter tim lawan, tetap bisa ditunjukkan tanpa mengurangi sikap antusiasme dalam menonton dan mendukung tim kesayangan. Hal tersebut di atas sungguh merupakan cerminan dari karakter yang positif.

Ada secercah harapan, seiring dengan dikembangkannya pendidikan karakter dan perubahan kurikulum mudah-mudahan situasi dan kondisi yang lebih baik bisa kita nikmati di negeri kita suatu saat nanti. Dengan pendidikan karakter diharapkan bisa terbentuk generasi yang lebih baik dari sebelumnya. Terbentuk generasi yang tahu etika kesopanan, berjiwa ksatria, senantiasa respek terhadap sesama dan taat pada aturan yang berlaku. Dalam upaya membangun karakter ini, guru berperan sangat penting. Guru diharapkan mampu membimbing, mengarahkan dan memberi teladan kepada peserta didiknya hingga terbangun karakter yang baik. Dengan karakter yang baik ini, suatu saat kita bisa mewujudkan mimpi, salah satunya datang ke stadion tanpa rasa takut, khawatir dan bisa menonton dengan nyaman. Insya Allah!           (Coopers Stadium, Adelaide, South Australia 2013)